TNI Gelar Patroli Gabungan dengan Polri Usai Insiden di Polres Tarakan

- Polres Tarakan dan Kodim 0907/Trk melakukan patroli gabungan untuk menjaga keamanan
- Pangdam VI/Mulawarman dan Kapolda Kalimantan Utara sepakat mencegah eskalasi ketegangan antara Polri dan TNI
- Hendardi dari Setara Institute mengkritik tindak kekerasan antara Polri dan TNI, menuntut proses hukum yang adil bagi anggota TNI yang terlibat
Jakarta, IDN Times - Usai insiden penyerangan Mapolres Tarakan pada 24 Februari 2025 lalu, keadaan di sana mulai kondusif. Sebagai bukti, personel dari Polres Tarakan melakukan patroli gabungan dengan anggota Kodim 0907/Trk pada Kamis malam kemarin.
Komandan Kodim (Dandim) 0907/Trk Letkol (Kav) Jhon B.C Simarmata mengatakan, kondisi di area Tarakan dalam kondisi aman. Tetapi, sikap kesiapsiagaan tetap diperlukan.
"Kegiatan patroli gabungan ini akan terus dilaksanakan agar memberikan rasa aman kepada masyarakat yang ada di wilayah, terutama pada tengah malam yang merupakan jam-jam rawan terjadinya tindak pidana serta hal-hal yang tak diinginkan," ujar Letkol Jhon yang dikutip dari keterangan tertulis pada Jumat (28/2/2025).
Sementara, patroli yang dilakukan Polres Tarakan dipimpin Kasat Samapta, Ipda Imam. Ia mengatakan patroli gabungan itu digelar untuk mencegah tindak pidana kejahatan dengan mengimbau kepada masyarakat agar lebih berhati-hati dan waspada.
"Sebab, tindak kejahatan bisa terjadi kapan saja," kata Ipda Imam.
1. Polres Tarakan berharap patroli gabungan bisa mempererat relasi Polri-TNI

Lebih lanjut, Ipda Imam berharap dengan adanya patroli gabungan itu bisa mempererat kekompakan antara aparat dan masyarakat dalam menjaga keamanan.
"Untuk itu kami, TNI dan Polri bersama-sama bergandengan tangan serta bersinergi dalam mewujudkan keamanan dan kenyamanan di lingkungan masyarakat," kata Imam.
Kondisi ini diciptakan agar tidak lagi terjadi eskalasi ketegangan di antara dua institusi. Pangdam VI/Mulawarman Mayjen TNI Rudy Rachmat Nugraha telah bertemu dengan Kapolda Kalimantan Utara Irjen (Pol) Hary Sudwijanto.
Keduanya sepakat untuk mencegah agar tidak ada lagi peristiwa lanjutan pada Senin malam kemarin. Enam personel Polres Tarakan mengalami luka-luka usai diserangan oleh 20 personel TNI Angkatan Darat (AD).
"Sebagai bagian dari proses rekonsiliasi, perbaikan terhadap fasilitas Mapolres Tarakan yang mengalami kerusakan telah dilakukan oleh personel Yonif 613/Rja," ujar Kepala Penerangan Kodam VI/Mulawarman Kolonel (Kav) Kristiyanto kepada IDN Times melalui pesan pendek, Rabu kemarin.
2. Panglima TNI akui penyerangan ke Polres Tarakan bermula dari insiden di tempat hiburan malam

Sementara, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto mengatakan, kejadian penyerangan di Mapolres Tarakan pada Senin malam lalu, bermula dari lokasi tempat hiburan malam. Namun, ia tak menjelaskan apa yang terjadi di tempat hiburan malam tersebut, sehingga menjadi pemicu aksi penyerangan ke Polres Tarakan tiga hari lalu.
"Memang kejadiannya kan di tempat hiburan malam. Pangdam VI/Mulawarman dan Polri sudah membuat langkah-langkah. Semua sudah (diatasi)," ujar Agus di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis kemarin.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) itu juga menyebut, puluhan prajurit TNI AD sudah diperiksa terkait insiden penyerangan Polres Tarakan itu. Namun, belum diketahui apakah sudah ada yang dijatuhi sanksi.
"Nanti kita lihat (hukumannya) berdasarkan kesalahannya. Pasti akan kami tindak yang terbukti bersalah," bebernya.
3. Setara Institute catat pemicu konflik di lapangan biasanya dipicu perkara sepele

Sementara, Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, mengkritik keras perbuatan tindak kekerasan yang terjadi di antara dua institusi. Dalam catatan Setara Institute, peristiwa penyerbuan markas kepolisian oleh TNI bukan kali pertama terjadi. Pada periode 2014 hingga 2024 ada 37 konflik dan ketegangan yang terjadi.
"Angka ini merupakan fenomena gunung es, di mana konflik dan ketegangannya tidak mengemuka. Dipastikan lebih banyak dari yang tercatat di permukaan," ujar Hendardi di dalam keterangan tertulis pada Selasa kemarin.
Lebih lanjut, Hendardi mengatakan hampir semua konflik di lapangan dipicu oleh persoalan-persoalan yang sepele dan tidak berhubungan dengan tugas kemiliteran. Mulai dari persoalan pribadi, ketersinggungan sikap, penolakan penindakan hukum sipil, kesalahpahaman dan provokasi kabar bohong suatu peristiwa yang melibatkan anggota TNI.
Alhasil, memicu penyerangan terhadap anggota atau markas polisi. Ia pun mendorong puluhan anggota TNI yang terlibat harus diproses dalam kerangka pidana umum. Sayangnya, pada praktiknya justru anggota-anggota TNI itu tidak diproses di ranah hukum pidana.
"Supremasi anggota TNI yang tidak tunduk pada peradilan umum ini lah yang menjadi salah satu sebab peristiwa semacam itu terus berulang," kata Hendardi.
Di sisi lain, katanya, ketegangan di tingkat elit antara kedua instansi dipicu oleh perebutan kewenangan operasi di daerah tertentu. Hal itu dipicu pembagian jabatan non-militer yang tidak merata dan residu politik masa lalu. Dulu, Polri merupakan bagian dari TNI.