Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Israel Biadab! Nestapa Warga Gaza Kesulitan Air Selama Ramadan

bendera Palestina (unsplash.com/Ömer Yıldız)

Jakarta, IDN Times - Krisis air bersih semakin memperburuk penderitaan pengungsi Palestina di Jalur Gaza selama bulan suci Ramadan. Warga harus mengantre berjam-jam untuk mendapatkan air, yang digunakan untuk kebutuhan dasar seperti mencuci pakaian dan membersihkan diri.

“Setiap satu atau dua hari, truk air datang ke daerah tersebut, dan orang-orang berkumpul untuk mengisi air dari sana,” kata Kosai Hassouna kepada The National. 

Ia ikut mengantre demi dapat mengisi embernya dengan 20 liter air, yang harus cukup untuk sehari.

Dia mengatakan bahwa truk hanya berhenti selama 30 menit, sehingga tidak ada cukup waktu bagi semua orang di sebelah barat kota Rafah untuk mendapatkan air. Hassouna dan lima kerabatnya tinggal di sebuah tenda di sebelah barat kota tersebut.

“Air yang sedikit ini tidak akan cukup untuk keperluan toilet, dan kami juga membutuhkan air untuk mencuci dan membersihkan diri,” ujarnya.

1. Warga harus ekstra hemat dalam menggunakan air

Kari Thabit, yang menyewa rumah di Rafah setelah melarikan diri dari kota Gaza, mengatakan bahwa keluarganya telah kehabisan air sejak tiga hari lalu.

“Kemarin anak-anak saya pergi ke masjid terdekat untuk mengisi sejumlah wadah agar airnya bisa digunakan untuk toilet dan mencuci. Kami menggunakan air dengan hati-hati karena air tidak selalu tersedia di masjid,” kata Thabit.

“Kadang-kadang, kami membeli air dan mengisi tong-tong besar. Sebelum konflik, saya mengeluarkan biaya sekitar 20 shekel (sekitar Rp86 ribu) untuk air minum, namun sekarang biayanya 100 shekel (sekitar Rp433 ribu) untuk air asin," sambung dia. 

Sementara itu, Odai Hassan, yang tinggal di Jabalia bergantung pada sumur di pertanian terdekat. Ia dan tetangganya patungan membayar biaya bahan bakar untuk menggerakkan generator pemompa air.

“Ini bukan proses yang mudah, tapi kami melakukan apa yang kami bisa. Kami menganggap diri kami beruntung telah menemukan sumur air tanah di dekatnya. Jika tidak, kami akan kesulitan mendapatkan air. Kadang-kadang, jika kami tidak dapat menemukan bahan bakar untuk generator, kami menghubungi perusahaan air untuk membeli air asin," kata Hassan.

2. Kelangkaan air memicu banyak penyakit

Ummu Ala mengungkapkan bahwa kekurangan air di kota Rafah telah memperburuk penderitaan pengungsi Palestina hingga ke tingkat yang tak terlukiskan.

"Bahkan air, jika tersedia, tercemar dan tidak layak untuk diminum, serta mengandung kuman dan banyak kotoran," katanya dalam wawancara dengan Anadolu.

“Sudah cukup ketidakadilan ini. Kami tidak tahu bagaimana caranya tidur, kami juga tidak makan atau minum secara normal. Kami tidak tahu arti hidup, dan penderitaan kami semakin buruk setiap hari," keluh dia. 

Umm Magdy Salem juga menceritakan perjuangannya untuk mendapatkan air minum. Setiap hari, ia menunggu berjam-jam dalam antrean panjang hanya untuk satu wadah air.

“Air untuk keperluan lain, seperti mandi dan mencuci pakaian, hanya sampai ke kami setiap 10 hari sekali melalui saluran air kota,” katanya.

Salim menambahkan bahwa kelangkaan air menyebabkan kurangnya kebersihan sehingga memicu banyak penyakit. 

3. Lebih dari 80 persen rumah tangga di Gaza kekurangan air bersih

Awal bulan ini, PBB mengatakan bahwa lebih dari 80 persen rumah tangga di Gaza kekurangan air bersih.

"340 orang-orang berbagi satu toilet dan terdapat satu kamar mandi untuk sekitar 1.300 orang. Itu adalah rata-rata," kata Stephane Dujarric, juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.

Israel telah melancarkan serangan militer mematikan di Jalur Gaza sebagai respons atas serangan Hamas pada 7 Oktober, yang menurut Tel Aviv menewaskan kurang dari 1.200 orang. 

Sejak itu, sedikitnya 32.333 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, telah tewas dan 74.694 lainnya terluka akibat serangan Israel di Gaza. Pertempuran juga telah menyebabkan 85 persen penduduk Gaza mengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut telah rusak atau hancur.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Vanny El Rahman
EditorVanny El Rahman
Follow Us