Advokat 30 Korban Pelecehan Jadi Tersangka: Serangan pada Pembela HAM!

- Meila Nurul Fajriah, pendamping hukum korban pelecehan seksual oleh alumnus UII Yogyakarta ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda DIY.
- Direktur LBH Yogyakarta mengatakan penetapan ini merupakan serangan terhadap pembela hak asasi manusia wanita.
- Perwakilan Jaringan Perempuan Yogyakarta mengutuk keras penetapan tersangka ini kepada Meila karena dianggap cederai pengalaman korban kekerasan seksual.
Jakarta, IDN Times - Meila Nurul Fajriah, pendamping hukum 30 korban pelecehan seksual oleh alumnus UII Yogyakarta berinisial IM, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda DIY. Advokat YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) ini dianggap melanggar UU ITE Pasal 45 ayat 3 jo Pasal 27 ayat 3. M melaporkan Meila atas tuduhan pencemaran nama baik pada tahun 2021. Bukti yang dilampirkan IM termasuk tautan YouTube yang menampilkan rekaman video zoom meeting. Dalam video tersebut, Meila menyebut IM sebagai terduga pelaku pelecehan seksual.
Direktur LBH Yogyakarta Julian Dwi Prasetya mengatakan ini adalah bentuk serasan pada perempuan pembela Hak Asasi Manusia (HAM).
“Kemudian ini merupakan serangan terhadap pembela hak asasi manusia wanita, yang itu kemudian coba memberikan perlindungan kepada korban-korban,” kata dia dalam konferensi pers daring YLBHI, Kamis (25/7/2024).
Julian menjelaskan Meila adalah salah satu pengabdi LBH Yogyakarta yang fokus menangani kasus kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan. Meila kata dia jadi advokat yang sangat peduli, mewakili, dan memberi pemberdayaan, baik secara internal maupun eksternal. Kemudian pendampingan kasus kekerasan seksual dengan pelaku berinisial IM ini dimulai pada 2020, ketika UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) belum ada.
1. Meila hanya sekadar membaca ulang siaran pers dari LBH Yogyakarta

Dia menjelaskan konten yang dilaporkan pelaku terhadap Meila bukan tindakan pribadi dan merupakan keputusan lembaga karena dia sebagai penanggung jawab kasus.
Meila dalam konferensi pers yang dijadikan muatan laporan IM soal pencemaran nama baik, sudah mengungkapkan bahwa apa yang dia sampaikan hanya sekadar membaca ulang siaran pers dari LBH Yogyakarta.
“Sehingga kalau misalnya kita cek di salah satu konten YouTube yang itu kemudian dituduhkan, terkait konferensi pers update penanganan kasus kekerasan seksual ini saudara Meila sudah menyampaikan bahwa dia hanya membacakan surat siaran pers yang itu dikeluarkan oleh LBH Yogyakarta,” kata dia.
2. Penetapan tersangka bukan serangan pada Meila saja

Maka dengan demikian, Julian mengungkapkan penetapan tersangka oleh Polda DIY terhadap saudara Meila itu bukan serangan terhadap Meila pribadi.
“Melainkan sebagai kami lembaga yang itu kemudian consent dalam isu-isu pendampingan terhadap hak perempuan," ujarnya.
3. Penetapan tersangka ini mencederai pengalaman korban

Selain itu, perwakilan Jaringan Perempuan Yogyakarta, Ika Ayu Kristianingrum mengutuk keras penetapan tersangka ini kepada Meila. Bagi jaringan perempuan Yogyakarta yang selama ini bermitra dengan LBH Yogyakarta dalam penanganan kasus, kondisi ini bukan kali pertama mereka menghadapi ketegangan dengan pihak kepolisian saat mengadvokasi kasus.
“Jadi ini bukan kali pertama, Polda DIY tidak betul-betul menempatkan perspektif yang berpihak pada korban dalam penanganan kasus-kasus seperti ini,” kata dia.
Kriminalisasi terhadap Meila, menurut Ika, menunjukkan pengalaman kekerasan seksual diabaikan. Asumsi bahwa kasus tidak dilaporkan, ditambah dengan kemudahan bagi pelaku untuk melaporkan balik pendamping korban atau korban dengan tuduhan pasal lain, mencederai pengalaman korban.
“Karena dengan begitu berarti pengalaman korban ini ditiadakan karena negara dalam hal ini hanya menganggap kekerasan seksual itu hanya akan menjadi kekerasan ketika dia dilaporkan, jadi apa yang terjadi saat ini adalah preseden buruk betul terhadap upaya-upaya penghapusan kekerasan seksual,” ujar Ika.
4. Sebelumnya polisi meminta data korban

Perlu diketahui, Kasus dugaan pelecehan oleh IM terangkat ke publik pada 2020 silam. Kala itu, jumlah korban yang melapor ke LBH Yogyakarta disebut mencapai 30 orang.
Wakil Direktur LBH Yogyakarta ini juga menegaskan, jika hasil kajian hukum mengarah pada pelaporan ke kepolisian, maka pihaknya akan meminta persetujuan penyintas untuk menindaklanjuti.
"Karena kami bertindak atas nama penyintas. Jika mereka bersedia membawa ke ranah hukum, kami akan proses. Dan kami mendorong penyintas yang belum berani melapor untuk melaporkan kejadiannya," kata Meila, pada 3 Mei 2020.