Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sulitnya Memiliki Akta Lahir di Wilayah 3T, KPAI Ungkap Hambatannya

Ilustrasi pemeriksaan anak di posyandu (ANTARA FOTO/Jessica Wuysang)
Intinya sih...
  • Komisioner KPAI soroti pemenuhan hak identitas anak di wilayah 3T yang masih rendah, dengan rata-rata di bawah 80 persen.
  • Data BPS menunjukkan 9 provinsi dengan angka kepemilikan akta kelahiran di bawah 90 persen, sulitnya akses dan biaya menjadi kendala utama.
  • Pemenuhan hak atas akta lahir sulit dilakukan karena kebijakan pemerintah daerah yang terbatas, minimnya upaya jemput bola, serta hambatan struktural dan kultural.

Jakarta, IDN Times - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sylvana Maria Apituley menyoroti kondisi pemenuhan hak anak atas identitasnya yakni akta lahir. Dia mengatakan, kondisi di lapangan menunjukkan bahwa masih ada banyak anak di wilayah 3T (Tertinggal, Terluar, Terdepan) belum maksimal pemenuhan hak identitasnya. 

"Kenyataannya masih ada banyak provinsi terutama provinsi-provinsi atau  kabupaten di wilayah 3T yang capaian hak atas identitas anak itu di bawah 80 persen. Kalau rata-rata nasional 92 sampai 96 persen, tapi ada kurang lebih 63 persen kalau saya gak salah 62 atau 63 kabupaten di wilayah 3T pemenuhan hak anak atas identitasnya itu di bawah 80 persen. Bahkan rata-rata di bawah 70 persen," kata dia dalam Rakornas KPAI 2024, dilihat dari Youtube KPAI, Rabu (20/11/2024).

1. Sembilan provinsi dengan angka kepemilikan akta lahir di bawah 90 persen

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sylvana Maria Apituley saat memberikan keterangan pers pelanggaran hak anak dalam aksi penolakan RUU Pilkada (Youtube/KPAI)

Mengutip dari data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2023 ada 9 provinsi dengan angka kepemilikan akta kelahiran di bawah 90 persen untuk penduduk usia 0-17. Urutan paling bawah adalah Papua dengan angka 50.85 persen, Nusa Tenggara Timur 73.94 persen, Papua Barat 79.34 persen, Maluku Utara 86.61 persen dan Maluku 87.66 persen. Kemudian ada Sumatra Utara dengan angka 87.68 persen, Banten 88.42 persen, Nusa Tenggara Barat 89.29 persen dan Sulawesi Tengah 89.42 persen.

2. Diperlukan political will dari pemerintah

Kegiatan Posyandu. (kampungkb.bkkbn.go.id)

Sylvana menjelaskan mengapa pemenuhan hak atas akta lahir ini sulit sekali dilakukan padahal jika dilihat dari segi teknis bisa dipercepat. Salah satunya adalah karena kebijakan pemerintah daerah yang mengharuskan kepemilikan akta lahir pada setiap anak yang baru lahir atau anak-anak yang sudah bertumbuh.

Dia melihat komitmen dan kapasitas pemerintah daerah cukup terbatas untuk memenuhi hak anak atas identitas, apalagi di wilayah 3T 

"Sebenarnya yang diperlukan memang political will dari pemerintah untuk segera memastikan semua anak sudah ber-akta lahir," kata dia.

3. Minimnya upaya jemput bola, ongkos transportasi dan jarak

Kemudian, minimnya upaya jemput bola, dia mengatakan, jarak yang jauh dan sulitnya akses transportasi juga jadi masalah. Apalagi untuk masyarakat yang jauh dari kota dan pusat pemerintahan, ini yang menyebakan minimnya pemenuhan hak anak atas identitas.

Dia menceritakan bagaimana KPAI melihat kondisi warga Kampung Ohotia, Distrik Mimika Timur Jauh yang terbatas akses trasportasi. Kala itu pihaknya butuh waktu empat jam di laut dan dua jam di rawa untuk bisa sampai ke wilayah tersebut. Ditemukan warga mengeluh karena mengurus akta lahir masih butuh biaya, dari ongkos cetak hingga transportasi.

"Masyarakat mengeluhkan mereka bilang, satu jauh sekali untuk ke kota ongkosnya. Dua masih disuruh bayar Rp50.00, tanya saya cek berapa mama harus bayar, berapa lima puluh harga untuk mereka karena kerjaan mereka nyari kerang, nyari kepiting yang penghasilan mereka tidak seberapa, tidak cukup untuk membayar biaya pengurusan akta lahir," katanya.

4. Masyarkat belum paham pentingnya akta lahir, tapi ini harus disosialisasikan

Ilustrasi balita (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)

Sylvana mengatakan, pemenuhan identitas anak adalah hak dasar yang mirip dengan hak atas hidup, hak untuk sehat, hak untuk pintar dan sebagainya. Hal  ini tak boleh ditunda, karena jika ditunda ini membuat anak sulit mengakses layanan yang ada di masyarakat.

Ketiadaan dokumen seperti KTP,  Kartu Keluarga dan surat kawin orang tua    sebagai syarat utama juga jadi hambatan, apalagi jika suatu masyarakat masih berpikir tradisional dan dalam masa transisi untuk memahami seluk-beluk administrasi negara. Hambatan struktural dan kultural juga menyebabkan masyarakat sering abai akan pentingnya akta kelahiran, maka sosialisasi jadi kunci.

KPAI berharap agar Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan kebijakan percepatan pencapaian akta lahir anak-anak di 3T, dan Kementerian PPPA bisa mencanangkan kerjasama lintas Kementerian. Terpenting juga adalah pemerintah daerah bisa menetapkan aturan wajib penerbitan akta lahir pada setiap faslitas kesehatan hingga pemberian akta kelahiran massal lewat jenjang sekolah.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah
Lia Hutasoit
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us