Skeptisisme Barat dan Respons Global terhadap Rudal Hipersonik Iran

- Iran melancarkan serangan terbesar ke Israel dengan 180 rudal balistik, termasuk Fattah-2, sebagian besar berhasil dicegat oleh sistem pertahanan anti-rudal.
- Rudal hipersonik Fattah-2 Iran memiliki kecepatan hingga Mach 15, dilengkapi dengan nosel sekunder dan re-entry vehicle untuk manuver yang sulit dihentikan.
- Respons global terhadap rudal hipersonik memicu perlombaan senjata teknologi tinggi antara Rusia, China, dan Amerika Serikat serta negara-negara lainnya.
Jakarta, IDN Times - Pada malam 1 Oktober 2024, Iran melancarkan serangan terbesar yang pernah terjadi kepada Israel dengan menembakkan 180 rudal balistik, termasuk rudal Fattah-2. Sebagian besar rudal ini berhasil dicegat oleh sistem pertahanan anti-rudal yang dioperasikan oleh Israel, Amerika Serikat, dan Yordania. Serangan ini semakin memperkeruh situasi di Timur Tengah dan melampaui serangan serupa yang terjadi pada April 2024.
Iran memiliki ribuan rudal balistik dan jelajah dengan berbagai jangkauan. Laporan dari Missile Threat Project pada tahun 2021 menyebutkan bahwa pada 2023, Jenderal Angkatan Udara AS Kenneth McKenzie memperkirakan bahwa Iran memiliki lebih dari 3.000 rudal balistik. Salah satu rudal yang digunakan dalam serangan ini adalah Fattah-1, yang menurut media Iran merupakan rudal hipersonik yang mampu mencapai kecepatan Mach 5 (sekitar 6.100 km/jam).
Penasaran dengan seperti apa spesifikasi dari rudal hipersonik Fattah-2 yang digunakan dalam serangan 1 Oktober lalu oleh Iran terhadap Israel? Lalu, bagaimana pula respons global dan skeptisisme barat terhadap rudal hipersonik yang terus diluncurkan Iran ini?
1. Spesifikasi teknis rudal hipersonik Fattah yang dikembangkan oleh Iran

Rudal hipersonik Fattah yang diperkenalkan oleh Garda Revolusi Iran pada 6 Juni 2023, adalah salah satu rudal balistik paling canggih dalam persenjataan Iran. Fattah diklasifikasikan sebagai rudal hipersonik yang berarti ia mampu melaju dengan kecepatan setidaknya lima kali kecepatan suara (Mach 5). Namun, Fattah jauh melampaui kecepatan dasar ini, mencapai kecepatan hingga Mach 15, atau sekitar 18.500 kilometer per jam (5,1 kilometer per detik). Kecepatan luar biasa ini memungkinkan Fattah meluncur dengan kecepatan tinggi melintasi jarak hingga 1.400 kilometer yang menjadikannya sebagai salah satu senjata paling mematikan dalam gudang rudal Iran.
Secara teknis, Fattah menggunakan sistem propelan padat yang memberikannya daya dorong yang tinggi dan berkelanjutan. Rudal ini juga dilengkapi dengan nosel sekunder yang dapat bergerak, memberikan rudal kemampuan bermanuver yang luar biasa, bahkan saat berada di dalam dan luar atmosfer. Nosel yang dapat bergerak ini membuat Fattah mampu mengubah lintasannya dengan cepat dan tak terduga, sehingga memperumit upaya pencegatan oleh sistem pertahanan udara.
Salah satu fitur kunci dari Fattah adalah re-entry vehicle (RV) atau kendaraan masuk kembali yang membawa hulu ledaknya. RV ini didukung oleh bahan bakar hidrazin, yang memberikan akselerasi tambahan dan meningkatkan kemampuan manuver rudal saat mendekati targetnya. Pada tahap akhir penerbangan, rudal ini mampu menghindari deteksi radar dan sistem pencegatan dengan lebih baik berkat manuver yang kompleks dan kecepatannya yang luar biasa.
Dengan panjang sekitar 15,3 meter dan diameter badan sekitar 1 meter, Fattah dirancang untuk membawa hulu ledak dengan bobot antara 350 hingga 450 kilogram. Ini membuatnya mampu menghasilkan ledakan yang cukup besar untuk menghancurkan target strategis. Desain ini meniru beberapa fitur rudal balistik Iran lainnya, seperti Khaibar Shekan, tetapi dengan peningkatan signifikan dalam hal manuverabilitas dan daya hancur.
Selain itu, Fattah-2, versi terbaru yang digunakan dalam serangan ke Israel pada 1 Oktober 2024, mengusung sejumlah upgrade. Rudal ini menggunakan mesin berbahan bakar padat berbentuk bola untuk peningkatan daya dorong, dan dilengkapi dengan kendaraan re-entry yang lebih canggih dengan teknologi manuver yang lebih halus. Ini membuatnya lebih sulit dicegat oleh sistem pertahanan udara seperti Iron Dome Israel atau sistem Patriot yang dioperasikan oleh Amerika Serikat dan Yordania.
Salah satu klaim paling menonjol dari para pejabat militer Iran, terutama dari Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), adalah bahwa Fattah tidak dapat dicegat oleh sistem pertahanan rudal saat ini. Hal ini dikarenakan kemampuannya untuk melakukan manuver mendadak dan tak terduga, bahkan pada kecepatan yang luar biasa tinggi. Para pejabat Iran menggambarkan Fattah sebagai "lompatan generasi" dalam teknologi rudal, yang secara signifikan memperkuat kapasitas pencegahan Iran.
Dengan kecepatan luar biasa, manuver yang rumit, dan kemampuan untuk menembus pertahanan rudal yang ada, Fattah adalah ancaman strategis yang tidak bisa diabaikan oleh negara-negara di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya. Ini juga menunjukkan bahwa Iran terus memajukan teknologi militernya meskipun mendapat tekanan internasional dan sanksi. Rudal ini tidak hanya dirancang untuk memperkuat posisi Iran dalam konflik regional, tetapi juga untuk menandingi teknologi militer yang dimiliki oleh kekuatan besar lainnya seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China, yang juga sedang mengembangkan senjata hipersonik mereka sendiri.
2. Respons global terhadap rudal hipersonik
Respons global terhadap rudal hipersonik, termasuk yang dikembangkan oleh Iran, telah memicu perhatian besar dari berbagai negara, terutama yang memiliki kepentingan strategis dan keamanan global. Pengembangan rudal hipersonik yang mampu melaju dengan kecepatan minimal Mach 5 atau lima kali kecepatan suara dianggap sebagai revolusi dalam teknologi senjata militer karena kemampuan manuvernya yang tinggi dan sulitnya dicegat oleh sistem pertahanan yang ada. Rudal hipersonik tidak hanya menghadirkan ancaman baru bagi negara-negara yang berpotensi menjadi sasaran, tetapi juga memicu perlombaan senjata teknologi tinggi yang semakin intensif.
Rusia dan China telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam pengembangan senjata hipersonik. Rusia, merupakan negara pertama yang secara resmi menggunakan rudal hipersonik dalam pertempuran. Salah satu senjata yang terkenal adalah rudal hipersonik Kinzhal, yang digunakan selama invasi Rusia ke Ukraina. Penggunaan rudal ini menegaskan kemampuan Rusia dalam mengoperasikan senjata hipersonik dalam konteks pertempuran nyata, yang secara tidak langsung memperkuat posisi mereka dalam arena kekuatan militer global.
Di sisi lain, China telah mengembangkan dan memamerkan senjata hipersoniknya dalam berbagai uji coba, termasuk rudal hipersonik DF-ZF. Beijing menganggap senjata ini sebagai bagian penting dari strategi pertahanannya, yang bertujuan untuk memperkuat kemampuan serang jarak jauh dan pertahanan wilayah, terutama di kawasan Laut China Selatan. Dengan kecepatan dan kemampuan manuvernya, rudal hipersonik ini diharapkan mampu menembus sistem pertahanan udara negara-negara pesaing, terutama Amerika Serikat.
Meskipun telah melakukan beberapa uji coba terhadap rudal hipersonik, Amerika Serikat justru tertinggal dari Rusia dan China dalam hal penggunaan senjata ini di lapangan. Pentagon mengakui bahwa mereka perlu mempercepat pengembangan teknologi hipersonik agar tidak tertinggal dalam perlombaan senjata global. Salah satu tantangan utama dalam pengembangan rudal hipersonik bagi AS adalah masalah teknis, seperti mengatasi suhu ekstrem akibat gesekan dengan atmosfer serta kesulitan komunikasi ketika rudal memasuki kembali atmosfer.
Namun, meskipun tertinggal, AS tetap fokus pada pengembangan rudal hipersonik sebagai bagian dari modernisasi militernya. Dengan anggaran besar yang dialokasikan untuk riset dan pengembangan, AS berusaha mengejar ketinggalannya, sembari memperkuat sistem pertahanan yang mampu melacak dan mencegat rudal hipersonik musuh.
Di luar Rusia, China, dan Amerika Serikat, banyak negara lainnya juga mulai terlibat dalam penelitian dan pengembangan rudal hipersonik, meskipun dengan berbagai tantangan dan keterbatasan. Negara-negara NATO, seperti Prancis dan Jerman, juga memperlihatkan minat dalam mengembangkan teknologi ini, dengan tujuan meningkatkan kemampuan pertahanan kolektif di Eropa. India, yang sedang bersaing dengan China di kawasan Asia Selatan, juga telah memulai uji coba rudal hipersoniknya sendiri, yang disebut Shaurya, sebagai bagian dari program modernisasi militernya.
Meskipun rudal hipersonik dapat memberikan keunggulan strategis, risiko yang dibawa oleh teknologi ini sangat tinggi. Karena rudal hipersonik bergerak sangat cepat dan sulit dideteksi, negara-negara yang terlibat dalam konflik mungkin hanya memiliki waktu yang sangat singkat untuk merespons, yang dapat memicu keputusan militer yang gegabah atau bahkan eskalasi konflik besar-besaran.
3. Skeptisisme barat terhadap rudal hipersonik Iran

Iran, yang baru-baru ini memperkenalkan rudal hipersonik Fattah-1 dan Fattah-2, telah menempatkan dirinya sebagai pemain baru dalam pengembangan senjata ini. Dengan jangkauan hingga 1.400 kilometer dan kecepatan Mach 15 (sekitar 17.500 km/jam), rudal hipersonik Fattah diklaim oleh Iran memiliki kemampuan untuk menghindari sistem pertahanan rudal canggih seperti Iron Dome milik Israel. Iran menyebutkan bahwa rudal ini adalah “lompatan generasi” dalam teknologi rudal, dan pihaknya yakin bahwa tidak ada sistem pertahanan rudal yang dapat mencegat senjata ini.
Namun, klaim Iran tentang kemampuan rudal hipersoniknya dihadapi dengan skeptisisme dari Barat, terutama Amerika Serikat. Setelah peluncuran rudal Fattah pada 2023, AS memberlakukan sanksi tambahan yang menargetkan program rudal balistik Iran, mengindikasikan bahwa Washington memandang pengembangan ini sebagai ancaman serius bagi keamanan regional dan global. Walau begitu, Iran menepis skeptisisme tersebut dan menyatakan bahwa efektivitas rudal hipersonik mereka akan terbukti dalam pertempuran nyata.
Pada tahun 2023, para pejabat Iran menepis keraguan Barat terkait kemampuan rudal hipersonik mereka, dengan menyatakan bahwa bukti nyata efektivitasnya baru akan muncul saat senjata tersebut digunakan. Setelah peluncuran rudal Fattah, AS memberikan sanksi tambahan yang menargetkan program rudal balistik Iran.
Namun, Iran tetap melanjutkan serangan besar-besaran ke Israel pada 1 Oktober 2024. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menggambarkan serangan itu sebagai kegagalan bagi Iran dan berjanji untuk melakukan pembalasan. Di sisi lain, Iran memperingatkan bahwa jika Israel membalas, mereka akan melancarkan "serangan balasan yang menghancurkan."
Rudal hipersonik Fattah yang digunakan Iran dalam serangan ini menunjukkan potensi besar dalam eskalasi konflik di Timur Tengah. Sementara teknologi rudal ini terus dikembangkan, keberhasilannya dalam pertempuran tetap menjadi isu strategis penting bagi negara-negara yang bersaing di kawasan tersebut.
Pengembangan rudal hipersonik oleh Iran dan negara-negara besar lainnya menunjukkan babak baru dalam teknologi militer yang semakin canggih. Respon global terhadap rudal hipersonik ini sebagian besar berkisar pada kekhawatiran atas dampak keamanan yang ditimbulkan. Meskipun teknologi ini menjanjikan keunggulan militer bagi negara-negara yang memilikinya, risiko perlombaan senjata dan ketidakstabilan global menjadi ancaman nyata bagi keamanan dunia di masa depan.