Pemotongan Dana untuk Afghanistan Ancam Bantuan terhadap Perempuan

Jakarta, IDN Times - Kepala badan bantuan Dewan Pengungsi Norwegia (NRC), pada Minggu (19/1/2025), mengatakan bahwa pemotongan dana untuk Afghanistan merupakan ancaman terbesar dalam upaya membantu perempuan di negara tersebut.
Menurut Sekretaris jenderal NRC Jan Egeland, para perempuan di Afghanistan merupakan kelompok yang paling merasakan dampak dari berkurangnya dukungan keuangan dan bantuan kemanusiaan.
“Kami melihat satu demi satu organisasi sejawat mengurangi program dan staf dalam 2 tahun terakhir. Ancaman terbesar bagi program yang membantu perempuan Afghanistan adalah pemotongan dana. Ancaman terbesar terhadap kesejahteraan masa depan perempuan Afghanistan adalah (kurangnya) pendidikan," terangnya.
NRC telah membantu 772.484 warga Afghanistan pada 2022. Jumlah itu turun menjadi 491.435 pada 2023. Tahun lalu, badan bantuan tersebut membantu 216.501 orang, dengan setengah dari penerimanya adalah perempuan.
1. Perempuan kesulitan mengakses layanan kesehatan dan pendidikan
Sejak Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, bantuan asing pun terhenti hampir dalam semalam, menyebabkan jutaan orang di sana jatuh miskin dan kelaparan.
Sanksi terhadap penguasa baru negara itu, yakni penghentian transfer bank dan pembekuan aset di luar negeri, telah memutus akses ke lembaga-lembaga global serta dana luar yang sebelumnya mendukung perekonomian negara itu.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi lainnya telah mendesak komunitas internasional untuk terus mendukung negara tersebut. Organisasi seperti NRC telah membantu menjaga kelangsungan layanan publik melalui program pendidikan dan perawatan kesehatan. Namun, perempuan menghadapi lebih banyak hambatan dalam mengakses layanan kesehatan dan pendidikan akibat pembatasan yang diberlakukan oleh pihak berwenang serta kurangnya tenaga medis perempuan.
2. Egeland bujuk Taliban untuk izinkan perempuan melanjutkan pendidikan
Egeland mengatakan bahwa perempuan Afghanistan tidak melupakan pernyataan para pemimpin dunia yang menyebut pendidikan dan hak asasi manusia sebagai prioritas utama mereka.
“Sekarang kami bahkan tidak dapat mendanai program mata pencaharian bagi para janda dan ibu tunggal,” ujarnya kepada Associated Press melalui telepon dari provinsi Herat.
Komunitas internasional telah memberikan bantuan kemanusiaan di banyak negara meskipun tidak sejalan dengan kebijakan lokal. Namun, penolakan terhadap kebijakan Taliban, ditambah dengan minimnya pendanaan bantuan di banyak negara, semakin memperburuk situasi di Afghanistan.
Egeland mengatakan bahwa sebagian besar diskusinya dengan para pejabat Taliban adalah tentang perlunya melanjutkan pendidikan bagi perempuan.
“Mereka masih berdalih hal itu akan terjadi, tapi kondisinya tidak tepat. Mereka mengatakan mereka perlu menyepakati syarat-syaratnya," imbuhnya.
3. Pejabat Taliban minta larangan bersekolah bagi perempuan dicabut
Taliban telah melarang perempuan mengenyam pendidikan setelah kelas 6. Pada September 2024, muncul laporan bahwa pihak berwenang juga menghentikan pelatihan dan kursus medis bagi perempuan. Pihak berwenang belum mengonfirmasi larangan tersebut.
Namun, dalam pidatonya pada Sabtu (18/1/2025), Wakil Menteri Luar Negeri Taliban, Sher Abbas Stanikzai, mendesak pemimpin kelompok tersebut untuk mencabut larangan pendidikan bagi perempuan. Ia mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk menerapkan peraturan seperti itu.
“Kami kembali menyerukan kepada para pemimpin untuk membuka pintu pendidikan. Kami telah melakukan ketidakadilan terhadap 20 juta orang dari total 40 juta penduduk, dengan merampas semua hak mereka. Ini bukan hukum Islam, melainkan pilihan atau keputusan pribadi kita," kata Stanikzai dalam sebuah upacara sekolah agama di provinsi Khost. Teguran publik terhadap kebijakan pemerintah seperti ini cukup jarang terjadi.