Komnas Perempuan Soroti Kekerasan Gender dalam Kampanye Pilkada 2024

Jakarta, IDN Times - Tinggal menghitung hari jelang pencoblosan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan pada Rabu, 27 November 2024. Namun, dalam perjalanan prosesnya, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memantau dan menerima soal informasi terkait pelaksanaan kampanye yang justru menormalisasi diskriminasi dan kekerasan berbasis gender berupa seksisme, subordinasi perempuan hingga kekerasan seksual.
"Komnas Perempuan menyesalkan pernyataan yang disampaikan oleh para Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada pelaksanaan kampanye dan debat publik yang tidak mematuhi ketentuan tentang materi kampanye sebagaimana disebutkan pada pasal 17 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 13 Tahun 2024," kata Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi dalam konferensi pers daring, Kamis (7/11/2024).
1. Narasi berbagai calon kepala daerah yang terangkum

Beberapa narasi yang ada di antaranya mulai dari pernyataan Calon Wakil Gubernur Jakarta nomor urut satu Suswono, yang menyatakan agar janda kaya menikahi pengangguran. Kemudian Calon Gubernur Jakarta Independen, Dharma Pongrekun yang mengatakan guru-guru perempuan sengaja ditempatkan di Taman Kanak-kanak untuk menyiapkan anak-anak menjadi bagian dari komunitas LGBT sejak dini.
Ada pula Calon Wakil Gubernur Banten, Dimyati Natakusumah juga melontarkan bahwa perempuan jangan diberi beban berat, apalagi menjadi gubernur. Serta terdapat baliho bernada seksis dari pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Sleman, Harda Kiswaya - Danang Maharsa yang bertuliskan 'Milih Imam (Pemimpin) Kok Wedok. Jangan Ya Dik Ya! Imam (Pemimpin) Kudu Lanang' yang berarti 'Memilih imam (pemimpin) kok perempuan. Jangan ya dik ya! Imam (pemimpin) harus pria'.
Kemudian ada juga pernyataan “tusuk di tengah yang sedap” sebagai pernyataan penutup yang disampaikan kandidat Murad-Michael di Maluku pada debat terbuka.
2. Jadi bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan

Ami, sapaan karib Siti Aminah Tardi, mengatakan pernyataan atau kasus-kasus itu adalah bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan di dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Hal ii jelas bertentangan norma-norma HAM internasional maupun Konstitusi. Berdasarkan hasil pemantauan hak perempuan dalam pemilu, Komnas Perempuan mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan dalam kontestasi elektoral sebagai berikut.
"Segala bentuk kekerasan yang ditujukan pada perempuan karena ia perempuan, atau kekerasan yang mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional karena partisipasi dan/atau aspirasi mereka untuk mendapatkan jabatan politik dan/atau terlibat dalam aktivitas politik dalam penyelenggaraan Pemilu. Kekerasan ditujukan untuk membatasi, menghalangi dan melemahkan perempuan sehingga tidak setara dalam memilih, dipilih, mencalonkan diri, berkampanye, berserikat, berkumpul, berekspresi atau berpendapat atas dirinya sendiri”.
3. Ada 14 bentuk kekerasan pada perempuan yang tercatat selama pemilu

Sementara, Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang mengatakan dari kajian dan pemantauan Komnas Perempuan melalui berbagai literatur, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dalam Pemilu sangat terkait dengan berbagai bentuk kekerasan yang sering menimpa perempuan, baik di ranah pribadi, publik, maupun negara. Total ada 14 bentuk yang terekam.
Mulai dari kekerasan fisik seperti pemukulan dan penamparan, pelecehan verbal, fitnah, serta serangan karakter berbasis gender. Selain itu, perempuan juga sering menjadi korban pemerkosaan, pemerasan seksual, dan intimidasi. Mereka menghadapi pembatasan gerak, penculikan, hingga ancaman pemindahan tempat tinggal atau penghilangan mata pencaharian. Tindakan kekerasan ini juga bisa berupa tekanan untuk mundur dari kontestasi Pemilu, pengawasan bias gender oleh media, hingga kekerasan seksual berbasis elektronik, bahkan pembunuhan terhadap politisi perempuan (feminisida).