Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Megawati Harap Hakim MK Belajar dari Putusan Batas Usai Cawapres

Ketua PDIP Megawati Soekarno Putri dan keluarga usai nyoblos pada Rabu (14/2/2024). (IDN Times/Sonya Michaella)

Jakarta, IDN Times - Presiden ke-5 Republik Megawati Soekarnoputri berharap Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dapat belajar dari putusan perkara nomor 90 terkait batas usia capres dan cawapres yang sangat kontroversial. Dia berharap Hakim MK sadar dan insaf untuk tidak mengulangi hal tersebut. 

Dalam sidang sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) 2024, PDIP mengajukan Amicus Curiae, yang salah satunya akan disampaikan Megawati Soekarnoputri. 

"Belajar dari putusan perkara nomor 90 di MK yang sangat kontroversial, saya mendorong segala hormat kepada hakim MK agar sadar dan insaf untuk tidak mengulangi hal tersebut," kata Megawati seperti dikutip dari Harian Kompas, Senin (8/4/2024).

Megawati menyampaikan, ketukan palu hakim MK selanjutnya akan menjadi pertanda memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan bagi rakyat dan negara. 

Ia berdoa nantinya akan melihat cahaya terang demokrasi terhadap putusan oleh sembilan hakim MK agar dapat memberikan keputusan yang berkeadilan, berwibawa, dengan hati nuraninya.

"Rakyat Indonesia terutama yang mempunyai hati nurani harus mendukung pengadilan MK sebagai upaya berkeadilan secara hukum," ujar dia.

1. Kemampuan MK selesaikan sengketa pemilu jadi tolok ukur kembalikan kualitas demokrasi Indonesia

Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri dalam acara HUT ke-51 PDIP. (IDN Times/Aditya Mustaqim)

Lebih lanjut, Ketua Umum DPP PDIP itu juga menyinggung penurunan demokrasi Indonesia. Dia mengatakan, penurunan kualitas demokrasi Indonesia ini telah dikaji oleh para peneliti. 

Indeks demokrasi Indonesia menurut data freedom house, terus menujukan penurunan. Demikian juga menurut The Ekonomist Intelegence Unit yang menyimpulkan demokrasi Indonesia masih tergolong cacat berada pada peringkat ke-54 secara global turun 2 peringkat dari tahun sebelumnya. 

Oleh karena itu, dengan menyampaikan berbagai laporan itu, Megawati menyampaikan kemampuan MK dalam menyelesaikan sengketa pemilu yang sekarang sedang berjalan menjadi tolok ukur bagi peningkatan kualitas demokrasi. Sebab, kecurangan tanpa efek jera akan semakin mematikan demokrasi.

"Agar sumber kecurangan tersebut dapat diungkap, hakim MK dapat membedah sumber kegaduhan dalam kecurangan Pilpres," ujar dia. 

2. Kecurangan pemilu tak berlangsung tiba-tiba

Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri dalam acara HUT ke-51 PDIP. (IDN Times/Aditya Mustaqim)

Sementara itu, Megawati menilai, kecurangan pemilu bukan berlangsung tiba-tiba karena ia lahir melalui serangkaian evolusi kecurangan terhadap pemilu mulai dari pemilu tahun 1999, 2004 dan semakin menguat pada tahun 2024. 

Kemudian, politik bantuan sosial yang diterapkan secara masif pada tahun 2009 seiring dengan meningkatkan populisme. Sementara, penggunaan aparat hukum termasuk TNI dan Polri dipraktekkan pada pemilu 2009 dan 2019. 

Efektivitas penggunaan instrumen hukum semakin sempurna di pemilu 2019 ketika jabatan jaksa agung RI dilaksanakan bagi kepentingan elektoral. 

Mengapa evolusi kecurangan terjadi bahkan semakin bersifat akumulatif? Sebab belum pernah tercipta efek jera sebagaimana terjadi di Amerika Serikat dengan skandal watergate yang memaksa Presiden Richard Nixon mengundurkan diri.

Pilpres 2024 merupakan puncak evolusi hingga bisa dikategorikan sebagai kecurangan terstruktur sistematis dan masif (TSM). Ditambah motif nepotisme yang mendorong penyalahgunaan kekuasaan presiden. 

Nepotisme ini menurutnya berbeda dengan zaman Presiden Soeharto sekalipun karena dilaksanakan melalui sistem pemilu ketika presiden masih menjabat dan ada kepentingan subjektif bagi kerabatnya.

Lalu pertanyaan kritis kita: apa dan siapa yang salah? 

3. Etika dan moral dijauhkan dari praktik hukum

Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri dalam acara HUT ke-51 PDIP. (IDN Times/Aditya Mustaqim)

Menurutnya, bukan sistem hukum Indonesia yang salah, melainkan pelaksanaan hukum yang menjadi tanggung jawab pemimpin itulah yang salah. 

Kondisi ini terjadi akibat etika dan moral yang dijauhkan dari praktik hukum tanpa landasan etika, moral dan keteladanan pemimpin, manipulasi hukum menjadi semakin mudah dilakukan. 

Oleh sebab itu, menurutnya sikap kenegarawanan yang dimiliki hakim MK masuk dalam dimensi tanggungjawab bagi pemulihan etika dan moral itu.

Tanpanya, MK hanya menjadi jalan pembenaran bagi sengeketa pemilu yang orientasinya hanya pada hasil, tanpa melihat secara jernih bagaimana proses pemilu dan keseluruhan input dari proses pemilu. 

Hasil pemilu ternyata bisa berubah akibat penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dibuktikan adanya voting behavior yang dipengaruhi besarnya belanja sosial (social expenditures), seperti bantuan langsung tunai, pembagian beras miskin, dan bantuan sosial lainnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Amir Faisol
Dwi Agustiar
Amir Faisol
EditorAmir Faisol
Follow Us