Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bullying di Sekolah Korsel Meningkat dalam 10 Tahun Terakhir

ilustrasi anak korban bullying (pexels.com/Mikhail Nilov)

Jakarta, IDN Times - Jumlah pelajar di Seoul, Korea Selatan (Korsel) yang mengalami bullying atau perundungan di sekolah sepanjang 2023 mencapai titik tertinggi dalam 10 tahun terakhir.

Kantor Pendidikan Seoul (SMOE) mengatakan pada Jumat (15/12/2023), laporan tersebut berdasarkan survei tentang kekerasan di sekolah terhadap 486.729 pelajar SD, SMP serta SMA, dan menemukan bahwa 2,2 persen di antaranya telah mengalami beberapa bentuk penganiayaan, dilansir Korea Herald.

Angka tersebut meningkat sebesar 2 persen, dibandingkan tahun lalu dan merupakan angka tertinggi dalam 10 tahun terakhir.

Dalam survei tersebut, sebanyak 4,6 persen pelajar SD mengatakan bahwa mereka menjadi sasaran kekerasan di sekolah. Sementara itu, 1,6 persen pelajar SMP dan 0,4 persen pelajar SMA menjawab hal yang sama. 

Persentase korban di SD tidak berubah dibandingkan tahun lalu, sedangkan korban di SMP dan SMA masing-masing sebesar 0,7 dan 0,1 poin persentase. Bullying di kalangan pelajar merupakan masalah yang paling menonjol di sekolah-sekolah di Negeri Ginseng.

1. Kasus kekerasan meningkat pascapandemik

Melihat tingginya persentase tersebut, para pejabat menduga peningkatan kekerasan di sekolah disebabkan oleh kelas tatap muka. Ini berbeda dengan sekolah yang memilih kelas daring pada masa pandemik COVID-19.

"Siswa kembali ke sekolah setelah COVID-19, dan mereka memiliki lebih sedikit kesempatan untuk berinteraksi dengan teman-temannya selama pandemik. Kami pikir hal ini mengarah pada kecenderungan yang lebih tinggi terhadap pelajar yang mengalami lebih banyak kesulitan dalam mengatasi konflik, dan lebih banyak kekerasan," kata pejabat SMOE.

Disebutkan, persentase anak-anak yang melaporkan kekerasan di sekolah turun menjadi 1,1 persen pada 2020 dari 2 persen pada 2019. Ini karena pada tahun pertama sekolah terpaksa mengadakan kelas secara online.

2. Bentuk-bentuk kekerasan di sekolah yang dilaporkan

Ilustrasi suasana kelas. (pexels.com/Arthur Krijgsman)

Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi di sekolah adalah kekerasan verbal, sebesar 37,7 persen. Lalu, disusul kekerasan fisik dan perundungan dari kelompok masing-masing sebesar 18,1 persen dan 15,3 persen. 

Sekitar 68,8 persen kekerasan terjadi di lingkungan sekolah dan 29,4 persen diantaranya terjadi di dalam ruang kelas.

Pelaku kekerasan terbanyak adalah teman sekelas (46,1 persen), disusul oleh siswa satu angkatan namun berbeda kelas (32,7 persen), dan 6,8 persen adalah pelajar yang berbeda angkatan dengan korban.

Dari 93 persen kasus, korban mengadukannya kepada orang lain. Sekitar 37,9 persen kasus ke wali atau kerabat yang sah, 29,5 persen ke guru, dan 15,5 persen korban menceritakannya kepada teman mereka. 

Hanya 1,5 persen korban yang melaporkan kasus tersebut ke polisi dan 1,2 persen melaporkan kasus tersebut ke organisasi di luar sekolah.

Undang-undang Korsel mendefinisikan kekerasan di sekolah sebagai tindakan yang dilakukan terhadap siswa di dalam atau di luar sekolah. Ini mencakup kekerasan pada cedera fisik atau mental, perusakan properti, ancaman, kekerasan seksual, pencemaran nama baik, pemerasan, pemaksaan, dan penindasan secara online maupun secara langsung.

3. Korsel akan bentuk pos penyidik tangani kasus kekerasan

Ilustrasi bendera Korea Selatan. (pexels.com/byunghyun lee)

Sementara itu, berdasarkan survei nasional yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan terhadap 3,17 juta siswa dari SD hingga SMA, jumlah pelajar yang pernah mengalami kekerasan di sekolah mencapai 1,9 persen responden.

Hampir 8 persen dari mereka yang mengalami kekerasan di sekolah tidak melaporkannya kepada siapa pun, sebab mereka menganggap hal itu bukan masalah besar. Sebanyak 34,8 persen pelaku mengatakan bahwa mereka melakukannya untuk iseng atan tanpa alasan yang jelas.

Pemerintah pun tidak tinggal diam, Korsel memutuskan untuk membentuk pos penyidik yang bertugas menangani kasus kekerasan di sekolah dalam upaya mengurangi beban guru, dilansir KBS World.

Pihaknya berencana meningkatkan peran petugas polisi sekolah (SPO) dengan mempekerjakan pensiunan polisi atau guru yang berpengalaman menangani kasus kekerasan di sekolah.

Diharapkan, pemerintah dapat mendukung sekolah agar membantu mereka fokus melindungi korban dan mengambil tindakan yang diperlukan, dibandingkan membiarkan guru menangani kasus-kasus seperti itu sehingga rentan terhadap pengaduan jahat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rahmah N
EditorRahmah N
Follow Us