Komnas Perempuan Jabarkan Kenapa Korban Kekerasan Sulit Speak Up

Jakarta, IDN Times - Komisioner Ketua Sub Komisi Partisipasi Masyarakat, Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang menjabarkan sejumlah tantangan korban kekerasan enggan melaporkan kasus yang dialaminya. Salah satunya adalah karena pelaku kekerasan adalah orang terdekat korban seperti ayah atau suami.
Mereka akan berpikir untuk melapor kasus yang dialami karena khawatir akan situasi yang bakal mereka hadapi.
"Mengapa mereka butuh waktu untuk speak up? Yang menjadi pelaku kekerasan itu kan orang yang paling dekat dengan korban, suaminya, ayahnya, dan seterusnya gitu. Kadang-kadang dia berpikir, kalau saya nanti ngelapor, bagaimana nasib saya? Bayangkan misalnya kalau anak korban KDRT dia melaporkan ayahnya, dia pasti akan berpikir ribuan kali, bagaimana saya nanti melanjutkan hidup saya, pendidikan saya, kemana saya akan pergi? Ini yang kemudian membuat situasinya korban itu sulit untuk bicara. Apalagi kasus kekerasan seksual," kata dia dalam diskusi daring bertajuk "Safe Space for All", Rabu (4/12/2024).
1. Menyalahkan korban yang baru laporkan kasus usai bertahun-tahun

Veryanto mengungukapkan, Komnas Perempuan telah mencatat hampir 150 ribu kasus kekerasan seksual selama 10 tahun terakhir. Hal lainnya yang memprihatinkan adalah saat korban disalahkan baru melaporkan kasus usai mengalaminya beberapa tahun lalu.
"Saya pikir kita harus menolak komentar-komentar nada negatif terhadap korban. Kan pertanyaannya selalu, kok baru sekarang sih ngomong? Kenapa kemarin-kemarin nggak ngomong? Kenapa baru sekarang misalnya menyampaikan gitu? Apakah dia ingin membunuh karakter pelakunya? Jadi yang dibela adalah pelaku. Termasuk di kampus juga begitu," katanya.
2. Masalah pelaku yang berpengaruh

Hal seperti itu, kata dia, kerap terjadi di lingkungan perguruan tinggi, contohnya saat seseorang punya pengaruh atau kolega yang banyak. Hal itu yang kadang membuat korban dua sampai tiga kali berpikir untuk buka suara.
Di sisi lain, mereka juga harus memulihkan diri sebelum berjuang menghadapi kasus dan rasa takut.
"Sehingga tuduhan kepada korban adalah oh dia ingin menghancurkan reputasi dosen ini, misalnya begitu ya, pelaku ini," katanya.
3. Perspektif penegakkan hukum yang jadi pekerjaan rumah bersama

Dia mengakui, ruang aman untuk perempuan korban kekerasan masih sulit diwujudkan. Salah satunya jika terjadi pada perempuan dengan disabilitas yang mana akses pada inklusifitas belum memadai.
Selain itu, penegakkan hukum juga dianggap belum memadai, salah satunya adalah soal perspektif aparat.
"Pernah juga perempuan tunanetra diperkosa. Dia hamil punya anak. Dia udah bilang ciri-cirinya begini. Itu udah diketemukan, tapi nggak diproses. Sampai kemudian polisinya bilang gini, nanti aja deh setelah anaknya lahir kita tes DNA. Tes DNA itu gak murah lho. Siapa yang akan membiayai? Kalau pelakunya nggak mau tes DNA, apa polisi bisa paksa? Artinya di situ adalah PR kita masih cukup banyak gitu," katanya.