10 Tahun Jokowi dan Kontroversi Produk Hukumnya

- Masa jabatan Jokowi berakhir pada 20 Oktober 2024 setelah memimpin Indonesia selama 10 tahun.
- Pemerintahan Jokowi melahirkan UU kontroversial seperti ITE, Cipta Kerja, dan Terorisme yang menuai kritik publik.
- Revisi UU Polri, KPK, dan RKUHP juga menciptakan dinamika dan kontroversi selama masa pemerintahan Jokowi.
Jakarta, IDN Times - Sudah 10 tahun Presiden Joko “Jokowi” Widodo memimpin pemerintahan Indonesia. Dia menjabat Presiden dengan dua Wakil Presiden berbedam Jusuf Kalla pada periode 2014-2019 dan Ma’ruf Amin pada 2019-2024. Selama 10 tahun itu, banyak dinamika terjadi dalam pemerintahannya.
Pemerintahan Jokowi cukup banyak melahirkan produk hukum, dan yang dianggap paling positif adalah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang. Tapi, ada banyak undang-undang pula yang memicu kontroversi. Publik menilai produk tersebut tak berpihak ke rakyat. Apa saja?
1. UU ITE dan Cipta Kerja

Selama 10 tahun masa pemerintahannya, Presiden Jokowi telah dua kali menyetujui revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yakni pada 2016 dan awal Januari 2024.
Revisi ini dianggap sejumlah pihak tetap mempertahankan pasal-pasal bermasalah yang dinilai dapat membatasi kebebasan berekspresi serta mengekang kritik terhadap pemerintah. Proses pembahasannya juga menuai kritik karena dinilai minim transparansi dan partisipasi publik.
Selain UU ITE, UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang disahkan pada 2020 juga menjadi sorotan. UU ini dinilai mengorbankan hak-hak pekerja demi kepentingan investasi, terutama dengan mempermudah perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
2. UU Tindak Pidana Terorisme nomor 5 tahun 2018

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga menyoroti pengesahan UU Tindak Pidana Terorisme Nomor 5 Tahun 2018. UU ini, dianggap KontraS harus disorot karena beberapa poin di dalamnya harus dikawal.
Dari catatan IDN Times, setidaknya ada lima pasal yang memang bermasalah. Pembahasannya cukup alot, hingga memakan waktu selama dua tahun. Sebanyak dua pasal di antaranya berkaitan dengan penyadapan dan terlibatnya TNI. Definisi dari terorisme juga sempat menjadi bias. Meski begitu, tetap saja UU ini ditandatangani oleh Jokowi.
Makanya, penanganan terorisme, menurut KontraS, wajib dipantau agar tetap berada dalam koridor penegakan hukum (criminal justice system) dan menghormati hak asasi manusia.
3. RUU Polri yang dianggap perluas kewenangan polisi

Revisi UU Polri menjadi usulan inisiatif DPR RI. Namun, dalam perjalanannya revisi UU ini menampilkan beberapa pasal yang dianggap memperluas kewenangan polisi. Salah satu hal yang jadi sorotan, beleid ini dianggap dapat memperluas kewenangan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan, dan pengawasan, di ruang siber atau digital.
KontraS menyoroti sejumlah perubahan pada RUU Kepolisian, yang proses perumusan dan pembahasannya, minim partisipasi publik. Belum lagi, substansinya tak akan menyelesaikan masalah institusional kepolisian.
Pada 21 Agustus 2024, Baleg DPR RI memutuskan menunda dan/atau membatalkan dahulu pembahasan revisi UU TNI-Polri untuk selanjutnya pembahasan dialihkan (carry over) kepada DPR RI periode 2024-2049.
4. Kontroversi RUU KPK

Selain itu ada, kontroversi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) di era Presiden Joko Widodo dan memuncak pada 2019, saat revisinya disahkan oleh DPR. Revisi ini memicu protes besar-besaran dari masyarakat, mahasiswa, dan aktivis antikorupsi.
Mereka menganggap revisi tersebut melemahkan KPK karena memberi batasan baru terhadap kewenangannya, seperti pembentukan Dewan Pengawas yang memiliki kewenangan untuk menyetujui penyadapan.
Protes juga dipicu oleh perubahan lain, yang dianggap menghambat efektivitas KPK dalam memberantas korupsi, seperti status pegawai KPK yang dialihkan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Mahkamah Konstitusi (MK) juga menolak gugatan uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
5. Penolakan pada RKUHP yang di demo masa

Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kini telah disahkan menjadi KUHP di era pemerintahan Jokowi juga menuai banyak kontroversi sejak pertama kali diusulkan. Publik mengkritik sejumlah pasal yang dinilai berpotensi membatasi kebebasan berpendapat dan hak-hak individu.
Misalnya, pasal mengenai penghinaan terhadap presiden dan pemerintah dianggap berpotensi mengkriminalisasi kritik, serta mengenai perzinahan serta kohabitasi yang dinilai terlalu mengatur kehidupan pribadi masyarakat.
Penolakan terhadap RKUHP memuncak pada 2019, ketika ribuan mahasiswa dan aktivis turun ke jalan dalam aksi demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di Indonesia. Mereka menuntut pemerintah dan DPR untuk menunda pengesahan RKUHP, karena banyak pasal yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Meskipun pengesahan sempat ditunda, akhirnya pada Desember 2022, DPR mengesahkan KUHP baru, dengan pemerintah menyatakan revisi tersebut merupakan pembaruan hukum pidana warisan kolonial Belanda.