Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

KontraS: 34 Kasus Pembunuhan di Luar Hukum Dilakukan Aparat

Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil menampilkan aksi teatrikal penembakan pelajar saat demonstrasi di depan Polda Jateng, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (28/11/2024). (ANTARA FOTO/Aji Styawan)
Intinya sih...
  • KontraS mencatat 45 kasus extrajudicial killing oleh aparat negara, dengan 34 peristiwa dilakukan oleh kepolisian dan 11 peristiwa oleh TNI.
  • Dari 45 peristiwa extrajudicial killing, 20 korban bukan tersangka tindak pidana, dan sebanyak 29 korban disebabkan oleh penembakan dengan senjata api.
  • Ada 62 peristiwa penyiksaan yang menyebabkan 109 korban luka dan 19 korban tewas, dengan pelaku dari institusi kepolisian, TNI, dan lembaga kemasyarakatan.

Jakarta, IDN Times - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (KontraS) mengungkap sejumlah praktik pelanggaran penegakan hukum yang banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti polisi atau TNI. Kontras mencatat, ada 45 kasus pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killing yang dilakukan oleh aparat negara, khususnya kepolisian sepanjang Desember 2023-November 2024.

"Dilihat dari aktornya angka tertinggi dari pelanggaran extrajudicial killing dilakukan oleh institusi kepolisian sebanyak 34 peristiwa, dan institusi TNI sebanyak 11 peristiwa," kata Wakil Koordinator KontraS Andi Rezaldy dalam konferensi pers Peluncuran Catatan Hari HAM KontraS 2024, Jumat (6/12/2024).

1. Ada 20 korban bukan tersangka tindak pidana

Kontras melakukan konferensi pers Peluncuran Catatan Hari HAM KontraS 2024 (Youtube/KontraS )

Dari 45 peristiwa extrajudicial killing ada 47 korban. Berdasarkan latar belakang korban, sebanyak 27 korban merupakan tersangka tindak pidana (kriminal), dan 20 lainnya bukan tersangka tindak pidana. Pemantauan yang sama juga menunjukkan bahwa 29 korban extrajudicial killing yang terjadi, isebabkan oleh penembakan dengan senjata api dan 18 lainnya akibat tindak penyiksaan.

"Beberapa korban terkait dengan extrajudicial killing yang kami pantau ialah kasus Michael Sitanggang, ada juga kasus Afif Maulana dan juga Gama Rizki Nanta," kata dia.

Data pemantauan KontraS mencatat, 24 dari 47 korban extrajudicial killing terbunuh walau tidak melakukan perlawanan kepada aparat.

"Penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh aparat khususnya institusi kepolisian, itu berdampak pada adanya peristiwa non-kriminal yang sebetulnya tidak ada kaitannya sama sekali dengan peristiwa kejahatan," kata dia.

 

2. Sejumlah peristiwa penyiksaan dengan motif berbeda-beda oleh aparat

Massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil berunjuk rasa terkait kasus penembakan pelajar di depan Polda Jateng, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (28/11/2024). (ANTARA FOTO/Aji Styawan)

Selanjutnya berkaitan dengan peristiwa penyiksaan. Dari pantauan KontraS, ada 62 peristiiwa penyiksaan yang menyebabkan 109 korban luka dan 19 korban tewas. Sebanyak 32 peristiwa penyiksaan terjadi dengan motif mengejar pengakuan, dan 30 lainnya terjadi sebagai bentuk penghukuman. 

"Dilihat dari institusinya, ada tiga institusi yang kami temukan sebagai pelaku peristiwa penyiksaan. Dengan angka tertinggi atau pelaku dari institusi kepolisian yaitu 38 peristiwa. Ada juga institusi TNI sebanyak 15 peristiwa dan dari lembaga kemasyarakatan yaitu 9 peristiwa. Dari 22 peristiwa penyiksaan yang terjadi, para pelaku dilepas tanpa mendapatkan sanksi, 32 korban penyiksaan dilepaskan begitu saja tanpa pemulihan dari pemerintah," kata dia.

3. Belum ada tindakan tegas untuk mengatasi kasus penyiksaan

Dokter Forensik keluar dari tenda saat proses autopsi jenasah saat ekshumasi atau pembongkaran makam almarhum pelajar SMK berinisial GRO (17) di TPU Bangunrejo, Saradan, Karangmalang, Sragen, Jawa Tengah, Jumat (29/11/2024). (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)

Situasi semacam itulah, kata Andi, melahirkan peristiwa-peristiwa penyiksaan di masa yang akan datang. Karena pihaknya belum melihat tindakan tegas terhadap institusi-institusi yang bertanggung jawab terkait peristiwa penyiksaan yang terjadi. 

"Negara mestinya memberikan pemulihan terhadap korban penyiksaan bukan dengan dilepaskan begitu saja tanpa pemulihan. Jadi, ketika terjadi ada peristiwa penyiksaan, negara semestinya bertindak memberikan penghukuman terhadap pelaku," kata Andi.

Tidak hanya pelaku yang menyasar pada aktor di level rendah, tetapi juga aktor-aktor yang tinggi, yang semestinya juga bertanggung jawab untuk kemudian diseret dan diproses melalui mekanisme penegakkan hukum.  Kemudian tentunya harus ada pemulihan terhadap para korban penyiksaan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Lia Hutasoit
EditorLia Hutasoit
Follow Us