Sudan Tuntut UEA ke Mahkamah Internasional atas Kasus Genosida

Jakarta, IDN Times – Sudan mengajukan kasus Uni Emirat Arab (UEA) ke Mahkamah Internasional terkait tuduhan genosida terhadap suku Masalit di Darfur Barat. Khartoum mengatakan, UEA memberikan dukungan finansial, politik, dan militer yang besar bagi milisi pemberontak Pasukan Dukungan Cepat (RSF).
”UEA terlibat melakukan genosida, pembunuhan, pencurian properti, pemerkosaan, pemindahan paksa, penyerobotan, vandalisme properti publik, dan pelanggaran hak asasi manusia,” bunyi pernyataan pemerintah Sudan, dilansir Anadolu Agency, Kamis (6/7/2025).
Khartoum mengungkap bahwa kasus tersebut dimulai sejak 2023. ICJ kemudian diminta untuk memberlakukan tindakan darurat.
Abu Dhabi juga diminta untuk mencegah terjadinya genosida lebih lanjut berdasarkan pasal II Konvensi Genosida.
1. UEA kecam tuduhan Sudan
Sebagai balasan, UEA mengecam keras langkah Sudan yang membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional. Abu Dhabi menilai tindakan itu tidak lebih dari sekadar aksi publisitas sinis dan meminta Khartoum untuk membatalkan laporannya.
“Prioritas Sudan seharusnya adalah menghentikan tembakan dalam perang yang absurd dan merusak ini dan mengatasi bencana kemanusiaan yang besar,” kata Menteri Luar Negeri (Menlu) UEA, Anwar Gargash, dilansir Al Jazeera.
Gargash menambahkan, alih-alih menyelesaikan konflik, militer Sudan justru melakukan manuver media yang lemah untuk membenarkan penolakan mereka terhadap perdamaian dan jalur politik.
2. Konflik telah terjadi selama dua tahun

Pertempuran antara militer Sudan (SAF) dan RSF telah terjadi selama hampir dua tahun. Puluhan ribu orang tewas, terjadinya bencana kelaparan, dan 12 juta orang terpaksa mengungsi akibat konflik.
Perebutan ibu kota Sudan, Khartoum, menyebabkan runtuhnya negara secara total. Di negara bagian Darfur, konflik kian menyebar lebih parah.
Di wilayah itulah, RSF dan para pejuang sekutunya dari kalangan suku nomaden Arab telah menargetkan suku Masalit yang notabenenya merupakan non-Arab.
RSF telah membantah terlibat dalam serangan terhadap warga sipil di Darfur. Namun, baru-baru ini mereka mengepung dan menyerang kamp pengungsi Zamzam dekat el-Fasher di Darfur Utara.
3. Hancurnya harapan terhadap demokrasi Sudan

RSF yang merupakan pecahan dari militer Sudan meresmikan pemerintahannya melalui Piagam yang ditandatangani di Nairobi, Kenya. Sejak saat itu, perebutan kekuasaan dengan pasukan militer Sudan dimulai.
Perpecahan dua pihak ini telah menghancurkan harapan akan demokrasi. Kondisi ini membuat warga sipil dan stabilitas negara kini bergantung pada kehendak faksi-faksi yang bertikai tersebut.
“Pembentukan pemerintahan paralel di wilayah RSF pada akhirnya akan mengonsolidasikan pembagian wilayah de facto Sudan menjadi dua wilayah, yang masing-masing dikuasai oleh militer Sudan dan RSF,” kata Direktur Sudan Transparency and Policy Tracker, Suliman Baldo, dilansir The New Arab.
Baldo menambahkan bahwa RSF kemungkinan dapat mengonsolidasikan kendali atas Sudan bagian barat.
Tindakan tersebut mendapat dukungan dari sejumlah tokoh politik dan bersenjata Sudan, termasuk Abdelaziz Al Hilu, yang menguasai sebagian besar wilayah Kordofan Selatan.
Adapun RSF mengklaim inisiatifnya bertujuan untuk mengatur wilayah yang dikuasainya, terutama di Sudan barat, Darfur, dan sebagian Kordofan.