AS Berencana Terbangkan Imigran Asia ke Libya

Jakarta, IDN Times - Hakim Federal Amerika Serikat (AS), pada Rabu (7/5/2025), memblokir rencana pemerintah mengirimkan imigran ilegal Asia ke Libya atau Arab Saudi. Imigran tersebut diketahui berasal dari Filipina, Vietnam, Laos, dan negara Asia lainnya.
Penerbangan imigran itu akan dilakukan menggunakan pesawat US Air Force C-17 yang rencananya diterbangkan pada Rabu dari Lapangan Udara Kelly di San Antonio ke Bandara Misrata di Libya.
Sebulan lalu, Hakim Brian Murphy sudah memblokir pemerintah Presiden AS Donald Trump untuk mendeportasi imigran ilegal ke negara lain tanpa memberikan peringatan dan kesempatan untuk mengajukan banding. Ia mengklaim tindakan ini menyalahi aturan hukum.
1. Trump tolak tanggapi rencana pengiriman imigran Asia ke Libya

Menanggapi permasalahan ini, pemerintah AS menolak mengomentari terkait terungkapnya penerbangan imigran ke Libya ini. Trump juga mengaku tidak tahu mengenai adanya penerbangan ini.
"Saya tidak tahu. Anda seharusnya bertanya kepada Departemen Keamanan Negara (DHS) mengenai masalah penerbangan imigran ke Libya ini," ungkap Trump saat berada di Oval Office, dikutip CNN.
Berdasarkan laporan dari seorang imigran, petugas Immigration and Customs Enforcement (ICE) di Texas Selatan mengumpulkan imigran di satu ruangan. Mereka diharuskan mendatangani dokumen untuk menyetujui dideportasi ke Libya. Ketika mereka menolak, mereka akan dipindah ke ruangan yang lain.
Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri AS selama ini menetapkan peringatan level 4 kepada warganya yang akan berkunjung ke Libya karena ancaman terorisme, penculikan, konflik bersenjata dan lainnya.
2. Libya mengaku tidak menerima deportasi imigran dari AS
Pemerintah Libya mengatakan bahwa tidak ada koordinasi terkait deportasi imigran dari AS ke negaranya. Pihaknya menolak negaranya dijadikan tujuan deportasi imigran tanpa sepengetahuan dari otoritas setempat.
"Pemerintah menampik eksistensi dari persetujuan atau koordinasi terkait dengan penerimaan deportasi imigran dari AS. Pihak lain di Libya tidak memiliki legitimasi untuk mengatur di Libya," terangnya, dikutip NBC News.
Sementara itu, Pemimpin Tentara Nasional Libya, Khalifa Haftar yang mengontrol bagian timur Libya juga menolak deportasi imigran ke wilayahnya. Ia mengklaim, deportasi imigran dari AS tersebut melanggar kedaulatan negaranya.
3. Rwanda memulai dialog pengiriman imigran dari AS
Pada Minggu (4/5/2025), Menteri Luar Negeri Rwanda, Olivier Nduhungirehe mengatakan bahwa negaranya sudah memulai diskusi dengan Washington untuk menjadi negara penerima imigran yang dideportasi dari AS.
"Kami sekarang memulai dialog dengan AS terkait perjanjian imigrasi. Rencana ini masih belum bisa dipastikan, tapi Rwanda sudah memiliki pengalaman menampung imigran sebelumnya. Ini bukanlah pertama kalinya kami terlibat dalam perjanjian semacam ini," tuturnya, dilansir NPR.
Penulis dan jurnalis asal Rwanda, Michela Wrong mengatakan bahwa Rwanda bukanlah negara tepat untuk mengirimkan imigran. Ia menyebut negaranya bukan demokrasi karena selalu dicurangi oleh penguasa dan aktivis oposisi kerap hilang dan ditemukan tewas.
Ia menambahkan, isu pengiriman imigran ke Rwanda ini dilakukan bersamaan dengan mediasi yang dilakukan AS untuk menghentikan konflik antara pemberontak M23 yang didukung Rwanda dan tentara Republik Demokratik Kongo.