Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sepekan Dibombardir, Port Sudan Alami Pemadaman Listrik dan Krisis Air

peta Sudan (pexels.com/Lara Jameson)

Jakarta, IDN Times - Kota Port Sudan di bagian timur Sudan telah menjadi sasaran serangan drone selama sepekan terakhir. Serangan-serangan ini telah memicu kebakaran di depo bahan bakar dan pembangkit listrik, menyebabkan kelangkaan sejumlah barang penting.

Mutasim, salah satu pengungsi di Port Sudan, mengungkapkan bahwa seminggu yang lalu, ia hanya perlu membayar 2 ribu pound Sudan (sekitar Rp54 ribu) untuk persediaan air bersih sehari. Namun, kini harga tersebut telah melonjak lima kali lipat.

Kebakaran di depo bahan bakar telah mengakibatkan kota tersebut kehabisan pasokan diesel, yang diperlukan untuk mengoperasikan pompa air tanah.

“Sebentar lagi kami tidak akan mampu lagi membelinya,” kata Mutasim kepada BBC.

Sementara itu, antrean panjang kendaraan terlihat di luar SPBU, di mana warga harus bersabar menunggu bahan bakar. Mutassim mengatakan bahwa ia harus menunggu hingga 5 jam untuk mendapatkan bersin.

1. Port Sudan sempat jadi kawasan teraman di negara tersebut

Port Sudan juga mengalami pemadaman listrik selama 2 pekan terakhir. Kondisi ini semakin diperparah oleh serangan terbaru.

“Bibi saya berusia lebih dari 70 tahun, dia kesulitan menghadapi panas dan kelembapan karena tidak ada listrik untuk menyalakan kipas angin di malam hari. Kami tidak bisa tidur,” ujar Mutasim.

Sejak 4 Mei 2025, ibu kota sementara Sudan ini telah berulang kali diserang oleh pesawat nirawak yang menargetkan fasilitas sipil dan militer. Militer Sudan dan warga menuding kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) bertanggung jawab atas serangan tersebut, namun hingga kini RSF belum memberikan tanggapan.

Port Sudan sebelumnya dianggap sebagai salah satu kawasan teraman di negara itu sejak konflik antara militer Sudan dan RSF pecah pada April 2023.

“Kami sempat berpikir untuk pindah karena di sini sudah tidak aman lagi, tapi biayanya sangat mahal, dan kami harus pergi ke mana?” ungkap Mutasim, yang melarikan diri bersama keluarganya dari kota Omdurman 2 tahun lalu.

2. Warga hidup dalam ketakutan

Hawa Mustafa, seorang guru dari el-Geneina di wilayah Darfur, telah mengungsi di Port Sudan selama lebih dari 2 tahun. Ia mengatakan bahwa serangan yang terjadi pekan ini membuatnya hidup dalam ketakutan.

“Saya tidak tahu harus pergi ke mana jika keadaan memburuk di Port Sudan. Tadinya saya berencana pergi ke salah satu negara tetangga, tapi sepertinya mimpi itu tidak lagi menjadi kenyataan," kata ibu empat anak tersebut. 

Mariam Atta, yang juga tinggal di Port Sudan, mengatakan bahwa kehidupan di kota tersebut telah berubah total.

“Kami berjuang untuk bertahan. Rasa takut itu terus-menerus menghantui," tambahnya.

3. Serangan terhadap Port Sudan berisiko hambat penyaluran aliran bantuan

Sejak perang di Sudan meletus, Port Sudan menjadi jalur utama masuknya bantuan kemanusiaan karena memiliki pelabuhan laut dan satu-satunya bandara internasional yang masih beroperasi di negara itu.

“Port Sudan adalah pusat kemanusiaan utama kami. Pada Maret, kami mendistribusikan hampir 20 ribu metrik ton makanan, dan menurut saya lebih dari separuhnya datang melalui Port Sudan,” kata Leni Kinzli, juru bicara Program Pangan Dunia (WFP) untuk Sudan.

Menurut WFP,  bencana kelaparan saat ini sudah melanda 10 wilayah Sudan, sementara 17 wilayah lainnya berisiko terdampak. Banyak lembaga bantuan khawatir bahwa serangan yang terus berlanjut dapat menghalangi aliran bantuan, sehingga semakin memperburuk situasi kemanusiaan di negara itu. 

"Saya pikir hal ini akan sangat menghambat pengiriman makanan dan pasokan medis untuk menyelamatkan jiwa, yang akan berisiko memperburuk situasi yang sudah kritis," kata Shashwat Saraf, direktur Dewan Pengungsi Norwegia (NRC) kepada BBC.

Konflik Sudan telah menciptakan salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia, dengan lebih dari 20 ribu orang tewas dan 15 juta lainnya mengungsi. Namun, menurut penelitian yang dilakukan oleh akademisi Amerika Serikat (AS), jumlah kematian diperkirakan mencapai sekitar 130 ribu orang, dikutip dari Anadolu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fatimah
EditorFatimah
Follow Us