Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Donald Trump Ngotot Ingin Membeli Greenland?

pemandangan Kota Aasiaat di Greenland. (unsplash.com/Visit Greenland)
Intinya sih...
  • AS menginginkan Greenland karena lokasi strategisnya dalam keamanan internasional
  • Greenland memiliki mineral kritis vital bagi industri teknologi AS dan potensi eksploitasi lebih mudah akibat perubahan iklim
  • Penduduk Greenland terbagi soal kemerdekaan dan kerjasama dengan AS, sementara Denmark menolak penjualan pulau tersebut

Jakarta, IDN Times - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump semakin sering menyuarakan keinginannya untuk membeli Greenland dari Denmark. Trump bahkan tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan militer dan tekanan ekonomi demi mendapatkan pulau terbesar di dunia ini.

Pada Minggu (26/1/2025), Trump mengklaim penduduk Greenland ingin bergabung dengan AS. Menurutnya, penguasaan Greenland adalah kebutuhan mutlak bagi keamanan internasional. Putranya, Donald Trump Jr, bahkan baru mengunjungi Greenland pada Januari ini. Mengapa Donald Trump bersikeras untuk membeli Greenland? Apa keuntungan yang didapat AS jika menguasai pulau ini?

1. Posisi Greenland dinilai strategis untuk keamanan AS

Raja Denmark, Friderik X dan Ratu Mary di pangkalan Pituffik milik AS, Greenland.

Lokasi Greenland dinilai vital bagi keamanan AS. Dilansir Reuters, pulau ini terletak di rute terpendek antara Amerika Utara dan Eropa. Posisinya dinilai cocok untuk sistem peringatan rudal balistik AS. Ibu kota Greenland, Nuuk bahkan lebih dekat ke New York dibanding Kopenhagen.

AS juga khawatir jika ada kekuatan asing yang menguasai Greenland. Dilansir CNN, pulau ini berada di celah maritim strategis Greenland-Islandia-Inggris. Jalur pelayaran Northwest Passage juga melewati pesisir pulau ini. Jika dikuasai negara lain, Greenland bisa menjadi pijakan untuk menyerang AS.

Greenland memainkan peran krusial sejak Perang Dunia II. Dilansir Time, Nazi Jerman pernah berusaha memanfaatkan stasiun cuaca di pulau ini setelah menduduki Denmark. Mereka juga diam-diam membangun pos intelijen untuk mengumpulkan data cuaca yang digunakan menyerang kapal Sekutu pembawa pasokan ke Uni Soviet. AS merespons dengan memperluas zona netralitasnya hingga mencakup Greenland bahkan sebelum resmi bergabung dalam perang.

AS memiliki sejarah panjang dalam upayanya mendapatkan Greenland. Langkah pertama dilakukan Presiden Andrew Johnson pada 1867 setelah berhasil membeli Alaska. Menlu AS saat itu William Seward memanfaatkan momentum melemahnya Denmark pasca Perang Schleswig untuk mengajukan tawaran. Upaya kedua muncul dari Presiden William Taft pada 1910 dengan tawaran menukar Greenland dengan wilayah AS di Filipina, namun gagal karena pecahnya Perang Dunia I. Presiden Harry Truman melakukan upaya ketiga dengan menawar 100 juta dolar AS (sekitar Rp1,6 triliun saat ini) setelah Perang Dunia II.

AS saat ini sudah memiliki pangkalan udara Pituffik di barat laut Greenland berdasarkan perjanjian pertahanan 1951. Perjanjian tersebut memberi AS hak bergerak bebas dan membangun pangkalan militer di Greenland, dengan syarat mendapat persetujuan dari pemerintah Denmark. Namun, Trump menilai AS perlu kendali lebih atas pulau tersebut.

2. Greenland kaya akan sumber daya mineral langka

sebuah kapal di pesisir perairan Greenland. (unsplash.com/Hubert Neufeld)

Greenland menyimpan kekayaan mineral strategis yang luar biasa. Survei pada 2023 mengungkap bahwa 25 dari 34 mineral yang dikategorikan bahan baku kritis oleh Uni Eropa ada di pulau ini. Mineral langka ini menjadi bahan vital produksi mobil listrik, turbin angin, peralatan militer, dan teknologi modern lainnya. Greenland juga memiliki cadangan minyak, gas alam, grafit, dan litium yang belum tereksploitasi.

China saat ini mengendalikan pasar mineral langka dunia. Negara ini memasok sebagian besar kebutuhan mineral kritis global dan mengancam membatasi ekspor menjelang masa jabatan kedua Trump. Penguasaan AS atas Greenland berpotensi memutus ketergantungan pada China dan menjamin pasokan mineral strategis bagi industri teknologi AS.

Ironisnya, perubahan iklim dinilai akan mempermudah eksploitasi kekayaan Greenland. Mencairnya es Arktik menciptakan jalur pelayaran baru, terbukti dari lonjakan 37 persen aktivitas pelayaran dalam satu dekade terakhir. Rute baru ini memangkas jarak tempuh kapal dan membuka akses ke deposit mineral yang sebelumnya tertutup es abadi.

Ekonomi Greenland masih bergantung pada sektor perikanan yang menyumbang 95 persen ekspor. Denmark mengeluarkan hampir 1 miliar dolar AS (sekitar Rp16,2 triliun) per tahun untuk menopang pulau ini. Angka ini setara 17.500 dolar AS (sekitar Rp284 juta) per penduduk pulau ini. Greenland juga masih bergantung pada bantuan tahunan senilai 500 juta dolar AS (sekitar Rp8,1 triliun) dari Denmark.

3. Masa depan Greenland di tengah ambisi AS

Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani perintah eksekutif. (The Trump White House, Public domain, via Wikimedia Commons)

Greenland memiliki otonomi luas dari Denmark sejak 2009. Pulau ini berhak menggelar referendum kemerdekaan kapan saja. Mayoritas penduduk Greenland mendukung kemerdekaan, namun masih terbagi soal waktu yang tepat karena kekhawatiran dampak ekonomi.

Pemerintah Denmark merespons ambisi Trump dengan langkah strategis. Denmark mengumumkan peningkatan besar anggaran militer untuk Greenland pada Desember 2024. Keluarga kerajaan Denmark bahkan merombak lambang kerajaan, memperbesar simbol beruang kutub Greenland sebagai tanda komitmen mereka.

Beberapa politisi Greenland membuka opsi kerja sama khusus dengan AS. Mereka mengusulkan model hubungan mirip Kepulauan Marshall, di mana Greenland berdaulat namun mendapat dukungan finansial AS. Namun, mantan PM Greenland Kuupik V. Kleist menolak keras opsi ini dengan mengingatkan perlakuan AS terhadap penduduk asli Amerika.

Menteri Luar Negeri Denmark Lars Lokke Rasmussen menyiratkan peluang untuk kompromi. Denmark terbuka memperkuat kerja sama dengan AS di Greenland, namun menolak keras penjualan pulau tersebut. Ia menegaskan Greenland akan merdeka sesuai aspirasi rakyatnya, bukan menjadi negara bagian AS.

Sebagian warga Greenland sendiri tidak menyetujui proposal Trump. Misalnya, seorang kapten kapal nelayan di pemukiman Kapisillit menyatakan Trump boleh berkunjung, namun Greenland milik rakyatnya. Pemuka gereja setempat, Kaaleeraq Ringsted, juga menganggap bahasa Trump tidak bisa diterima dan mempertegas Greenland bukan untuk dijual, dilansir BBC.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Leo Manik
EditorLeo Manik
Follow Us