Akal-Akalan Operasi Bersinar DWP, Pelaku Pemerasan Harus Dipidana!
- 18 polisi terlibat pemerasan 45 warga Malaysia di DWP dengan uang Rp2,5 miliar
- Operasi Bersinar DWP direncanakan dalam rapat terbatas oleh Direktur Reserse Kriminal Narkoba Polda Metro
- Uang hasil pemerasan mencapai Rp32 miliar, 18 polisi diproses etik, dan pengembalian uang dipertanyakan IPW
Jakarta, IDN Times - Pemerasan penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) menambah borok di Korps Bhayangkara. Sebanyak 18 polisi diduga terlibat memeras 45 warga negara Malaysia dengan barang bukti Rp2,5 miliar.
Pemerasan penonton itu telah direncanakan sebelum DWP digelar pada 13-15 Desember 2024 di JIEXPO Kemayoran, Jakarta. Perencanaan dieksekusi dalam rapat terbatas ‘Operasi Bersinar DWP’ oleh Direktur Reserse Kriminal Narkoba Polda Metro saat itu, Kombes Pol Donald Simanjuntak dengan para anggotanya.
“IPW mendapat informasi bahwa operasi penangkapan untuk para pengguna dalam acara musik DWP itu memang dilakukan persiapan yang dipimpin oleh Dirnarkoba Polda Metro Jaya,” kata Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Imam Santoso saat dikonfirmasi IDN Times, Selasa (8/1/2025).
1. Restorative justice dengan membayar Rp200 juta

Dalam rapat tersebut, para pengguna narkoba menjadi target sasaran penangkapan. Mereka ditangkap secara acak, dites urine hingga dilakukan pemeriksaan.
Mereka yang positif narkoba, akan dibawa ke Polda Metro Jaya dan diperiksa. Dalam pemeriksaan itu, alih-alih selesai dengan restorative justice, polisi-polisi itu justru memeras korban agar bisa dibebaskan.
“Terkait dengan restorative justice ini kemudian memang berdasarkan informasi akan ada penyelesaian membayar sejumlah uang,” ujar Sugeng.
“Perorang direncanakan diminta Rp200 juta,” lanjutnya.
2. Barang bukti pemerasan bakal dikembalikan

Operasi itu pun berlangsung dilakukan oleh 34 personel yang terdiri dari 10 personel perwira menengah, 12 perwira pertama dan 12 Bintara. Dalam informasi yang beredar di media sosial, terdapat 400 lebih penonton ya g ditangkap selama tiga hari DWP.
Uang yang didapat dari korban dilaporkan mencapai sembilan juta ringgit atau sekitar Rp32 miliar.
Namun informasi tersebut dibantah oleh Kadiv Propam Polri, Irjen Pol Abdul Karim. Ia menegaskan bahwa dalam kasus ini terdapat 18 polisi yang diperiksa Propam dan selanjutnya diproses etik.
Dari pemeriksaan itu, didapati 45 korban pemerasan yang merupakan warga negara Malaysia. Adapun barang bukti yang didapatkan yakni Rp2,5 miliar.
Uang itu pun kini direncanakan bakal dikembalikan kepada para korban setelah 18 polisi itu diproses etik. Uang tersebut digunakan sebagai barang bukti selama Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP).
“Terkait barang bukti, tadi disampaikan barang bukti yang berhasil kita amankan, kita sita Rp2,5 miliar sekian, dan nanti akan dikembalikan ke yang berhak,” kata Karowabprof Divpropam Polri, Brigjen Pol Agus Wijayanto di TNCC Mabes Polri pada Kamis, 2 Januari 2025.
Adapun proses pengembalian Rp2,5 miliar itu akan melalui mekanisme yang disusun Div Propam Polri.
“Tentunya ini dalam rangka pendataan dilakukan oleh Div Propam baik Biro Paminal kita temui dan nanti akan ada proses di sana untuk barang bukti Rp2,5 M sekian,” ujarnya.
3. Pengembalian uang dinilai menghilangkan pidana

IPW menilai, pengembalian barang bukti tersebut keliru. Sebab, uang itu merupakan barang bukti dugaan pemerasan yang merupakan perbuatan pidana.
“Pernyataan Propam akan mengembalikan barang bukti itu adalah pernyataan keliru menurut hukum,” kata Sugeng.
Sugeng menjelaskan, pemerasan yang dilakukan penyelenggara negara dalam hal ini polisi, maka pemerasan dalam jabatan merupakan tindak pidana korupsi. Uang Rp2,5 miliar tersebut merupakan barang bukti atas dugaan tindak pidana korupsi.
“Jadi uang tersebut adalah barang bukti dari tindak pidana kejahatan, barang bukti tindak pidana harus dikuasi oleh penyidik atau penegak hukum untuk menjadi satu alat di dalam mengungkap tindak pidana,” ujar Sugeng.
Barang bukti ini kata Sugeng, hanya bisa dikembalikan berdasarkan putusan pengadilan. Bukan Divisi Propam Polri yang menentukan pengembalikan barang bukti.
“Karena propam bukan lembaga peradilan, propam adalah bagian daripada satu proses penegakan kode etik internal,” ujar Sugeng.
Propam Polri dalam kasus ini seharusnya mengembangkan perkara etik menjadi perkara pidana dengan menyerahkan uang tersebut kepada Kortas Tipikor Polri sebagai barang bukti dalam proses hukum pidana.
“Jadi kalau dengan analisis ini, kalau benar terjadi uang itu dikembalikan ke pemiliknya ini tentu akan ada upaya impunitas pidana terhadap para pelaku yang telah dipecat ini," bebernya.
Dengan dikembalikanmya barang bukti, Sugeng menilai, maka tidak ada lagi barang bukti dalam satu perkara pidana dan tidak akan bisa diproses pidana.
“Kalau benar barang bukti uang itu akan dikembalikan, sinyalemen masyarakat termasuk IPW selama ini bahwa akan ada penyelamatan institusi polri terhadap anggotanya yang melanggar itu jadi satu kenyataan,” ujar dia.
Seperti kasus Ferdy Sambo, kata Sugeng, polisi yang dipecat di tingkat banding akan diputus lebih ringan dengan demosi, sehingga terduga pelanggar itu bisa menjalani tugasnya kembali sebagai polisi.
Setelah itu, para terduga pelanggar itu pada akhirnya tetap naik pangkat di Korps Bhayangkara.
“Kalau ini terjadi IPW mencatat bahwa memang Polri tidak serius di dalam menegakkan pelanggaran yang berpangkat pati maupun pamen,” kata Sugeng.
4. Hanya ada dua klaster: membiarkan dan yang menangkap serta memeras

Berdasarkan hasil Sidang KKEP yang digelar Polri sejak Selasa, 31 Desember 2024 hingga Rabu (8/1/2025) terungkap tiga klasifikasi peran dari 18 polisi terduga pelanggar.
Pertama, mengetahui dan membiarkan pemerasan itu terjadi. Peran tersebut disematkan dalam putusan sidang KKEP kepada eks Direktur Reserse Kriminal Narkoba Polda Metro, Kombes Pol Donald Simanjuntak.
Ia dijatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Donald kemudian memutuskan untuk mengajukan banding.
Klasifikasi kedua, yakni mereka yang melakukan penangkapan dan pemerasan. Peran ini dilakukan oleh Eks Kasubdit III Ditresnarkoba Polda Metro Jaya AKBP Malvino Edward Yusticia dan eks Panit 1 Unit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya AKP Yudhy Triananta Syaeful.
Keduanya juga dijatuhkan sanksi PTDH dan juga mengajukan banding. Sementara itu, sembilan anak buah mereka yang telah menjalani sidang KKEP juga disebut berperan menangkap dan memeras penonton DWP.
Namun kesembilan polisi itu hanya dikenakan sanksi demosi. Mereka adalah eks Kanit 5 Subdit 2 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, Kompol Dzul Fadlan, mantan Panit 1 Unit 2 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, Iptu Syaharuddin dan bekas Bhayangkara Administrasi Penyelia Bidang Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, Iptu Sehatma Manik. Ketiganya didemosi delapan tahun.
Sementara itu, enam polisi lainnya disanksi demosi lima tahun yakni eks Bintara Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, Brigadir Fahrudin Rizki Sucipto, mantan Banit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, Aiptu Armadi Juli Marasi Gultom dan Bripka Wahyu Tri Haryanto.
Selanjutnya, eks Banit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, Brigadir Dwi Wicaksono, Bripka Ready Pratama dan Briptu Dodi. Mereka semua mengajukan banding.
5. Lalu siapa yang memerintah?

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Choirul Anam mengungkap, selama sidang KKEP para terduga pelanggar sempat saling berkelit terkait diapa yang bertanggung jawab.
“Kalau faktual soal pemerasan tidak ada yang berkelit, karena memang fakta dan buktinya juga cukup kuat. Berkelitnya rata-rata pada satu struktur pertanggung jawaban sehingga dia, kepingin hukumannya atau sanksinya ringan, hanya itu,” kata Anam di Gedung TNCC Mabes Polri, Kamis, 2 Januari 2025.
Lalu siapa yang memerintah atau otak di balik kasus ini?
Berdasarkan keterangan para terduga pelanggar, Anam menyimpulkan bahwa pemberi perintah dalam kasus ini tidak berdasarkan pertanggungjawaban struktural.
“Makanya ada orang yang walaupun jabatannya tidak level tinggi, tapi kena PTDH. Karena ya dia aktif dalam konstruksi perbuatan yang tercela,” ujar Anam.
“Jadi, tidak hanya dilihat dalam struktur pertanggungjawaban ya, tapi juga dilihat bagaimana dia peran keaktifannya,” lanjutannya.
6. Kapolri bersih-bersih internal Polri

Menanggapi kasus ini, Kapolri Jendral Pol Listyo Sigit memastikan bakal menindak tegas anggota yang terlibat.
"Saya kira itu menjadi bagian komitmen kita dan rekan-rekan sudah lihat bahwa terkait internal ke dalam sendiri kita selalu menerapkan reward and punishment," kata Jenderal Sigit di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (8/1/2025).
Sigit menjelaskan, kebijakan reward and punishment selalu diterapkan dalam menilai kinerja tiap anggota Polri. Dia menjamin tidak akan tebang pilih dalam memberikan sanksi kepada anggota yang melakukan pelanggaran dan mencoreng nama institusi.
"Terhadap pelanggaran-pelanggaran, saya kira kita juga tidak pernah ragu-ragu untuk melakukan tindakan tegas dan itu menjadi komitmen kami walaupun dengan berbagai macam pandangan," katanya.
Kapolri mengatakan pihaknya berkomitmen untuk terus mengurangi pelanggaran yang dilakukan anggota Polri. Pemberian sanksi tegas kepada anggota yang melanggar, sambung Jenderal Sigit, merupakan komitmen Polri dalam berbenah diri.
"Itu adalah komitmen kita untuk terus melakukan bersih-bersih terkait dengan peristiwa-peristiwa ataupun pelanggaran yang ada. Sehingga kita harapkan Polri semakin baik," ujarnya.