Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Komnas Perempuan: ART di Batam Disiksa, Bukti Perlindungan Masih Lemah

SPRT Merdeka Semarang saat aksi damai Hari PRT Internasional. (IDN Times/Fariz Fardianto)
SPRT Merdeka Semarang saat aksi damai Hari PRT Internasional. (IDN Times/Fariz Fardianto)
Intinya sih...
  • Tanpa payung hukum jelas, hubungan PRT dan majikan ada di luar jangkauan sistem perlindungan.
  • Desak DPR dan Pemerintah segera sahkan RUU PPRT untuk menjamin hak PRT atas upah layak, jam kerja yang manusiawi, dan perlindungan dari kekerasan.

Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan, kasus penyiksaan seorang asisten rumah tangga (ART) berinisial I di Batam, Kepulauan Riau (Kepri) adalah bukti bahwa perlindungan bagi ART belum memadai.

Di balik tembok rumah majikannya, I, seorang ART asal Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami penyiksaan. Wajahnya lebam, dipukul, hingga dilecehkan secara verbal. Dia bahkan dipaksa memakan kotoran hewan dan tak digaji.

Komisioner Komnas Perempuan, Sondang Frishka Simanjuntak, mengatakan, kekerasan terhadap ART seperti yang dialami I memperlihatkan betapa rentannya posisi pekerja rumah tangga. Apalagi tanpa payung hukum yang memadai.

“ART bekerja di ruang domestik yang tersembunyi dan jauh dari pengawasan publik sehingga menjadi lahan subur terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM. Ada relasi kuasa yang besar. Situasi ini harus menjadi peringatan keras bagi para pengambil kebijakan bahwa kerja rumah tangga tidak bisa terus-menerus diperlakukan sebagai urusan privat yang lepas dari tanggung jawab negara," kata dia, dalam keterangan resmi, Kamis (26/6/2025).

1. Tanpa payung hukum jelas, hubungan ART dan majikan ada di luar jangkauan sistem

WhatsApp Image 2025-06-26 at 17.38.55.jpeg
Diskusi Publik bertajuk “Memastikan Kebebasan Menyuarakan Aspirasi Tanpa Penyiksaan” di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Kamis (26/6/2025) (IDN Times/Lia Hutasoit)

Komnas Perempuan menekankan kembali bagaimana pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) harus segera dilakukan. Hal ini adalah sebagai langkah penting mencegah kekerasan serupa dan menutup celah hukum yang selama ini membiarkan pekerja rumah tangga berada dalam situasi rentan.

Tanpa payung hukum yang jelas, hubungan antara ART dan majikan kerap berada di luar jangkauan sistem perlindungan ketenagakerjaan, menjadikan rumah tangga sebagai ruang kerja yang tak terawasi.

2. Desak DPR dan pemerintah segera sahkan RUU PPRT

Koalisi Sipil untuk RUU PPRT bersama JALA PRT menggelar aksi ketiga kalinya di depan Gedung DPR RI, mendesak pengesahan RUU PPRT, Senin (13/3/2023).. (IDN Times/Melani Putri)
Koalisi Sipil untuk RUU PPRT bersama JALA PRT menggelar aksi ketiga kalinya di depan Gedung DPR RI, mendesak pengesahan RUU PPRT, Senin (13/3/2023).. (IDN Times/Melani Putri)

Friskha mengatakan, RUU PPRT diharapkan jadi dasar legal yang menjamin hak ART atas upah layak, jam kerja yang manusiawi, perlindungan dari kekerasan, serta akses terhadap pengaduan dan pemulihan.

Komnas Perempuan mendesak DPR dan pemerintah untuk menunjukkan komitmen terhadap hak asasi manusia dengan segera mengesahkan RUU ini.

"Komnas Perempuan akan memantau proses penegakan hukum kasus ini dan pemenuhan hak korban," kata dia.

3. Ada indikasi kuat TPPO dalam kasus ini

Konferensi pers di kantor YLBHI, Jakarta menyambut aksi mogok makan yang bakal digelar Pekerja Rumah Tangga (PRT) di depan gedung DPR (dok. JALA PRT)
Konferensi pers di kantor YLBHI, Jakarta menyambut aksi mogok makan yang bakal digelar Pekerja Rumah Tangga (PRT) di depan gedung DPR (dok. JALA PRT)

Selain itu, Komnas Perempuan juga menilai, penting bagi polisi untuk mempertimbangkan penerapan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) dalam kasus ini.

Hal ini penting karena berdasarkan keterangan yang diperoleh dari pendamping korban, Komnas Perempuan menilai ada indikasi kuat praktik perdagangan orang.

"Fakta-fakta ini menguatkan dugaan adanya tindak pidana perdagangan orang. Pelaku dapat dikenai pidana 3 hingga 15 tahun penjara dan denda antara Rp120 juta hingga Rp600 juta," kata Komisioner Komnas Perempuan, Irwan Setiawan.

Ini dilihat dari adanya tiga unsur TPPO, yaitu proses perekrutan untuk bekerja yang tidak dipahami dan disetujui korban, adanya penyalahgunaan kekuasaan dan pemanfaatan situasi rentan, serta tujuan eksploitasi berupa kerja paksa tanpa upah, ancaman jeratan utang, kekerasan seksual, dan pembatasan kebebasaan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us