Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

YLBHI Kecam DPR: Seperti Kerbau Dicucuk Hidung, Ikut Selera Penguasa

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin ketika menyerahkan dokumen revisi UU TNI ke Ketua DPR. (www.x.com/@sjafriesjams)
Intinya sih...
  • YLBHI mengecam pengesahan RUU TNI oleh semua partai politik di DPR
  • Revisi undang-undang disetujui dengan cara kilat dan inkonstitusional
  • Pengesahan RUU TNI dinilai untuk kepentingan elite militer dan politisi sipil, merespons aksi protes damai dengan berlebihan

Jakarta, IDN Times - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam keras pengesahan revisi Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Kamis (20/3/2025) di DPR. Pengesahan revisi undang-undang itu disetujui oleh semua partai politik di parlemen. 

Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur mengaku sudah memprediksi pengesahan RUU TNI akan dilakukan dengan cara kilat dan inkonstitusional. Pola legislasi serupa juga sudah terlihat di parlemen sejak revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU Minerba hingga UU BUMN. 

"DPR bersama pemerintah telah menjadi tirani di mana tak menolerir perbedaan dan kritik. Partai-partai melalui fraksinya selayak kerbau dicucuk hidung, ikut dengan selera penguasa," ujar Isnur di dalam keterangan tertulis pada hari ini. 

Namun, hal itu sudah bisa diprediksi terjadi lantaran hampir semua partai di parlemen diajak masuk ke dalam pemerintahan Prabowo. Hanya PDI Perjuangan dan NasDem yang tak ada di kabinet. Meski begitu, justru PDIP yang jadi motor penggerak pembahasan dan pengesahan revisi UU TNI. 

YLBHI geram lantaran suara dan kegelisahan rakyat tak lagi menjadi pedoman dan acuan dalam pembuatan undang-undang. Prinsip dan semangat negara hukum demokratis yang dijamin di dalam UUD 1945 tak lagi menjadi dasar dan kerangka dalam menyusun serta berargumentasi. 

"Bahkan, Mahkamah Konstitusi sudah berulang kali menegur praktik penyusunan undang-undang yang inkonstitusional. Teguran itu juga tidak didengar," katanya. 

YLBHI, kata Isnur, melihat revisi undang-undang yang diketok pada hari ini hanya untuk menyalurkan kepentingan para elite militer dan politisi-politisi sipil. 

"Mereka tidak mau menaati aturan main yang demokratis," imbuhnya. 

1. YLBHI heran aksi demo damai ditanggapi pengerahan TNI dan Polri

Truk tentara yang dikerahkan ke gedung DPR pada Kamis, 20 Maret 2025 pagi. (www.x.com/@barengwarga)

Lebih lanjut, Isnur meyakini nasib Indonesia ke depan semakin gelap. Sebab, ketika digelar aksi protes damai di depan pintu gerbang DPR Pancasila, parlemen merespons dengan cara berlebihan. 

Pada Kamis subuh, koalisi masyarakat sipil sahur dan menggelar tenda di depan pintu gerbang. Tetapi, dihadapi dengan cara mengirim ribuan personel TNI dan Polri. Mereka juga dilengkapi alat dan senjata. 

"Pintu-pintu dan pagar dipasang penghalang beton agar semakin sulit bagi rakyat bersuara. Kami juga menyaksikan kembali pengerahan paramiliter dilakukan secara terstruktur dan sistematis," ujar Isnur. 

Tujuannya, kata dia, untuk memicu konflik horizontal. Hal tersebut jelas melanggar banyak sekali aturan main dalam bernegara. 

"Kita melihat bahwa sedemikian rupa kritik rakyat malah dianggap sebagai musuh dan ancaman," imbuhnya. 

2. YLBHI khawatir Indonesia masuk dalam cengkeraman otoritarian

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur (kedua dari kiri) ketika berbicara di kantor YLBHI, Jakarta Pusat. (IDN Times/Santi Dewi)

Isnur mengaku khawatir Indonesia akan masuk ke dalam cengkeraman otoritarian. Indonesia berpeluang kembali terperosok dalam militerisme dan penundukan sipil. 

"Kami sangat khawatir ini akan berdampak serius terhadap kebebasan sipil dan penghormatan HAM ke depan. YLBHI sangat khawatir ini akan berdampak pada represi dan penggusuran warga negara, petani, masyarakat adat, masyarakat di pulau-pulau penjuru Nusantara yang mempertahankan tanah airnya dari gempuran proyek-proyek investasi," ujar Isnur. 

Melalui keterangan tertulis, YLBHI dan LBH mengajak seluruh rakyat serta gerakan masyarakat sipil untuk tetap bersuara. Keadilan harus tetap disuarakan agar demokrasi bisa dijaga. 

"Kita tidak boleh menyerah untuk menjaga dan memperbaiki negeri ini," katanya. 

3. Revisi UU TNI tidak mendesak dikebut, RUU Perampasan Aset nasibnya tak jelas

Ilustrasi prajurit TNI Angkatan Darat (AD). (ANTARA FOTO/Aprilio Akbar)

Sementara, kritik juga datang dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia soal pengesahan RUU TNI. Mereka menilai sejak awal proses legislasi revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 mengenai TNI (UU TNI) ini tidak sah. 

Sebab, sejak awal revisi UU TNI tidak masuk agenda Program Legislasi (Prolegnas) 2025. Namun, tiba-tiba masuk dalam pembahasan RUU Prioritas pada rapat paripurna 18 Februari 2025. 

"Perubahan agenda atau acara rapat tersebut tidak dilakukan melalui mekanisme sesuai dengan Pasal 290 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020, mengenai tata tertib DPR, di mana bila ada perubahan acara rapat, maka perlu diajukan secara tertulis dua hari sebelum acara rapat dilaksanakan," demikian isi keterangan tertulis PSHK Indonesia dan dikutip pada Kamis (20/3/2025). 

Di sisi lain, UU TNI dinilai tidak memiliki urgensi untuk diamandemen. Sejumlah aturan seperti pembentukan RUU Peradilan Militer, RUU Perampasan Aset atau RUU Masyarakat Hukum Adat dinilai lebih penting dan mendesak disahkan. 

Surat perintah presiden untuk membahas RUU Perampasan Aset sudah dilayangkan sejak akhir Juni 2023. Namun, RUU tersebut tak pernah dibahas hingga hari ini.

Padahal, Indonesia sedang darurat korupsi dan membutuhkan instrumen hukum untuk membuat koruptor kapok. Caranya dengan memiskinkan koruptor lewat RUU Perampasan Aset. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Dwifantya Aquina
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us