Asa MRT Jadi Transportasi Penghubung dari Pusat ke Pinggiran Jakarta

Jakarta, IDN Times - "Oh, gitu. Gue pikir ini tuh yang ada di peta masuk ke dalam jalur MRT semua. Jadi, MRT saat ini hanya ada di rute Lebak Bulus hingga Bundaran HI. Berarti, benar-benar dalam kota banget ya rutenya." Itu merupakan komentar salah satu YouTuber asal Korea Selatan, Bung Korea.
Dalam tayangan kontennya itu, Bung Korea menjajal kereta MRT dari Stasiun Blok M BCA menuju ke Senayan. Ia kemudian membandingkannya dengan fasilitas transportasi umum serupa yang terdapat di Negeri Ginseng.
Sebagai gambaran, kereta bawah tanah Seoul memiliki 768 stasiun. Sedangkan, MRT Jakarta baru memiliki 13 stasiun yang membentang dari Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia (HI). Pemerintah kini tengah mengerjakan kelanjutan rute dari Bundaran HI menuju ke area Kota, Jakarta Barata
Tetapi, mayoritas rute-rute MRT masih dibangun berada di pusat kota. Modanya belum tersambung ke hingga ke pinggiran kota seperti Bekasi atau Tangerang. Padahal, menurut data Badan Pusat Statistik, ada sekitar 3,3 juta warga yang masuk ke Jakarta setiap harinya.
Itu sebabnya, fungsi MRT masih dijadikan transportasi penghubung dan belum dimanfaatkan moda utama bagi sebagian besar warga Jakarta. Mereka menggunakan MRT menuju ke tempat kerja usai turun dari Kereta Rel Listrik (KRL), LRT Jabodebek atau TransJakarta.
1. MRT mulai bangun jalur lintas timur-barat yang membentang hingga Bekasi

Sementara, MRT berusaha untuk menjangkau hingga ke wilayah pinggiran Jakarta. Itu sebabnya, pembangunan jalur MRT terus berlanjut pada 2024 lalu yang direncanakan bakal membentang hingga ke Bekasi. Itu merupakan proyek pembangunan lintas timur menuju ke barat.
Di fase I tahap I, rute itu akan menghubungkan Tomang di Jakarta Barat dengan Medan Satria di Bekasi. Total jalur itu sepanjang 24,5 kilometer. Rencananya, jalur dan stasiun MRT Lin Timur-Barat Fase 1 Tahap 1 ini membentang dari Tomang, Grogol, Roxy, Petojo, Cideng, Thamrin, Kebon Sirih, Kwitang, Senen, Galur, Cempaka Baru, Sumur Batu, Pakulonan Barat, Pakulonan Timur, Perintis, Pulogadung, Penggilingan, Cakung Barat, Pulo Gebang, Ujung Menteng, hingga Medan Satria. Waktu tempuh yang ditargetkan mencapai 45 menit.
Direktur utama PT MRT (Perseroda), Tuhiyat mengatakan pembangunan jalur MRT itu dibangun dari pinjaman Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Asian Development Bank (ADB) sebesar 140,699 miliar yen atau setara Rp14,5 triliun.
"Kami targetnya selesai di tahun 2031," ujar Tuhiyat beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan pembangunan fisik proyek ini akan dilakukan secara paralel sehingga tidak menunggu penyelesaian fase II utara-selatan yakni dari Bundaran HI hingga Kota Tua.
MRT menargetkan ketika sudah beroperasi, rute barat fase I tahap I itu mampu mengangkut 284 ribu per hari. Angka itu naik hingga dua kali lipat dari target pengoperasian fase pertama sekitar 100 ribu penumpang.
Tuhiyat menyebut direncanakan pembangunan lintas timur barat tahap pertama ini akan memiliki 21 stasiun. Pembangunan jalur dari timur ke barat ada yang di bawah maupun layang. "Ini mixed antara underground dan elevated. Namun demikian karena (ini jalur) luar kota, elevated akan lebih banyak dibandingkan underground. (Jalur) underground 9-10 kilometer, elevated-nya kurang lebih 14-15 kilometer," katanya.
2. Tarif MRT masih dikeluhkan mahal oleh sebagian warga

Meski sudah beroperasi selama lima tahun, tetapi tidak sedikit yang masih mengeluhkan tarif MRT terlalu mahal. Rahmat Saputra (30), seorang karyawan swasta, mengatakan keberadaan MRT saat ini memang membantunya untuk melakukan aktivitas kerja. Karena jarak yang ditempuh dari rumah ke kantor jadi lebih cepat.
"Rumah saya di Palmerah dan kantor di Fatmawati. Saya naik di Stasiun Senayan, jadi bisa lebih dekat dan cepat," kata Rahmat pada pekan lalu.
Meski begitu, ia masih mempertanyakan soal tarif yang kurang sesuai pada penggunaan jasa MRT. Menurutnya, tarif itu sulit dijangkau oleh kalangan masyarakat menengah ke bawah.
"Ya, kalau menurut saya sih agak mahal ya, apalagi yang kalangan menengah ke bawah. Akan sulit kalau setiap hari naik MRT," tutur dia.
Sebagai gambaran, mengutip situs resmi MRT, tarif terendah dengan selisih jarak satu stasiun berkisar Rp3.000 hingga Rp4.000. Namun, bila menempuh perjalanan dari Stasiun Lebak Bulus hingga Bundaran HI, maka biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp14 ribu.
Biaya itu belum termasuk kendaraan feeder untuk bisa menuju ke tempat terdekat bekerja atau bermukim. Berbeda dengan Rahmat, Xena (25) justru berpendapat tarif MRT tergolong murah. Meskipun, ia menggunakan MRT sesekali saja.
"Terus, kan jeda antar kereta juga gak lama. Paling 5 sampai 10 menit dan serame-ramenya MRT di rush hour, gak pernah sepadat kalau naik KRL," katanya kepada IDN Times.
Itu sebabnya ketika dilakukan promo tarif Rp1 bagi MRT selalu disambut antusias oleh warga Jadebotabek. Biasanya jumlah penumpang akan melonjak dalam jumlah cukup signifikan.
3. Sulit menarik warga pindah ke transportasi umum bila sepeda motor tak dikendalikan

Sementara, dalam pandangan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat, Djoko Setijowarno, akan sulit bagi MRT atau transportasi umum lain untuk berkembang bila populasi sepeda motor tidak dikendalikan. Bahkan, Djoko tegas menyebut sepeda motor sebagai predator transportasi umum.
"Jadi, ojol (ojol) itu jangan dibiarkan ada di jalur-jalur utama dan sebaiknya tidak dijadikan kendaraan feeder. Biarkan saja ojol ada jalan-jalan kampung," ujar Djoko ketika dihubungi oleh IDN Times melalui telepon pada Minggu (5/1/2024).
"Pokoknya selama sepeda motor tetap dibiarkan berkeliaran, transportasi publik di Jakarta sia-sia untuk dibangun," imbuhnya.
Ia mengatakan hingga 2024 lalu baru 10 persen pengguna kendaraan pribadi yang beralih ke transportasi umum. Bila populasi sepeda motor tetap tidak dibatasi maka target Pemprov Jakarta untuk menarik 60 persen warga pindah ke transportasi umum per 2029 dikhawatirkan tidak akan tercapai.
"Selain itu, transportasi publiknya harus ditingkatkan kualitasnya. 90 persen area di Jakarta sudah dilalui transum kok dan setara dengan kota-kota di dunia. Kalau jalan di Jakarta, gak sampe 500 meter sudah dapat transum," katanya.
Penggunaan sepeda juga bisa dimanfaatkan sebagai feeder dari stasiun MRT menuju ke lokasi lain. Apalagi jalur sepeda kini sudah tersedia di sejumlah jalan protokol Jakarta.
"Tapi, bila ada sepeda motor yang menggunakan jalur sepeda harus ditilang. Sampai sekarang yang lewatin jalur sepeda gak pernah ditilang tuh sama polisi," katanya.
Tanpa ada penegakan hukum, kata Djoko, sulit bagi Jakarta meniru Taipei yang mampu mengubah perilaku warganya yang semula menggunakan sepeda motor beralih memakai sepeda. Mereka menggunakan layanan sewa sepeda bernama YouBike.
4. Pramono Anung harus minta bantuan pemerintah pusat untuk kendalikan sepeda motor
Lebih lanjut, Djoko menilai pekerjaan rumah terbesar bagi Pramono Anung-Rano Karno ketika menjabat nanti adalah mengendalikan populasi sepeda motor. Namun, Pramono diyakini tak akan bisa bekerja sendiri.
"Makanya Pramono harus minta bantuan ke pemerintah pusat. Presiden harus ngomong (soal pembatasan sepeda motor)," ujarnya.
Di sisi lain, Djoko memuji program Pramono-Rano yang akan menambah rute operasional Transjakarta hingga ke wilayah Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang. Ia menyarankan agar layanan Transjakarta ikut melewati 1.500 area perumahan menengah di Jadebotabek.
"Minimal disubsidi untuk operasional pagi dan sore. Sedangkan, untuk perumahan kelas menengah ke atas layanan JR Connexion-nya saja yang diperbanyak. Dengan begitu, pasti nanti banyak yang beralih pakai transportasi umum termasuk MRT," tutur dia.
Transjakarta dan JR Connexion, kata Djoko, adalah transportasi feeder yang dinilai sesuai usai turun dari MRT.