1,5 Tahun Pandemik, Indonesia Belum Lewati Gelombang Pertama COVID-19

Jakarta, IDN Times - Dewan Pakar Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra mengatakan meski pandemik telah berlalu 1,5 tahun, tetapi RI masih belum mencapai puncak COVID-19. Hal itu ditandai dengan jumlah kasus harian COVID-19 di tanah air yang masih mencapai angka ribuan, bahkan masih menyentuh 10 ribu.
Selain itu, positivity rate di Indonesia masih berada di atas 10 persen. Sedangkan, angka tingkat kematian di tanah air juga masih di atas 5 persen. Singkat kata, pandemik COVID-19 di Indonesia sejak 2020 masih belum terkendali hingga kini.
"Semua indikator menunjukkan kita masih berada di gelombang pertama dan masih jauh dari kata terkendali. Mudah-mudahan kita masih bisa menemukan puncak kasus karena hingga kini kita belum mencapai puncak kasus," ujar Hermawan ketika berbicara di diskusi virtual yang dilakukan Lapor COVID-19 dan CISDI pada Minggu (20/6/2021).
Ia juga menyentil kebijakan pemerintah yang berusaha menyeimbangkan antara sektor kesehatan dan ekonomi saat masa pandemik. Kebijakan rem dan gas yang kerap disebut pemerintah, dinilai IAKMI tak jelas arahnya.
Alhasil, tidak ada satu pun tujuan yang tercapai. Kondisi pandemik COVID-19 kini semakin memburuk, sementara Indonesia juga belum berhasil keluar dari resesi ekonomi.
"Tidak mungkin kita memenangkan dua-duanya, kesehatan kembali pulih tiba-tiba dan ekonomi di sisi lain kembali pulih sempurna," kata dia lagi.
Lalu, apa usul dari IAKMI kepada pemerintah agar lonjakan COVID-19 yang kini didominasi varian baru Delta bisa dicegah meluas?
1. Sejak awal pandemik, RI tak punya kebijakan kuat atasi COVID-19

Di dalam diskusi itu, Hermawan mengatakan sejak awal kasus COVID-19 diumumkan ditemukan di tanah air Maret 2020, pemerintah tak punya kebijakan yang kuat. Alih-alih menggunakan Undang-Undang nomor 6 tahun 2018 mengenai kekarantina kesehatan, pemerintah malah membuat PP nomor 21 tahun 2020 mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Sayangnya, PSBB hanya diterapkan oleh tiga provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat dan Sumatera Barat. Di level kota atau kabupaten hanya ada sekitar 40 titik yang menjalankan PSBB.
Sementara, kebijakan itu kini menjelma menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Menurut Hermawan, PPKM tak bisa memutus rantai penularan COVID-19. Justru, aturan itu malah melonggarkan aktivitas saat kebijakan PSBB berlaku.
"Jadi, kita memang belum punya opsi policy yang kuat untuk penanganan pandemik," kata dia.
2. Meski pandemik sudah berlalu 1,5 tahun, tingkat tes COVID-19 masih berada di angka 100 ribu

Hal lain yang dikritisi oleh Hermawan yakni soal jumlah tes COVID-19 di tanah air. Meski sempat digadang-gadang akan ditingkatkan tetapi angkanya mentok hanya 100 ribuan orang per hari. Hal itu diperburuk dengan realita hanya 40 persen hingga 50 persen laboratorium yang dapat memberikan laporan harian.
"Itu yang menyebabkan adanya gap data yang begitu dalam antar kabupaten dan kota di suatu provinsi," kata Hermawan.
Maka, ia tak heran bila fenomena pandemik COVID-19 di Indonesia bak gunung es. Sebab, yang tidak terlihat di bagian bawah jauh lebih banyak. Artinya, masih banyak kasus COVID-19 di Tanah Air yang belum terdeteksi.
3. IAKMI sejak awal pesimistis pandemik bisa terkendali dalam waktu 15 bulan

Hal lain yang dinilai oleh IAKMI tidak masuk akal yakni mengenai target pemerintah agar dapat menyuntikan vaksin ke 75 persen warga Indonesia dalam kurun waktu 15 bulan. Sebab, Indonesia bukan lah negara produsen vaksin COVID-19. Saat ini saja, pasokan vaksin COVID-19 sudah tak lancar sejak India memberlakukan embargo pengiriman vaksin ke luar dari negaranya.
"Jadi, ambisi untuk bisa mengendalikan pandemik COVID-19 dengan vaksin dalam waktu 15 bulan itu sebenarnya impossible dan begitu ambisius," ujar Hermawan.
Ia pun mengaku pesimistis Indonesia bisa segera keluar dari pandemik COVID-19 bila kebijakan yang diambil masih setengah-setengah. Berdasarkan pengalaman-pengalaman di negara lain yang sudah berhasil mengendalikan pandemiknya, pemerintah di sana menggunakan pembatasan maksimal kepada warganya alias lockdown.
"Jadi, itu sebenarnya lessons learned dari negara lain yang sudah sukses mengendalikan COVID-19," katanya lagi.