Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

KemenPPPA: Korban Kekerasan Seksual Berhak Dapat Ganti Rugi

Ilustrasi anak-anak (IDN Times/Besse Fadhilah)

Jakarta, IDN Times - Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di tengah masyarakat, seperti pemerkosaan terhadap 13 santriwati di pondok pesantren Bandung, jadi perhatian pemerintah untuk mengedepankan upaya penegakan hukum yang berlaku.

Menurut Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Nahar, selain menjatuhkan hukuman pidana maksimal dan hukuman tambahan kepada pelaku, korban juga harus diperhatikan dengan memenuhi hak mereka seperti mendapatkan ganti rugi atau restitusi. 

Nahar menegaskan, jangan sampai pidana pokok dilaksanakan, tetapi dendanya tidak dibayar dan digantikan dengan hukuman subsider penjara.

"Saya pikir persoalannya belum selesai karena ada korban akibat kejadian kekerasan seksual tersebut. Maka, kita harus mengantisipasi jangan sampai kejadian ini berdampak kepada tumbuhnya kejahatan baru akibat ketidaksempurnaan kita dalam memperhatikan kewajiban pelaku dan kepentingan korban,” kata dia dalam Media Talk dengan tema 'Ancaman Pidana Pelaku Kekerasan Seksual dan Hak Korban’, yang dukutip Senin (7/3/2022).

1. Rujukan utama untuk eksekusi kejahatan kekerasan seksual harus mengacu pada UU

Herry Wirawan, pemerkosa 12 santriwati di Bandung (dokumen-humas Kejati Jabar)

Nahar mengatakan, rujukan utama dalam mengeksekusi kejahatan kekerasan seksual pada anak di Indonesia adalah Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU.

“Dalam UU tersebut, ancaman pidana yang paling tinggi adalah pidana mati apabila kasus masuk ke dalam kategori persetubuhan dan korbannya lebih dari satu orang. Di samping itu, ada pemberatan sepertiga hukuman untuk kasus-kasus tertentu, misalnya kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat korban, seperti orang tua, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, pengasuh, dan wali,” ungkap Nahar.

2. KemenPPPA pastikan pasal yang digunakan sejak proses penyidikan sudah harus tepat

Kunjungan KemenPPPA pada korban paedofilia asal Padang | Deputi Perlindungan Anak, Nahar mengunjungi TR di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Selasa (3/11). (Dok. Humas KemenPPPA)

Dengan maraknya kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak, Nahar menjelaskan, KemenPPPA selalu melakukan koordinasi intens apabila terdapat kasus-kasus yang terjadi. 

“Kami selalu membuka komunikasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dan Dinas PPPA yang biasanya sudah terhubung dengan APH di daerah,” ujarnya.

Lewat koordinasi tersebut, pihaknya mendiskusikan hal-hal yang perlu diwaspadai di proses peradilan tingkat pertama. Dalam hal ini, pasal yang digunakan sejak proses penyidikan sudah harus tepat.

3. Strategi pemerintah tangani kasus kekerasan seksual yang terjadi

15 Bentuk Kekerasan Seksual Menurut Komnas Perempuan (IDN Times/Aditya Pratama)

Nahar menyebutkan, KemenPPPA telah melakukan berbagai strategi untuk menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, mulai dari langkah pencegahan, penanganan, hingga penguatan kelembagaan.

“Strategi inilah yang tidak pernah berhenti kita lakukan. Salah satu upaya pencegahan yang dilakukan adalah membangun sistem Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), misal kasus kekerasan seksual oleh seorang ayah terhadap anaknya di Depok, Jawa Barat. Kabupaten/kota yang belum mendapat penghargaan dengan yang sudah menerima penghargaan, akan memiliki cara yang berbeda ketika menghadapi kasus seperti ini. Bahkan bisa jadi kabupaten/kota yang belum memiliki status KLA, penanganannya akan lebih lambat,” kata Nahar.

KemenPPPA juga memiliki layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 yang dapat dihubungi oleh masyarakat melalui call center 129 maupun Whatsapp 08111-129-129. Selain itu, terdapat UPTD PPA di 33 provinsi dan unit layanan lainnya. 

4. Penegak hukum harus punya pemahaman soal pemenuhan dan perlindungan anak

Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Dia menjelaskan, ke depan penanganan UPTD PPA akan terpadu dan terintegrasi dari sisi kesehatan, rehabilitasi sosial, pendampingan hukum, pendampingan psikososial, dan lain sebagainya.

Menurut Nahar, penguatan kelembagaan terkait penanganan kasus kekerasan seksual tidak cukup dengan adanya regulasi ataupun kelengkapan sarana prasarana. 

Namun, aparat penegak hukum juga harus memiliki pemahaman terkait pemenuhan dan perlindungan anak. 

“Apabila tidak, kemungkinan pasal yang akan digunakan adalah pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tidak merujuk pasal perlindungan khusus anak. Karena ketika menggunakan standar umum, akan selalu mengacu pada KUHP. Padahal ada beberapa perubahan kebijakan yang sudah memberikan perhatian lebih kepada korban,” kata Nahar.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah
Lia Hutasoit
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us