Komnas Perempuan Soroti Layanan Kesehatan Mental Korban KDRT

Jakarta, IDN Times - Komnas Perempuan menyoroti soal layanan kesehatan mental korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Hal itu karena ada sekitar 20 persen dari total penduduk yang belum terjangkau layanan kesehatan jiwa.
Dari pemantauan Komnas Perempuan, KDRT tak hanya mengakibatkan luka fisik tetapi juga luka psikis. Korban mengalami kecemasan atau ketakutan (anxiety), depresi, dan trauma berkepanjangan (post traumatic stress disorder), bahkan berpotensi mengakhiri hidup.
“Komnas Perempuan telah menerima laporan, seorang perempuan korban KDRT berlapis dan berulang, ditemukan tewas bunuh diri di kamarnya. Kasus ini menggambarkan, pentingnya perhatian khusus terhadap korban KDRT untuk mencegah korban untuk bunuh diri. KDRT berpotensi silent killer bila diabaikan dan perempuan korban KDRT yang melakukan bunuh diri merupakan korban suicide femicide,” kata Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat, dalam keterangannya, Selasa (10/10/2023).
Komnas Perempuan juga menyimpulkan, bentuk femisida pasangan intim atau intimate femicide merupakan KDRT yang paling ekstrem saat pelaku menghabisi nyawa pasangannya.
1. Hambatan korban KDRT berimplikasi pada kondisi mental yang rusak

Dia mengatakan, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (UU PKDRT) masih ada faktor sosial budaya yang menjadi hambatan dalam melaporkan kasus KDRT. Korban atau keluarga memandang tabu untuk melaporkan kasus KDRT. Korban juga merasa malu mengungkapkan kekerasan seksual yang dialaminya.
"Di sisi lain, pelaku KDRT juga melakukan berbagai ancaman pada korban agar tidak melaporkan tindakannya, seperti mengancam menyebarkan video intim korban," kata dia.
Hambatan tersebut bisa membuat korban memendam kasus yang dialami sehingga mendorong tindakan bunuh diri, melukai diri atau mengalami gangguan jiwa akut.
2. Kewajiban perempuan korban kekerasan akses pemulihan

Komnas Perempuan juga mencatat, orang dengan gangguan jiwa termasuk perempuan korban kekerasan seksual, mengalami hambatan tentang aksesibilitas layanan kesehatan mental yang terjangkau dan layak.
Padahal para korban kekerasan seksual berhak atas perlindungan dan pemulihan karena berpotensi mengakibatkan gangguan kesehatan mental yang semakin berat. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, sudah ada jaminan pemenuhan hak korban termasuk pemulihan psikologis.
3. Terbatasnya jumlah psikolog dan psikiater

Selain itu, fakta di lapangan menunjukkan banyak perempuan korban kekerasan seksual belum mendapatkan layanan psikolog untuk pemulihan trauma psikologisnya.
Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya, jumlah psikolog dan atau psikiater yang sangat terbatas. Jumlah itu tidak sebanding dengan populasi.
“Hanya di daerah-daerah tertentu, lembaga-lembaga pendamping perempuan korban kekerasan yang dapat menyediakan layanan psikolog, perempuan korban kekerasan seksual di daerah pedalaman atau pinggiran akan sulit mendapatkan layanan dari psikolog,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad.