Aktivis Pro-Palestina Mahmoud Khalil Bebas dari Tahanan Imigrasi AS

Jakarta, IDN Times - Aktivis pro-Palestina dan mahasiswa pascasarjana Universitas Columbia, Mahmoud Khalil, telah dibebaskan dari tahanan imigrasi Amerika Serikat (AS) setelah ditahan selama lebih dari tiga bulan.
Melansir BBC, pembebasan tersebut diperintahkan oleh seorang hakim federal pada Jumat (20/6/2025).
Khalil, yang merupakan penduduk tetap sah AS, belum didakwa atas tindak kejahatan apa pun selama masa penahanannya. Khalil ditahan sejak awal Maret lalu karena keterlibatannya dalam unjuk rasa pro-Palestina di kampusnya.
Pemerintahan Donald Trump menilai tindakannya dapat menimbulkan konsekuensi negatif bagi kebijakan luar negeri AS.
1. Hakim sebut Khalil bukan ancaman bagi komunitas
Hakim Federal Michael Farbiarz dari pengadilan distrik New Jersey memutuskan bahwa Khalil bukanlah sosok yang berbahaya bagi komunitas ataupun berisiko untuk melarikan diri. Dalam persidangan, Farbiarz menilai upaya pemerintah untuk terus menahan Khalil adalah langkah yang sangat tidak biasa.
Hakim juga mengindikasikan bahwa ada kemungkinan proses imigrasi ini digunakan untuk menghukum Khalil atas pandangan politiknya. Tindakan semacam ini berpotensi melanggar konstitusi AS.
Hakim juga menolak permintaan pemerintah untuk menunda pembebasan tersebut, yang diajukan untuk memberikan waktu banding. Sebagai syarat pembebasannya, Khalil diwajibkan menyerahkan paspor dan kartu hijaunya, serta perjalanannya dibatasi hanya untuk beberapa negara bagian di AS.
"Meskipun keadilan menang, ini sangat terlambat dan seharusnya tidak memakan waktu tiga bulan. Saya masih meninggalkan orang-orang luar biasa di belakang saya, lebih dari 1.000 orang, di tempat di mana mereka seharusnya tidak berada," tutur Khalil sesaat setelah dibebaskan, dilansir The Guardian.
2. Pemerintah AS kritik putusan hakim, janji akan ajukan banding
Penahanan Khalil awalnya didasarkan pada pasal imigrasi yang jarang digunakan. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menyatakan kehadiran Khalil dapat membahayakan kebijakan luar negeri AS.
Selama lebih dari 100 hari, ia ditahan di fasilitas imigrasi di Jena, Louisiana yang terpencil. Tempat itu sengaja dipilih untuk menjauhkannya dari keluarga dan pengacaranya.
Pemerintah AS juga menuduh Khalil melakukan kelalaian dalam proses pengajuan kartu hijaunya. Khalil bahkan sempat dituduh terlibat dalam antisemitisme, namun dibantah oleh surat dukungan dari para mahasiswa Yahudi.
Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS (DHS) mengecam pembebasan dan berjanji akan mengajukan banding.
"Seharusnya hakim imigrasi, bukan hakim distrik, yang memiliki wewenang untuk memutuskan apakah Khalil harus dibebaskan atau ditahan. Ini adalah contoh lain bagaimana anggota cabang yudikatif yang lepas kendali merusak keamanan nasional," kata DHS, dikutip dari Al Jazeera.
Meskipun telah bebas dari tahanan, pertarungan hukum yang dihadapi Khalil belum berakhir. Proses deportasi terhadapnya akan tetap berlanjut di jalur pengadilan imigrasi yang terpisah.
3. Khalil kembali berkumpul dengan keluarganya
Saat Khalil berada di dalam tahanan, istrinya yang merupakan warga negara AS, Noor Abdalla, melahirkan putra pertama mereka. Khalil baru dapat bertemu putranya dalam kunjungan terbatas yang diatur secara ketat oleh pemerintah.
"Kami tahu putusan ini tidak akan mengatasi ketidakadilan yang telah ditimpakan oleh pemerintahan Trump kepada keluarga kami dan banyak orang lain. Namun hari ini, kami merayakan kembalinya Mahmoud ke New York untuk bersatu kembali dengan keluarga kecil kami," kata istri Khalil, Noor Abdallah, dilansir Politico.
Sebelumnya, pemerintahan Trump juga menangkap beberapa aktivis lainnya. Beberapa mahasiswa lain, termasuk Rümeysa Öztürk dan Mohsen Mahdawi, telah dibebaskan oleh pengadilan federal.
Organisasi hak-hak sipil American Civil Liberties Union (ACLU) merayakan keputusan ini sebagai kemenangan bagi kebebasan berpendapat di AS. Menurut mereka, pemerintah seharusnya tidak dapat menyalahgunakan hukum imigrasi untuk membungkam pandangan politik yang tidak disukainya.