Marak Kasus Mafia Tanah, Gimana Berantasnya?

Jakarta, IDN Times - Di 2022 ini, masih banyak sejumlah kasus mafia tanah yang menimpa masyarakat. Untuk memerangi para mafia tanah, Kementerian ATR/BPN menyiapkan strategi komunikasi di bidang hukum.
Kasus mafia tanah sendiri sangat berkaitan dengan proses administrasi dan hukum. Sayangnya, menurut pimpinan kantor hukum Visi Law Office yang juga mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah, hal-hal terkait hukum sulit dipahami masyarakat karena disampaikan dengan bahasa yang rumit.
"Dalam konteks itu lah muncul komunikasi hukum yang memaksimalkan strategi komunikasi dalam bidang hukum. Salah satu tujuannya mempertegas komitmen Kementerian ATR/BPN dalam memberantas mafia tanah," ujar Febri seperti yang ditulis dalam keterangan resmi Kementerian ATR/BPN, Minggu (30/1/2022).
1. Korban mafia tanah perlu edukasi yang jelas dan mudah dipahami

Febri mengatakan dalam penyampaian komunikasi ke masyarakat terkadang sulit dipahami, karena belum maksimalnya fungsi kehumasan yang cenderung satu arah. Karena tujuannya dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat adalah dapat mengedukasi masyarakat.
"Terdapat isu-isu materi yang sulit dipahami, dengan strategi komunikasi yang tepat sampai di publik dapat meningkatkan kredibilitas lembaga. Kegagalan pihak termasuk aparat penegak hukum dan advokat menyampaikan apa yang menurut kami penting, bukan berpikir apa yang harus didengar orang. Ini tantangannya dan memang tidak mudah menjelaskan," tutur dia.
2. Pemerintah siapkan strategi komunikasi dengan pakar hukum

Atas usulan tersebut, Menteri ATR/BPN, Sofyan Djalil mengatakan pihaknya akan menindaklanjutinya.
"Kita memerlukan strategi komunikasi yang efektif dalam penyebarluasan suatu informasi kepada masyarakat," ujar Sofyan.
3. Kasus mafia tanah di 2022

Di 2022 ini, ada kasus mafia tanah yang menimpa mantan Direktur Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI Mayor Jenderal (Purn) Emack Syadzily. Dia menjadi korban mafia tanah di Depok, Jawa Barat.
Peristiwa ini bermula saat Burhanuddin yang merupakan pihak pengembang swasta dari PT Abdi Luhur Kawulo Alit (ALKA) hendak membeli tanah milik Mayjen (Purn) Emack seluas 2.930 meter di Kelurahan Bedahan, Kecamatan Sawangan, Kota Depok. Namun, Emack tak mendapatkan sertifikatnya kembali, karena sertifikatnya itu ada di pemda.
Setelah ditelusuri, ternyata sertifikat miliknya dijadikan prasyarat fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) di sebuah Perumahan Reiwa Town, Kelurahan Duren Seribu, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok. Fasos dan fasum itu digunakan sebagai prasyarat untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Bareskrim Polri menetapkan Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Depok Eko Herwiyanto, dan Anggota DPRD Kota Depok Nurdin Al Adisoma, sebagai tersangka kasus mafia tanah di Depok. Penyidik juga menetapkan dua tersangka yang merupakan warga sipil. Mereka yakni Burhanudin Abubakar dan Hanafi.