Rusia Ingin Terjunkan Ribuan Narapidana Kriminal ke Ukraina

Jakarta, IDN Times - Kementerian Pertahanan Rusia, pada Selasa (1/10/2024), mengumumkan rencana menerjunkan sebanyak 20 ribu terdakwa kasus kriminal ke medan perang di Ukraina. Terdakwa tersebut berasal dari setiap 210 penjara pra-peradilan yang terdapat di Rusia.
Sehari sebelumnya, Presiden Rusia Vladimir Putin sudah menyetujui dekrit untuk memasukkan 133 ribu pemuda dalam program wajib militer pada musim gugur. Dekrit tersebut sebagai bagian dari rencana peningkatan jumlah tentara Rusia menjadi 1,5 juta personel pada 2025. Kementerian Pertahanan Rusia, pada Selasa (1/10/2024), mengumumkan rencana menerjunkan sebanyak 20 ribu terdakwa kasus kriminal
1. Kurangnya narapidana yang bersedia bergabung dalam militer Rusia
Berdasarkan informasi yang dimuat dalam IStories, Rusia masih mengidentifikasi ribuan terdakwa yang menunggu persidangan. Mereka akan menjalani pengecekan untuk menentukan kelayakannya masuk dalam militer.
Melansir The Moscow Times, sudah ada 106 ribu orang yang ditahan dalam penjara pra-peradilan pada awal 2024 dan jumlahnya berpotensi naik. Individu tersebut masih berada menjalani proses investigasi dan sebagai terduga pelaku kriminalitas di Rusia.
Otoritas Rusia sudah menargetkan sejumlah pelaku kriminalitas untuk masuk dalam militer demi kepentingan perangnya di Ukraina. Langkah ini untuk menghindari protes besar-besaran dan penghindaran massal warga jika ditetapkannya mobilisasi militer baru.
Pemerintah setempat disebut mengalihkan perhatian kepada terdakwa kasus kriminal karena kurangnya narapidana yang bersedia secara sukarela untuk diterjunkan ke medan perang di Ukraina.
2. Tidak mengharapkan perubahan pada kepemimpinan Rutte di NATO
Pada hari yang sama, juru bicara Kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov mengatakan tidak berharap banyak atas perubahan kebijakan di dalam NATO setelah penetapan mantan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte sebagai Sekretaris Jenderal NATO.
"Ekspektasi kami adalah NATO akan melanjutkan kebijakan yang sama dan arah yang sudah ditentukannya. Di satu sisi, ada harapan untuk kemungkinan perbaikan hubungan baik atau setidaknya diadakan sebuah dialog," tuturnya, dikutip Reuters.
"Kami tahu bahwa Belanda mengambil langkah yang tidak sesuai dan mengambil posisi berupa mengakhiri semua kontak dengan negara kami. Maka dari itu, kami tidak berpikir bahwa ada perubahan signifikan terhadap kebijakan dalam aliansi tersebut," sambungnya.
Sementara itu, Rutte ditetapkan sebagai pemimpin NATO di tengah masa sulit imbas perang di Ukraina yang tak kunjung usai dan beberapa bulan sebelum pilpres di Amerika Serikat (AS).
3. Mengaku siap berkonfrontasi jangka panjang dengan AS

Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Ryabkov, mengatakan negaranya siap melakoni konfrontasi panjang dengan AS. Pernyataan ini menanggapi perselisihan kedua negara imbas konflik di Ukraina yang sudah berjalan 2,5 tahun.
"Kami harus mempersiapkan konfrontasi jangka panjang dengan negara ini (AS). Kami suap untuk itu dalam segala persepsi. Kami sudah mengirimkan sinyal peringatan kepada lawan kami sehingga mereka tidak merendahkan determinasi kami," ungkapnya.
Pekan lalu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy sudah memperingatkan Barat terkait kemungkinan Rusia menggunakan senjata nuklirnya. Sementara itu, Zelenskyy terus meminta Barat untuk mengizinkan penggunaan senjata jarak jauh untuk menyasar teritori Rusia.