Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Fakta Periode dan Gelombang Feminisme, Bukan Hanya Gerakan Perempuan!

aktivis feminis (commons.wikimedia.org/Samwalton9)
aktivis feminis (commons.wikimedia.org/Samwalton9)

Feminisme adalah gerakan sosial dan politik yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan gender. Seiring waktu, perjuangan ini berkembang dalam beberapa gelombang, masing-masing dengan fokus dan tantangannya sendiri.

Dari perjuangan mendapatkan hak pilih hingga kesetaraan di era digital, berikut adalah sejarah perjalanan feminisme yang telah membentuk dunia seperti yang kita kenal saat ini. Kita pelajari bersama, yuk!

1. Akhir abad ke-19 hingga abad ke-20, perempuan di dunia barat memperjuangkan hak politiknya

demo hak pilih di AS (commons.wikimedia.org/Turn685)
demo hak pilih di AS (commons.wikimedia.org/Turn685)

Gelombang pertama feminisme muncul di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, dengan fokus utama pada hak-hak hukum dan politik perempuan. Gerakan ini berpusat di dunia Barat, salah satunya di Amerika Serikat, dengan tujuan utama memperjuangkan hak pilih bagi perempuan.

Di AS, pada abad ke-19, hak suara umumnya hanya diberikan kepada laki-laki kulit putih yang memiliki properti. Bahkan setelah perbudakan dihapuskan dan hak suara diberikan kepada pria kulit hitam melalui Amandemen ke-15 (1870), perempuan tetap dikecualikan.

Perjuangan untuk hak pilih perempuan berlangsung lama dan penuh tantangan. Susan B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton, dan aktivis lainnya memimpin gerakan suffrage (hak pilih) yang dimulai pada pertengahan abad ke-19. Mereka menghadapi banyak perlawanan, termasuk dari pria yang menganggap perempuan tidak perlu terlibat dalam politik. Setelah berbagai aksi protes, pidato, dan bahkan penangkapan aktivis perempuan, akhirnya Amandemen ke-19 disahkan pada tahun 1920, memberikan perempuan hak untuk memilih di AS.

Meski ini merupakan kemenangan besar, perjuangan belum selesai. Perempuan kulit hitam, penduduk asli Amerika, dan kelompok minoritas lainnya tetap menghadapi hambatan dalam menggunakan hak pilih mereka hingga beberapa dekade berikutnya, karena adanya hukum diskriminatif seperti pajak pemungutan suara dan tes melek huruf.

2. Gelombang kedua didukung peran intelektual perempuan melalui karya sastra dan penelitian

Simone de Beauvoir penggerak gerakan gelombang feminis kedua (commons.wikimedia.org/Jeff G.)
Simone de Beauvoir penggerak gerakan gelombang feminis kedua (commons.wikimedia.org/Jeff G.)

Gelombang feminisme kedua, yang berkembang dari 1950-an hingga 1980-an, berfokus pada kesetaraan selain hak pilih politik, yaitu hak ekonomi, reproduksi, dan kebebasan dari norma gender yang merugikan perempuan. Gerakan ini dipicu oleh karya-karya intelektual seperti The Feminine Mystique (1963) oleh Betty Friedan, yang mengungkap ketidakpuasan perempuan dalam peran domestik. Friedan juga mendirikan National Organization for Women (NOW) pada 1966 untuk memperjuangkan kesetaraan di tempat kerja dan pendidikan. Gerakan ini semakin berkembang dengan munculnya berbagai organisasi feminis yang menuntut reformasi hukum dan sosial.

Jurnalis Gloria Steinem menjadi salah satu suara utama dengan mendirikan Ms. Magazine (1972), yang memberikan platform bagi isu-isu feminisme, termasuk hak aborsi dan kesetaraan upah. Sementara itu, filsuf Prancis Simone de Beauvoir dengan bukunya The Second Sex (1949) memberikan dasar teoretis bagi feminisme modern dengan menganalisis bagaimana perempuan secara historis dianggap sebagai "the Other" dalam masyarakat patriarkal. Pemikirannya membantu membentuk pemahaman baru tentang peran perempuan dalam masyarakat dan memperkuat gerakan feminisme di Eropa.

Kate Millett dengan Sexual Politics (1970) mengkritik bagaimana budaya patriarki menekan perempuan melalui sastra dan politik, sementara Angela Davis membawa perspektif interseksionalitas dalam gerakan ini. Dalam bukunya Women, Race, & Class (1981), Davis menyoroti bagaimana feminisme harus mencakup pengalaman perempuan dari berbagai latar belakang, terutama perempuan kulit hitam yang menghadapi diskriminasi ganda. Kontribusi mereka memperluas cakupan feminisme, mencakup hak-hak LGBTQ+, keadilan rasial, dan kebebasan seksual.

Gelombang feminisme kedua membawa perubahan besar dalam hukum dan kebijakan sosial, termasuk disahkannya hak aborsi di beberapa negara, akses lebih luas terhadap pendidikan dan pekerjaan bagi perempuan, serta berdirinya krisis center untuk korban kekerasan berbasis gender. Meskipun gerakan ini menghadapi tantangan dan kritik, dampaknya masih terasa hingga saat ini dalam perjuangan kesetaraan gender di berbagai bidang.

3. Prinsip kebebasan feminis yang di dukung oleh pop-culture terjadi di gelombang ketiga

pamflet kegiatan aktivis feminist Riot Grrrl (commons.wikimedia.org/RockCreek)
pamflet kegiatan aktivis feminist Riot Grrrl (commons.wikimedia.org/RockCreek)

Gelombang feminisme ketiga, yang muncul pada 1990-an hingga awal 2000-an, berfokus pada keberagaman pengalaman perempuan dan menantang gagasan feminisme sebelumnya yang dianggap terlalu berpusat pada pengalaman perempuan kulit putih kelas menengah. Gerakan ini lebih mengutamakan inklusivitas, kebebasan berekspresi, serta hak-hak individu, termasuk hak LGBTQ+ dan identitas gender. Feminisme gelombang ketiga juga mengadopsi pendekatan yang lebih pop culture-friendly dengan memanfaatkan media dan seni sebagai alat perjuangan.

Beberapa gerakan feminis terkenal dalam periode ini termasuk Riot Grrrl, sebuah gerakan punk feminis yang dimulai di AS pada awal 1990-an, yang menggabungkan musik, seni, dan politik untuk mengadvokasi hak-hak perempuan dan menentang seksisme dalam budaya populer. Selain itu, ada gerakan SlutWalk yang dimulai pada 2011, yang menentang victim-blaming dalam kasus pelecehan seksual, meskipun gerakan ini sering dikaitkan dengan feminisme gelombang keempat yang muncul kemudian.

Tokoh-tokoh berpengaruh dalam feminisme gelombang ketiga mencakup Rebecca Walker, yang pertama kali memperkenalkan istilah "third wave feminism" dalam esainya pada 1992, dan Bell Hooks, yang mengembangkan pemikiran feminisme interseksional, menekankan hubungan antara gender, ras, dan kelas. Selain itu, Kimberlé Crenshaw memperkenalkan konsep interseksionalitas, yang menjadi landasan dalam memahami bagaimana berbagai bentuk diskriminasi saling berhubungan. Tokoh lain yang vokal adalah Judith Butler, yang dalam bukunya Gender Trouble (1990) menggagas teori bahwa gender bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan konstruksi sosial yang bisa dinegosiasikan.

Feminisme gelombang ketiga membuka jalan bagi perjuangan gender yang lebih luas, menekankan pentingnya representasi perempuan di media, hak-hak transgender, serta kebebasan perempuan dalam menentukan identitas mereka sendiri. Dengan pendekatan yang lebih plural dan tidak kaku, feminisme pada era ini memberikan fondasi bagi gerakan feminisme modern yang terus berkembang hingga saat ini.

4. Gerakan feminis makin maju di gelombang keempat, didukung oleh kecepatan teknologi

aksi demo feminisne modern (commons.wikimedia.org/Vlasta x)
aksi demo feminisne modern (commons.wikimedia.org/Vlasta x)

Feminisme gelombang keempat, yang muncul sekitar tahun 2010-an hingga sekarang, ditandai dengan penggunaan teknologi digital dan media sosial untuk mengadvokasi hak-hak perempuan. Gerakan ini berfokus pada isu-isu seperti pelecehan seksual, kesetaraan upah, representasi perempuan dalam berbagai bidang, serta hak-hak LGBTQ+.

Beberapa tokoh berpengaruh dalam gelombang ini termasuk aktivis dan penulis seperti Chimamanda Ngozi Adichie, yang bukunya We Should All Be Feminists (2014) menjadi salah satu referensi utama feminisme modern. Roxane Gay, dengan bukunya Bad Feminist (2014), juga mengkritisi bagaimana feminisme harus inklusif dan tidak perfeksionis. Selain itu, Malala Yousafzai, yang memperjuangkan hak pendidikan perempuan, menjadi ikon global gerakan feminisme dan kesetaraan hak.

Di dunia digital, gerakan feminis semakin menguat melalui kampanye media sosial seperti #MeToo yang dimulai oleh Tarana Burke dan dipopulerkan kembali pada 2017, yang menyoroti kekerasan seksual dan pelecehan di berbagai industri. Gerakan #TimesUp juga muncul untuk melawan ketimpangan gender di tempat kerja, khususnya di industri hiburan dan korporasi.

Dampak feminisme gelombang keempat sangat terasa dalam perubahan kebijakan, meningkatnya kesadaran akan kekerasan berbasis gender, serta representasi perempuan yang lebih luas di ranah politik, bisnis, dan hiburan. Di berbagai negara, undang-undang terkait pelecehan seksual diperbarui, kesadaran tentang hak-hak perempuan meningkat, dan feminisme kini menjadi bagian penting dari diskusi sosial dan politik global.

Sejarah feminisme menunjukkan bahwa perjuangan kesetaraan gender terus berkembang seiring perubahan zaman. Setiap gelombang membawa isu baru dan memperluas cakupan gerakan, memastikan bahwa perempuan dari berbagai latar belakang dapat merasakan manfaat dari kesetaraan yang diperjuangkan. Meski banyak kemajuan telah dicapai, tantangan masih ada, dan feminisme tetap menjadi gerakan yang relevan untuk mencapai dunia yang lebih adil bagi semua.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ane Hukrisna
EditorAne Hukrisna
Follow Us