Qatar: Gencatan Senjata Gaza Kritis, Israel Harus Tarik Pasukan

- Qatar mendesak penarikan pasukan Israel dari Gaza untuk mencapai stabilitas.
- Turki keluhkan pelanggaran gencatan senjata oleh Israel yang mengancam proses perdamaian.
- Rencana pasukan internasional di Gaza masih belum jelas, memperlambat proses transisi keamanan.
Jakarta, IDN Times - Perdana Menteri (PM) Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, memperingatkan bahwa kesepakatan gencatan senjata di Gaza sedang berada pada momen kritis. Pernyataan ini disampaikan dalam Forum Doha pada Sabtu (6/12/2025) di tengah kekhawatiran gagalnya proses perdamaian di Gaza.
Sheikh Mohammed menyatakan kondisi di lapangan saat ini belum bisa disebut sebagai gencatan senjata permanen, melainkan hanya jeda pertempuran. Negara mediator yang dipimpin Amerika Serikat (AS) kini tengah berupaya mendorong transisi ke fase kedua kesepakatan, dilansir Al Jazeera.
1. Qatar desak penarikan seluruh pasukan Israel dari Gaza

Sheikh Mohammed menilai jeda kemanusiaan saat ini tidak sama dengan definisi gencatan senjata yang sesungguhnya. Menurutnya, stabilitas di Gaza mustahil tercapai jika warga Palestina belum bisa bergerak bebas di wilayahnya sendiri.
PM Qatar menuntut Israel untuk segera menarik pasukannya dari seluruh wilayah Gaza. Poin ini masih menjadi ganjalan utama yang menyulitkan transisi ke fase kedua gencatan senjata.
"Kami tidak dapat menganggapnya sebagai gencatan senjata. Gencatan senjata tidak dapat diselesaikan kecuali ada penarikan penuh pasukan Israel dan stabilitas di Gaza," tutur Sheikh Mohammed, dilansir CBS News.
Para mediator mendesak semua pihak untuk segera menyepakati fase kedua dari rencana perdamaian 20 poin yang diusung Presiden AS Donald Trump. Fase kedua akan mencakup pembentukan pemerintahan teknokrat baru dan pelucutan senjata Hamas.
2. Turki keluhkan pelanggaran gencatan senjata oleh Israel

Kekhawatiran juga muncul akibat semakin seringnya Israel melanggar kesepakatan gencatan senjata. Israel dilaporkan telah melanggar gencatan senjata sebanyak 600 kali dan menewaskan lebih dari 360 warga Palestina sejak 10 Oktober.
Serangan terbaru Israel menewaskan tiga warga Palestina yang melintasi "garis kuning" di wilayah utara Gaza pada Sabtu. Militer Israel mengklaim tindakan tersebut dilakukan karena adanya ancaman langsung dari kelompok militan.
Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan, memperingatkan proses perdamaian berisiko gagal jika pelanggaran terus dibiarkan tanpa intervensi AS. Ia menekankan perlunya tindakan cepat sebelum momentum perdamaian hilang sepenuhnya.
"Jumlah pelanggaran harian gencatan senjata oleh Israel tidak dapat digambarkan saat ini. Semua indikator menunjukkan bahwa ada risiko besar terhentinya proses ini," ungkap Fidan, dilansir The Guardian.
3. Rencana pasukan internasional di Gaza masih belum jelas
Implementasi fase kedua juga terhambat oleh perdebatan terkait pembentukan Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) di Gaza. Israel telah menolak partisipasi pasukan dari Turki meskipun Ankara menyatakan kesediaannya untuk bergabung.
Fidan menyebut masih banyak ketidakjelasan mengenai struktur komando dan negara mana saja yang akan terlibat dalam ISF. Hal ini memperlambat proses transisi keamanan yang seharusnya segera berjalan.
Sementara itu, Israel juga dikritik karena hanya membuka perbatasan Rafah untuk akses keluar warga Gaza menuju Mesir. Langkah ini dikecam oleh Mesir dan Qatar karena dianggap sebagai upaya pengusiran permanen penduduk Palestina.
Secara keseluruhan, genosida Israel di Gaza telah menewaskan sedikitnya 70.125 warga Palestina sejak Oktober 2023. Musim dingin yang akan datang diprediksi memperparah krisis kemanusiaan bagi jutaan warga yang kehilangan tempat tinggal.


















