Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Anak Dikirim ke AS, Ibu di Korsel Gugat Pemerintah dan Agen Adopsi

ilustrasi ibu dan anak (unsplash.com/Daniel Thomas)
Intinya sih...
  • Han Tae-soon, perempuan Korea Selatan berusia 70 tahun, menggugat pemerintah, agen adopsi, dan panti asuhan terkait adopsi putrinya ke AS pada 1976 setelah diculik pada usia 4 tahun.
  • Han mencari putrinya selama lebih dari 40 tahun sebelum mereka bersatu kembali pada 2019 berkat tes DNA. Ia menuntut ganti rugi sekitar Rp6,9 miliar atas kesalahan adopsi anaknya.

Jakarta, IDN Times - Han Tae-soon, seorang perempuan Korea Selatan berusia 70 tahun, menggugat pemerintah, sebuah agen adopsi dan panti asuhan pada Senin (7/10/2024) terkait adopsi putrinya, yang dikirim ke Amerika Serikat (AS) pada 1976, beberapa bulan setelah dia diculik pada usia 4 tahun.

Han mencari putrinya, Laurie Bender, selama lebih dari 40 tahun sebelum mereka akhirnya bersatu kembali pada 2019 berkat bantuan tes DNA. Hampir setiap hari, ia mendatangi kantor polisi, kantor pemerintah, dan agen adopsi, serta tampil di media Korea untuk mencari titik terang keberadaan putrinya. Ia juga memajang foto anaknya di mana-mana, mulai dari stasiun kereta bawah tanah, di tiang lampu, hingga di kemasan makanan ringan yang mengiklankan anak-anak hilang. 

Dilansir dari Associated Press, Kim Soo-jung, salah satu pengacara yang mewakili Han, mengatakan bahwa ini merupakan kasus pertama yang tercatat di mana orang tua kandung Korea mengajukan gugatan ganti rugi terhadap pemerintah dan agen adopsi atas kesalahan adopsi anak mereka.

1. Pemerintah dianggap gagal dalam mencegah adopsi Bender

Berbicara kepada wartawan di depan Pengadilan Distrik Pusat Seoul, Han mengatakan bahwa pemerintah Korea Selatan bertanggung jawab atas kegagalannya mencegah Bender diadopsi.

Han juga menuduh Holt Children’s Services, agen adopsi terbesar di Korea Selatan, memfasilitasi adopsi Bender tanpa memeriksa latar belakangnya. Pengacaranya mengatakan bahwa Panti Asuhan Jechon tidak berupaya menemukan orangtua Bender setelah ia ditempatkan di fasilitas tersebut oleh polisi pada Mei 1975, sehari setelah Han melaporkan bahwa putrinya hilang.

Dalam dokumen adopsinya, Bender, yang diberi nama Shin Gyeong-ha saat lahir, tercatat sebagai anak yatim piatu terlantar tanpa orang tua yang diketahui. Dengan nama baru yang diberikan oleh panti asuhan, Baik Kyong Hwa, ia dikirim ke AS pada Februari 1976.

“Selama 44 tahun, saya mengembara dan mencari anak saya, namun kegembiraan bertemu dengannya hanya sesaat, dan sekarang saya sangat menderita karena kami tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa yang sama,” kata Han sambil menahan air mata.

“Ternyata mereka tidak berusaha menemukan orang tuanya yang masih ada dan malah menyamarkannya sebagai anak yatim piatu untuk diadopsi di luar negeri. Saya ingin pemerintah dan Holt menjelaskan kepada kami bagaimana hal ini bisa terjadi," ujarnya.

2. Han tuntut ganti rugi sebesar Rp6,9 miliar

Kim, sang pengacara, mengatakan bahwa pemerintah bersalah atas kegagalan pencarian anak yang menyebabkan Bender diadopsi. Ia menjelaskan bahwa Bender seharusnya dapat ditemukan dengan mudah jika informasi tentang anak hilang dibagikan dengan benar di kantor-kantor polisi atau jika petugas berusaha mencarinya di panti asuhan.

“Meskipun negara memikul tanggung jawab besar karena tidak memenuhi tugasnya untuk membantu menemukan anak-anak yang hilang dan menyatukan kembali mereka dengan keluarga mereka, kami juga percaya bahwa (panti asuhan) dan agen adopsi juga tidak bisa lepas dari tanggung jawab,” kata Kim.

“Kami menduga lembaga perlindungan anak ini gagal menjalankan kewajiban etis mereka untuk membantu menemukan orang tua anak tersebut, bahkan ketika anak tersebut mengatakan (dia) telah memiliki keluarga dan orang tua," tambahnya.

Jeon Min Kyeong, pengacara lain yang mewakili Han, mengatakan bahwa kliennya menuntut ganti rugi sekitar 600 juta won (sekitar Rp6,9 miliar). Gugatan tersebut mencantumkan Han, suaminya, dan dua anaknya yang lebih muda sebagai penggugat, namun tidak termasuk Bender.

3. Ibu dan anak tersebut bertemu pada 2019 setelah terpisah selama lebih dari 4 dekade

Dalam wawancara sebelumnya dengan Associated Press, Bender menceritakan bahwa ia dihampiri oleh seorang perempuan asing saat bermain di dekat rumahnya di kota Cheongju. Perempuan itu mengatakan kepadanya bahwa keluarganya tidak menginginkannya lagi karena ibunya telah memiliki bayi lain.

Dengan perasaan sedih, Bender mengikuti perempuan tersebut, yang membawanya pergi dengan kereta api. Ia kemudian ditinggalkan sendirian di Jechon, sebuah kota yang berjarak 80 km dari rumahnya.

Sementara itu, setelah gagal menemukan putrinya selama empat dekade, Han mendaftarkan DNA-nya ke sebuah kelompok nirlaba bernama 325 Kamra, yang membantu anak-anak adopsi di Korea untuk bersatu kembali dengan keluarga mereka melalui informasi genetik. Di AS, Bender kemudian melakukan tes DNA setelah 325 Kamra menghubungkan mereka pada 2019.

Beberapa minggu setelah menemukan ibunya, Bender dan putrinya langsung terbang ke Korea untuk bertemu langsung dengan Han. 

“Rasanya seperti lubang di hati Anda telah sembuh, Anda akhirnya merasa seperti orang yang utuh. Rasanya seperti Anda telah hidup dalam kehidupan yang palsu dan semua yang Anda ketahui tidaklah benar," ungkap Bender. 

Investigasi Associated Press, yang juga didokumentasikan oleh Frontline (PBS), menyoroti bagaimana pemerintah Korea Selatan, negara-negara Barat, dan agen adopsi bekerja sama untuk mengirimkan sekitar 200 ribu anak Korea ke AS dan negara-negara Barat lainnya, meskipun ada bukti bahwa anak-anak tersebut diperoleh melalui cara yang meragukan atau tidak jujur. Namun, negara-negara Barat mengabaikan masalah ini dan terkadang menekan Korea Selatan untuk terus mengirimkan anak-anak demi memenuhi tinggimya permintaan domestik terhadap bayi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fatimah
EditorFatimah
Follow Us