Bagaimana Masyarakat Indonesia Menyikapi Kebangkitan Taliban?

Jakarta, IDN Times – Kebangkitan Taliban di Afghanistan menuai beragam jenis respons masyarakat Indonesia. Ada yang menentang dengan alasan khawatir menjadi katalis kebangkitan terorisme global. Ada pula yang mendukung dengan argumen Taliban hari ini bukanlah militan Islam bar-bar seperti 20 tahun silam.
Hal ini menjadi perbincangan hangat di media sosial sejak Taliban kembali menguasai Afghanistan sejak 15 Agustus lalu. Pengamat media sosial dan pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, memotret setidaknya tiga klaster percakapan Twitter terkait Taliban dan Afghanistan. Klaster pertama adalah warganet dengan sentimen negatif terhadap kebangkitan Taliban.
“Itu dari akun (Twitter) pro-pemerintah. (Taliban) arahnya bisa menimbulkan radikalisme di Indonesia dan membangkitkan semangat terorisme. Mereka juga menyoroti bagaimana Taliban zaman dulu memperlakukan perempuan. Jadi mereka lihat fakta terdahulu,” kata Ismail saat dihubungi IDN Times.
Klaster berikutnya adalah mereka yang melihat Taliban secara optimistis. Di antara tokoh yang ikut menggemakan narasi ini adalah mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan politikus Gerindra Fadli Zon.
“Misalnya pak JK (sapaan akrab Jusuf Kalla) bilang kalau Taliban sudah berubah, lebih moderat, mau membentuk pemerintahan inklusif, apalagi dasarnya dari JK pernah bertemu mereka. Jadi yang dipake (untuk mendukung argumennya) adalah janji-janji Taliban,” terang alumni University of Groningen itu.
Klaster terakhir, kata Ismail, adalah kelompok media yang relatif netral dalam memberitakan perkembangan situasi di Afghanistan. “Media juga memberitakan kemajuan di sana dan penarikan pasukan (Amerika Serikat dan koalisi Barat),” ulasya.
Tidak kalah menarik, ternyata ada kelompok kecil yang mengaitkan kata kunci Taliban dengan narasi pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagai informasi, sejumlah buzzer pernah mengangkat wacana penegak hukum “Taliban” di dalam tubuh KPK, mereka adalah pihak-pihak yang dituduh berpandangan konservatif, menentang Pancasila, dan memiliki agenda keagamaan tersendiri.
“Sentiman dari buzzer itu kebawa juga (dalam klaster percakapan seputar Taliban),” ucap Ismail.
Terlepas dari tiga klaster di atas, Ismail menggarisbawahi dua poin penting dalam percakapan menyoal Taliban-Afghanistan. Pertama, warganet relatif bisa membedakan antara Taliban dengan kelompok teror Islamic State of Islam and Syria (ISIS) atau Al-Qaeda.
“Kelompok pro-Taliban mengangkat yang teroris adalah ISIS, yang jahat ISIS, beda dengan Taliban. Tapi again, mereka yang kontra mengatakan Taliban berpotensi menggerakkan fundamentalis ke arah teroris. BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) juga memperingatkan itu,” papar dia.
Catatan penting kedua adalah kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan memperkaya khazanah intelektual tentang Afghanistan.
“Saya lihat banyak edukasi yang muncul, soal nasionalisme, soal Afghanistan itu banyak suku dan masing-masing membela kebenaran vesi sukunya. Saya kira umat Islam gak banyak tahu soal itu, karena isu Afghanistan ini tidak sehitam putih Palestina-Israel,” terang Ismail.
Kemudian, pertanyaan yang relevan diajukan adalah bagaimana masyarakat muslim atau masyarakat Indonesia secara umum, menanggapi kebangkitan Taliban?
1. Moderasi Taliban karena pergulatan pemikiran atau tekanan internasional?

Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM (Lakspesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 2015-2020, Rumadi Ahmad, menyarankan supaya masyarakat Indonesia tidak tergesa-gesa menyambut kemenangan Taliban. Sebab, sejauh ini, janji-janji Taliban tidak lebih dari rektorika belaka.
Melihat reaksi penduduk setempat, atas kembalinya Taliban setelah 20 tahun, bisa menjadi salah satu alternatif dalam menentukan sikap. Realitanya warga Afghanistan berkerumun di Bandara Hamid Karzai, Kabul, dengan harapan dievakuasi oleh pasukan asing. Kebanyakan dari mereka adalah warga yang sempat merasakan kekejaman Taliban ketika berkuasa sepanjang 1996-2001.
“Kalau banyak orang Indonesia yang mulai bersimpati kepada Taliban, justru orang-orang Afghanistan yang pernah hidup di rezim Taliban lebih tidak percaya dengan perubahan sikap mereka. Karena memori kolektif Taliban yang kejam itu gak bisa hilang hanya dengan pernyataan,” kata Rumadi kepada IDN Times.
“Menurut saya kita perlu wait and see perubahan apa yang akan terjadi. Masyarakat Indonesia jangan terlalu euforia seolah-olah Taliban sudah berubah,” sambungnya.
Kendati dua dekade telah berlalu, Rumadi ragu bila pergolakan pemikiran yang dilalui Taliban telah membentuknya menjadi kelompok moderat. Dengan demikian, satu-satunya penjelasan di balik janji manis Taliban adalah tekanan internasional, termasuk kebutuhan mereka terhadap bantuan kemanusiaan dan akses keuangan global.
“Itu juga yang jadi pertanyaan, perubahan cara berpikir itu bukan hal mudah. Menurut saya masih jauh untuk dikatakan reformasi pemikiran. Perubahannya gak bisa sedrastis itu karena karakter Taliban itu keras,” ulas Rumadi.
Ungkapan senada juga dilontarkan oleh dosen hubungan internasional Universitas Indonesia Yon Machmudi. Komitmen inklusivitas sebatas tekanan internasional, sedangkan perkembangan terhadap hak asasi manusia di Afghanistan sangat bergantung terhadap faksi Taliban mana yang akan berkuasa.
“Kalau memang perubahannya adalah ideologi, siapa pun yang berkuasa tidak akan berubah (komitmennya). Tapi memang perlu penelitian mendasar, apakah perubahan Taliban juga disertai dengan perubahan dokumen,” ujar Yon, menyoroti perubahan tertulis sebagai bukti konkret bahwa Taliban hari ini berbeda dari Taliban yang dulu.
2. Taliban sebagai gerakan perlawanan

Sementara itu, Wakil Ketua Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah, Sudarnoto Abdul Hakim, menawarkan cara pandang yang berbeda terhadap Taliban. Menurut dia, Taliban merupakan kelompok yang berjuang demi membebaskan Afghanistan dari penjajahan.
Adapun stigma negatif yang melekat terhadap Taliban, termasuk pelabelan sebagai kelompok teror, tidak lepas dari kepentingan Barat. Sama seperti bagaimana Amerika Serikat (AS) mengecap Iran dan Hamas sebagai teroris.
“Kemenangan Taliban adalah bagian dari spirit nasionalisme Afghanistan. Taliban menjadi contoh perlawanan terhadap invasi bangsa asing. Jadi tidak benar kalau Taliban disebut sebagai pemberontak atau separatis,” kata Sudarnoto, dalam webinar bertajuk Masa Depan Afghanistan dan Peran Diplomasi Perdamaian Indonesia, sebagaimana disiarkan melalui platform YouTube dkhairatTV, Sabtu (21/8/2021).
Sudarnoto juga tidak ambil pusing ihwal ideologi Islamisme yang diusung oleh Taliban.
“Gerakan nasionalisme itu ideologinya macam-macam di tempat lain. Ada yang keras, lembut, dan moderat, itu bukan hal yang aneh. Makanya reaksi masyarakat internasional tentang kekhawatiran kebangkitan terorisme, yang didukung negara, menurut saya itu terlalu berlebihan,” terang dia.
Sekalipun banyak pihak yang meragukan komitmen Taliban soal inklusivitas, bahkan rakyat Afghanistan sendiri, Sudarnoto melihat pernyataan itu sebagai gestur politik yang positif. Bahkan, penaklukkan ibu kota Kabul tanpa pertumpahan darah merupakan sesuatu yang patut diapresiasi.
“Itu tentu mengagetkan, kalau kecenderungan lama musuh pasti segera ditangkap. Jadi memang penaklukkan damai itu adalah pintu masuk awal untuk rekonsiliasi nasional. Gestur itu penting untuk meyakinkan masyarakat dan komunitas internasional,” kata mantan Wakil Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Bagaimana dengan pemikiran atau ideologi Taliban? Sudarnoto optimis mereka bisa menjadi kelompok moderat.
“Kalau mazhab gak ada persoalan, mereka Hanafi, kita (kebanyakan di Indonesia) Syafi’i. Hanya saja itu 20 tahun lalu. Mungkin karena suasana dan pemahaman keagamaan mendorong mereka untuk konservatif. Tapi sekarang terjadi perubahan pemahaman dalam keagamaan dan politik, kondisinya dinamis,” beber dia.
Sebaliknya, Rumadi menilai kurang tepat untuk membedakan peran Taliban sebagai gerakan kemerdekaan dan kelompok keagamaan. Karena mayoritas anggotanya berasal dari etnis Pashtun, Rumadi kemudian menyebut Taliban sebagai gerakan etnonasionalisme.
“Gak bisa dipisahkan. Energi yang menggerakkan Taliban adalah energi agama. Cita-cita politiknya sama seperti yang mereka lakukan pada 1996-2001 (mendirikan imarah Islam). Jadi Taliban digerakkan berdasarkan nasionalisme (versi) etnik tertentu yang dibungkus dengan spirit agama,” terangnya.

3. Kebangkitan Taliban memperkaya diskursus nasionalisme dan islamisme

Sekalipun Rumadi dan Sudarnoto berbeda persepsi soal Taliban, keduanya sepakat bahwa isu Taliban-Afghanistan memperkaya diskursus soal nasionalisme dan islamisme.
Salah satu yang disorot Sudarnoto, selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, adalah narasi islamofobia global yang digaungkan seiring kebangkitan Taliban.
“Taliban sama seperti Iran dan Hamas. Hanya karena melawan dominasi Barat, maka mereka dikategorikan kelompok ekstrem. Gerakan ini jadi alasan untuk (membangkitkan) islamofobia. Di Indonesia juga ada yang menjadikan Taliban sebagai simbol perlawan terhadap demokrasi, ini stigma dan cara pandang yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Jurnalis Tempo yang pernah meliput konflik di Afghanistan, Qaris Tajudin, juga mengingatkan masyarakat Indonesia supaya tidak terkecoh dengan terminologi bernuansa Islam yang dipakai Taliban. Menurut Qaris, setiap fraksi pemberontak di Afghanistan memperkenalkan dirinya sebagai mujahidin atau kelompok Islam.
Setelah bermukim beberapa minggu di sana, Qaris berkesimpulan bahwa sistem warlord dan karakter tribalisme yang hidup di Afghanistan menjadikan para kelompok pemberontak, termasuk Taliban, lebih bersikap pragmatis alih-alih ideologis.
“Mereka (pemberontak) akan mendukung siapa saja yang mensponsorinya,” kata dia kepada IDN Times.
Hal itu pula yang menjelaskan moderasi Taliban, ujar Qaris. Indikasinya sudah mulai terlihat, seperti komitmen Taliban kepada Barat untuk mengawal proses evakuasi secara aman hingga tenggat waktu 31 Agustus 2021 lalu. Baru-baru ini, Taliban terang-terangan menyatakan keinginannya bersahabat dengan Washington.
“Karena gak ada lagi yang bisa ‘dijual’. Mereka bukan syiah, sehingga tidak akan didukung Iran. Mereka gak bisa juga ‘jualan’ Islam atau sunni seperti dulu, karena rezim Arab Saudi sudah berubah. Itulah menurut saya Taliban sekarang bakalan lebih moderat dan pragmatis,” papar dia.
Rumadi turut menyoroti kesalahpahaman masyarakat Indonesia dalam memahami posisi Taliban sebagai mujahidin.
“Terminologi mujahidin di Indonesia berbeda seperti yang dipahami Taliban. Di Indonesia itu istilahnya bercampur-campur, dari teroris sampai orang yang demo di jalan juga disebut mujahidin,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Rumadi juga menggarisbawahi tiga perhatian Indonesia terhadap isu Taliban-Afghanistan.
“Pertama, mendorong pemerintahan yang inklusif. Kedua, mendorong pemerintahan yang ramah terhadap perempuan, ketiga jangan sampai Taliban menjadi proksi baru gerakan terorisme. Saya kita tiga hal itu juga menjadi concern dunia internasional,” kata Rumadi, yang merupakan Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden (KSP).
Sudarnoto menambahkan, sejauh ini peran Indonesia sudah sesuai dengan mandat konstitusi, termasuk tidak mengintervensi urusan domestik negara lain dan tidak mendukung penjajahan.
“Menurut hemat saya Indonesia harus menunggu, jangan merecoki. Sejauh ini Indonesia sudah benar,” kata Sudarnoto.