Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ditangkap ICC, Duterte Akui Siap Tanggung Jawab soal Perang Narkoba

Mantan presiden Filipina, Rodrigo Duterte. (PCOO EDP, Public domain, via Wikimedia Commons)
Intinya sih...
  • Duterte mengaku bakal bertanggung jawab atas perang narkoba yang menewaskan 30 ribu orang
  • ICC menahan Duterte atas tuduhan pembunuhan terkait perang melawan narkoba
  • Reaksi beragam dari pendukung dan lawan penangkapan Duterte, termasuk reaksi internasional

Jakarta, IDN Times - Mantan presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan dirinya akan bertanggung jawab atas apa yang disebut perang melawan narkoba oleh pemerintahnya. Pernyataan itu disampaikannya dalam sebuah pesan video yang direkam di dalam pesawat sesaat sebelum dirinya ditahan oleh Pengadilan Pidana Internasional (ICC).

"Saya yang memimpin aparat penegak hukum dan militer. Saya katakan bahwa saya akan melindungi kalian dan saya akan bertanggung jawab atas semua ini. Saya sudah sampaikan kepada polisi, militer, bahwa ini adalah tugas saya dan saya bertanggung jawab," bunyi pernyataan Duterte, dikutip dari Channel News Asia, Jumat (14/3/2025). 

Duterte sebelumnya mengatakan ia tidak akan meminta maaf dan mencari alasan atas tindakan keras antinarkoba berdarah yang menurut para aktivis telah menewaskan sebanyak 30 ribu orang. Duterte adalah mantan pemimpin negara Asia pertama yang menerima surat perintah penangkapan yang diajukan oleh ICC.

Duterte ditahan oleh ICC pada Rabu lalu atas tuduhan pembunuhan terkait perang melawan narkoba. Mantan pemimpin Filipina dari 2016 hingga 2022 itu dituduh telah membentuk, mendanai, dan mempersenjatai regu pembunuh yang melakukan pembunuhan terhadap para pengguna dan pengedar narkoba dalam tindakan kerasnya tersebut

1. ICC temukan alasan yang masuk akal untuk mendakwa Duterte

ICC telah menilai materi yang diserahkan oleh kantor jaksa penuntut dan menemukan alasan yang masuk akal bahwa Duterte bertanggung jawab secara individu sebagai pelaku tidak langsung atas kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan. Kejahatan itu diduga dilakukan di Filipina antara 1 November 2011 dan 16 Maret 2019, mengutip The Guardian.

Duterte akan dibawa ke hadapan hakim ICC di Den Haag dalam beberapa hari mendatang untuk sidang perdana. Saat ini mantan presiden Filipina itu dipindahkan ke unit penahanan di pesisir Belanda untuk menunggu persidangannya.

ICC mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menahan Duterte. Kepala jaksa pengadilan, Karim Khan, menyebut penahanan itu sebagai langkah krusial dalam kerja berkelanjutan pengadilan internasional itu untuk memastikan akuntabilitas bagi para korban kejahatan paling serius di bawah yurisdiksi ICC.

2. Para pendukung Duterte menuntut ICC mengembalikan mantan presiden Filipina

bendera Filipina (pexels.com/Emmanuel Nicolas Jr.)

Sebelumnya, wakil presiden Filipina yang dimakzulkan, Sara Duterte, mengatakan bahwa ayahnya dibawa secara paksa ke Den Haag. Dia menyebut hal itu sebagai penindasan dan penganiayaan. Pengacara Duterte pada Rabu mengajukan petisi yang menuduh pemerintah menculik pria berusia 79 tahun itu dan menuntut agar Duterte dikembalikan ke Filipina.

Para pendukung Duterte berkumpul di Lembaga Pemasyarakatan Den Haag dan mengibarkan bendera Filipina seraya meneriakkan "bawa dia (Duterte) kembali". Sementara itu, para ahli hak asasi manusia dan keluarga korban sangat gembira dengan berita penangkapan mantan pemimpin itu, yang memiliki basis dukungan kuat di wilayah selatan negara tersebut.

Para pendukung Duterte berpendapat bahwa Filipina telah menarik diri dari statuta Roma pada 2019, sehingga ICC tidak lagi memiliki yurisdiksi. Namun, pengadilan mengatakan bahwa pihaknya tetap memiliki yurisdiksi atas dugaan kejahatan yang terjadi di negara tersebut sebelum penarikan tersebut.

Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr, yang pernah maju bersama Sara Duterte dalam pemilu, menilai penangkapan itu tepat, benar, dan mengikuti semua prosedur hukum yang diperlukan. 

3. Kasus Duterte ditangani ICC saat berada di bawah sanksi AS

Markas Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag. (Tony Webster, CC BY 2.0, via Wikimedia Commons)

Kasus Duterte muncul saat ICC sedang dikenai sanksi oleh Presiden AS, Donald Trump. Pemimpin Negeri Paman Sam itu menjatuhkan sanksi setelah pengadilan internasional itu mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.

Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, Volker Turk, menggambarkan penangkapan Duterte sebagai langkah yang sangat penting untuk mencari akuntabilitas atas ribuan korban pembunuhan. Selain itu, pengacara dan akademisi mengatakan hal tersebut merupakan momen besar bagi ICC, yang telah menjadi sasaran sanksi oleh Washington, dilansir Al Jazeera. 

Kepala Jaksa Penuntut Umum ICC, Karim Khan, mengatakan bahwa surat perintah penangkapan Duterte yang telah dilaksanakan penting bagi para korban. Itu menjadi bukti bahwa hukum internasional tidak selemah yang mungkin dipikirkan sebagian orang.

Meski demikian, China memperingatkan ICC terhadap politisasi dan standar ganda kasus tersebut. Beijing mengatakan bahwa pihaknya memantau dengan saksama kasus Duterte.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sonya Michaella
EditorSonya Michaella
Follow Us