Viral Kawin Tangkap di NTT, KemenPPPA: Itu Kekerasan pada Perempuan

Pelaku kawin tangkap bisa dijerat UU TPKS ancamannya penjara

Jakarta, IDN Times - Rekaman perempuan ditarik paksa oleh sejumlah lelaki viral di media sosial. Belakangan diketahui perempuan itu adalah mempelai kawin paksa di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang terjadi pada Kamis (7/9/2023). Dia diangkut ke sebuah mobil oleh sejumlah laki-laki saat berada di pinggir jalan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) angkat suara terkait kasus kawin tangkap ini. Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Ratna Susianawati mengatakan, kasus ini mencederai hak perempuan untuk hidup aman. Kawin tangkap adalah bentuk penculikan dan kekerasan pada perempuan.

“Kasus seperti ini tentu mencederai hak perempuan untuk hidup aman tanpa kekerasan. Kasus kawin tangkap terjadi sebagai pergesekan dalam aspek budaya yang sudah sepatutnya kita hentikan bersama, demi melindungi para perempuan dari kekerasan seksual berbalut budaya. Kawin tangkap merupakan bentuk penculikan dan kekerasan terhadap perempuan. Tentu ini dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal dan bukan bagian dari adat. Selain itu, ada peranan relasi kuasa dalam kasus-kasus kawin tangkap yang tidak selayaknya dilanggengkan,” ujar Ratna di Jakarta, Sabtu (9/9/2023).

Baca Juga: Kabur Tapi Bukan Kawin Lari, Mengenal Sebambangan Adat Nikah Lampung

1. Seluruh pelaku kawin tangkap sudah diamankan

Viral Kawin Tangkap di NTT, KemenPPPA: Itu Kekerasan pada PerempuanDeputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati pada Rapat Koordinasi antar Lembaga dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (Dok. KemenPPPA)

Terkait kasus kawin tangkap di Provinsi NTT, Ratna menggarisbawahi telah ada penandatanganan Nota Kesepahaman Peningkatan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Sedaratan Sumba oleh Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Daerah Sedaratan Sumba pada 2020 lalu. 

"Untuk itu, kami mohon aparat penegak hukum untuk menindak tegas setiap praktik kawin tangkap. Jangan sampai alasan tradisi budaya dipakai hanya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak,” ujarnya.

Berdasarkan informasi yang didapatkan KemenPPPA, seluruh pelaku, orang tua salah satu pelaku, dan korban langsung diamankan pada hari kejadian. Hal ini untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terkait video dugaan kasus kawin tangkap yang viral di media sosial.

2. Pelaku dapat dijerat dengan UU TPKS, ancaman pidana 9 tahun

Viral Kawin Tangkap di NTT, KemenPPPA: Itu Kekerasan pada PerempuanGambaran tindakan perempuan saat kawin tangkap di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) (Tangkapan layar Instagram/Mememedsos)

Ratna mengungkapkan, kasus semacam ini dapat dijerat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yaitu Pasal 4 ayat (1) huruf e jo Pasal 10. 

Dalam UU TPKS dinyatakan, setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp200 juta.

“Pada ayat selanjutnya disebutkan, salah satu pemaksaan perkawinan yang dimaksud adalah pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya. Namun, pasal tersebut dapat diterapkan ketika pemaksaan perkawinan telah dilakukan sehingga dapat memenuhi unsur-unsur pidana,' katanya.

3. KemenPPPA bakal kawal kasus ini

Viral Kawin Tangkap di NTT, KemenPPPA: Itu Kekerasan pada PerempuanDeputi Perlindungan Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati dalam Rapat Panitia Kerja RUU TPKS, di Jakarta (1/4) (Dok. KemenPPPA)

Ratna menuturkan, pihaknya bakal mengawal kasus kawin tangkap ini dan berkoordinasi intens dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Sumba Barat Daya, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) NTT, Kepolisian Daerah Provinsi NTT, dan Kepolisian Resor Kabupaten Sumba Barat Daya.

“Kami akan memantau perkembangan penanganan kasus dan pendampingan korban sebagai bentuk perlindungan dan pemenuhan hak perempuan korban. Kami juga mendorong organisasi perangkat daerah yang membidangi urusan PPPA untuk terus memantau perkembangan kasus tersebut, dan memberikan pelayanan sesuai kebutuhan korban sebagaimana yang diamanatkan dalam UU TPKS,” kata dia.

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya