Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Anak Terjebak Prostitusi Imbas Kesenjangan Teknologi dengan Orang Tua

ilustrasi prostitusi (IDN Times/Mardya Shakti)

Jakarta, IDN Times - Hasil pemantauan dari ECPAT Indonesia pada 2022-2023 mengungkap sejumlah hal spesifik kasus yang hanya terjadi pada anak perempuan yang dilacurkan. Total ada 74 responden di antaranya 43 responden perempuan dewasa dan 31 responden anak perempuan usia 15-17 tahun. Salah satunya adalah anak yang terjebak dalam pusaran pelacuran punya kesenjangan pengetahuan teknologi internet dari orang tua mereka.

“Anak-anak yang menggunakan smartphone menyatakan tidak pernah dipantau atau didampingi orang tua ketika menggunakan smartphone, hal ini karena pengetahuan orang tua terhadap kecanggihan teknologi lebih rendah dibanding anak-anaknya, sehingga orangtua tidak tahu menahu jikalau anak-anak mereka mengakses konten berbahaya, termasuk terjebak dalam prostitusi online di internet,” tulis ECPAT dalam laporan hasil pemantauan kasus eksploitasi seksual anak online, dikutip Jumat (7/6/2024).

1. Live streaming video call seks paling banyak dipilih anak

Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). (IDN Times/Aditya Pratama)

Ditemukan juga fenomena anak bertransaksi jasa seksual secara online, misalnya dalam bentuk menjual foto dan video pornografi serta jasa live streaming untuk tujuan seksual. Konten-konten seksual tersebut dibuat dengan tidak menampakkan wajah atau hanya mengeksplor bagian tubuh saja.

Kemudian, platform aplikasi negara lain dipilih untuk menawarkan jasa live streaming video call sex.

“Hal ini karena anak-anak merasa aman menyembunyikan penawaran jasa seksualnya agar untuk tidak diketahui oleh orang-orang terdekat, selain itu anak-anak merasa tidak dirugikan karena tidak ada kontak fisik dengan pelaku,” tulis ECPAT.

2. Pemalsuan usia anak dan ada mucikari yang kendalikan praktik prostitusi

Ilustrasi belanja kebutuhan di online (123rf.com/ijeab)

Kemudian, dari hasil penelusuran dan wawancara pendalaman data subyek sasaran pemantauan ada anak-anak yang menuliskan usia dewasa saat tawarkan jasa prostitusi,  namun pada saat peneliti melakukan konfirmasi umur, korban mengakui bahwa masih berusia di bawah 18 tahun. 

Alasan mereka memalsukan usia karena mengetahui bahwa pelacuran terhadap anak adalah dilarang dan memiliki konsekuensi pidana. 

Kemudian ditemukan fakta bahwa anak-anak yang dilacurkan dikoordinir oleh sindikat mucikari yang atur praktik pelacuran, termasuk smartphone yang digunakan untuk transaksi, sehingga ruang gerak anak-anak korban sangat terbatas terutama dalam melakukan komunikasi dengan orang lain.

3. Penawaran jasa seksual anak jadi penawaran spesial

lustrasi kekerasan pada perempuan dan anak. (IDN Times/Nathan Manaloe)

Dalam menjalankan kegiatan praktik prostitusi, anak-anak menyadari bahwa rentan bertemu dengan orang yang jahat, dibohongi dan tidak dibayar, diketahui oleh tetangga, teman, keluarga, videonya disebarkan ke orang-orang.  Mereka juga sadar risiko dirinya dapat masuk penjara apabila foto wajah terpampang secara jelas di aplikasi.

Kemudian, pada praktik prostitusi di pemantauan ini adanya kecenderungan menawarkan tarif lebih mahal pada jasa seksual anak dibanding jasa seksual perempuan dewasa. Jasa seksual anak dimitoskan masih perawan, lugu, dan menggairahkan. Bahkan beberapa mucikari memposisikan penawaran jasa seksual anak sebagai penawaran spesial.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us