WALHI Desak Kemenhut Cabut Izin Usaha Perusahaan Terkait Banjir Sumatra

- WALHI desak evaluasi perizinan dilakukan transparan
- Catatan perusakan hutan: 13 perusahaan, 62 tambang ilegal, dan ribuan hektar sawit
Jakarta, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendesak Kementerian Kehutanan (Kemenhut) segera mencabut perizinan berusaha perusahaan-perusahaan sektor kehutanan, pertambangan, dan perkebunan di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Dikutip dari siaran pers, Kamis (11/12/2025), WALHI menilai aktivitas perusahaan tersebut telah menyebabkan kerusakan hutan dan daerah aliran sungai hingga 889.125 hektare yang diperparah dari aktivitas ilegal. Selain itu, WALHI meminta Kemenhut melakukan tindakan penegakan hukum tegas terhadap aktivitas ilegal pertambangan dan perkebunan kelapa sawit di tiga provinsi tersebut.
WALHI menyebut, bencana banjir yang melanda tiga provinsi itu seharusnya menjadi momentum koreksi kebijakan sektor kehutanan dan lingkungan hidup di Indonesia.
1. WALHI desak evaluasi perizinan dilakukan transparan

Kepala Divisi Kampanye WALHI, Uli Artha Siagian, mengatakan, evaluasi perizinan yang dapat berujung pada pencabutan izin harus dilakukan secara transparan dan mengutamakan perlindungan lingkungan hidup, aspek kebencanaan, serta pemulihan hak rakyat.
Dia mengatakan, Menteri Kehutanan memiliki kewenangan penuh untuk memaksa perusahaan perusak hutan bertanggung jawab, termasuk membayar kerugian masyarakat serta memulihkan kawasan hutan sebagai sumber kehidupan. Hal tersebut sesuai Pasal 72 UU Kehutanan.
2. Catatan perusakan hutan: 13 perusahaan, 62 tambang ilegal, dan ribuan hektare sawit

WALHI mencatat sedikitnya 13 perusahaan sektor kehutanan, tambang, dan perkebunan telah melakukan perusakan hutan yang menurunkan daya dukung lingkungan secara signifikan. Selain itu, terdapat 62 aktivitas tambang emas tanpa izin di Sumatra Barat, khususnya di Kabupaten Solok dan Sijunjung.
Di Aceh, sebanyak 5.208 hektare kawasan hutan telah dialihkan menjadi perkebunan sawit oleh 14 perusahaan di tujuh kabupaten di Aceh (Aceh Barat, Nagan Raya, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Tengah, Aceh Selatan, dan Aceh Besar). WALHI juga menyoroti kerusakan 954 daerah aliran sungai (DAS) di tujuh kabupaten di Aceh tersebut, 60 persen di antaranya berada di dalam kawasan hutan.
“Aktivitas ilegal di kawasan hutan dan daerah aliran sungai di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sebenarnya sudah terjadi dari belasan tahun lalu, bahkan lebih. Hal yang disayangkan mengapa Kementerian Kehutanan maupun kepolisian tidak melakukan penegakan hukum yang tegas. Apabila tindakan ilegal ini ditindak dan dihentikan dari dahulu, dampak besar seperti yang terjadi saat ini kemungkinan tidak terjadi,” ujar Uli.
3. WALHI dorong pembentukan Satgas independen dan tegaskan pentingnya penegakan hukum

Untuk mencegah bencana serupa terjadi di wilayah lain Indonesia, WALHI meminta Kemenhut membentuk Satuan Tugas Evaluasi Perizinan dan Aktivitas Ilegal di Kawasan Hutan yang bekerja secara terbuka dan partisipatif.
Satgas ini harus melibatkan organisasi masyarakat sipil agar evaluasi maupun penegakan hukum dapat menyasar aktivitas berizin maupun ilegal secara efektif dan transparan. WALHI menekankan mekanisme ini harus berujung pada pemulihan lingkungan dan pemenuhan hak masyarakat, bukan justru melanggengkan aktivitas ilegal seperti yang terjadi pada Satgas PKH sebelumnya, yang terbukti membiarkan perkebunan kelapa sawit ilegal terus berlangsung di kawasan hutan.
Menurut WALHI, tanpa penegakan hukum administrasi, pidana, dan perdata secara tegas, masyarakat dan lingkungan hidup akan terus menderita dampaknya.
"Kegagalan pemerintah bertindak hanya akan mengulang bencana seperti yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, serta membuka peluang kejadian serupa di wilayah lain," ucap dia.


















