Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Korsel Khawatir Staf Diplomatiknya di Luar Negeri Diteror Korut

Ilustrasi Korea Selatan dan Korea Utara. (Pixabay.com/kirill_makes_pics)

Jakarta, IDN Times - Korea Selatan (Korsel) menaikkan status ancaman teror di lima misi diplomatik pada Kamis (2/4/2024). Hal itu dilakukan setelah menerima laporan potensi ancaman teror dari Korea Utara (Korut).

Ancaman membuat tingkat teror naik ke status kewaspadaan, yang merupakan tertinggi kedua dari empat tingkat. Tingkat itu mengindikasikan kemungkinan besar terjadinya serangan teroris.

1. Korsel berusaha melindungi keselamatan staf diplomatik

Bendera Korea Selatan. (Pixabay.com/Linguasia)

Dilansir The Korea Herald, pengumuman dibuat berdasarkan asesmen Kementerian Luar Negeri dan Kantor Koordinasi Kebijakan Pemerintah, setelah pertemuan di Pusat Penanggulangan Terorisme Nasional. Pertemuan itu juga membahas langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin keselamatan misi diplomatik dan staf diplomatik di luar negeri.

“Penyesuaian ini dilakukan sebagai respons terhadap informasi intelijen baru-baru ini yang dikumpulkan oleh badan intelijen kami, yang mengindikasikan adanya upaya Korut untuk mengancam staf diplomatik kami,” bunyi pernyataan bersama dari kedua lembaga tersebut.

Misi diplomatik yang ditargetkan meliputi kedutaan di Kamboja, Laos dan Vietnam serta konsulat di Vladivostok, Rusia, dan kota Shenyang di China.

Peringatan terorisme diklasifikasikan menjadi empat tingkatan, yaitu perhatian, kehati-hatian, kewaspadaan, dan parah, yang masing-masing mencerminkan sifat ancaman terorisme.

2. Pendorong ancaman teror karena pembelotan warga Korut

Ilustrasi bendera Korea Utara. (Pixabay.com/David_Peterson)

Badan Intelijen Nasional Korsel telah memberikan dukungan kepada lembaga-lembaga terkait, sehubungan dengan indikasi yang menunjukkan persiapan serangan terhadap staf diplomatik dan warga negara Korsel di China, Asia Tenggara, dan Timur Tengah.

“Korut telah kerahkan agen-agennya ke negara-negara ini untuk mengintensifkan pengawasan terhadap misi diplomatik Republik Korea, dan telah terlibat dalam kegiatan-kegiatan tertentu, termasuk mengidentifikasi warga negara kami sebagai target terorisme,” kata badan mata-mata tersebut.

Badan intelijen menilai, tindakan tersebut didorong serentetan pembelotan individu-individu elite, yang terdiri dari staf diplomatik, pedagang, dan pelajar, yang menyimpan rasa kekecewaan terhadap rezim negara tersebut. Tren ini bertepatan dengan peningkatan signifikan jumlah penduduk luar negeri jangka panjang yang kembali ke Korut sejak paruh kedua tahun lalu.

“Pejabat dari badan khusus, seperti staf diplomatik senior, dan anggota Kementerian Keamanan Negara yang bertanggung jawab mengawasi ekspatriat Korut di luar negeri, dinilai telah memberikan laporan palsu kepada (pemimpin Korut) Kim Jong-un, dengan tuduhan bahwa pembelotan tersebut diatur oleh aktor eksternal, untuk menghindari akuntabilitas atas pemisahan diri secara sukarela,'" ujar badan tersebut.

Untuk menghadapi masalah itu, Korsel juga mengintensifkan upaya intelijennya, mengingat ancaman terorisme tidak hanya di negara-negara di mana tanda-tanda ancaman teror telah teridentifikasi, tapi juga di wilayah lain.

3. Teror Korut terhadap Korsel

Dilansir VOA News, Korut memiliki sejarah panjang serangan teror dan pembunuhan politik terhadap tetangganya. Pada 1983, Korut mengebom hotel di Yangon, Myanmar, saat Chun Doo-hwan, presiden Korsel saat itu berkunjung. Meski Chun selamat, 21 orang lainnya tewas.

Pada 1988, agen Korut meledakkan sebuah pesawat sipil Korsel, yang menyebabkan 115 orang meninggal.

Setelah serangan pesawat tersebut, Amerika Serikat (AS) secara resmi menempatkan negara Asia itu dalam daftar negara sponsor terorisme. Pyongyang dikeluarkan dari daftar pada 2008 di tengah negosiasi program senjata nuklir. Tapi pada 2017, masuk kembali setelah Otto Warmbier, mahasiswa AS meninggal setelah dibebaskan dari tahanan di negara itu.

Negara komunis itu membantah terlibat dalam kegiatan teroris apa pun, tapi belum mengeluarkan pernyataan terkait tuduhan terbaru Korsel.

Kedua negara tersebut secara teknis masih berada dalam keadaan perang sejak konflik mereka pada tahun 1950-an berakhir dengan gencatan senjata dan bukan perjanjian damai.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Vanny El Rahman
EditorVanny El Rahman
Follow Us