Menolak Lupa 21 Tahun Tragedi Wasior Berdarah, Ini Tuntutan Korban

Jakarta, IDN Times - Tragedi Wasior (Wondama) bermula dari aksi masyarakat menuntut ganti rugi atas hak ulayat yang dikelola oleh perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), seperti PT Darma Mukti Persada (DMP), PT Wapoga Mutiara Timber (WMT), CV Vatika Papuana Perkasa (VPP).
Aksi yang dilakukan pertengahan Maret 2001 memberikan batas waktu kepada PT DMP sampai dengan 30 Maret 2001 untuk segera membayar ganti rugi hak ulayat. Namun, hingga batas waktu yang ditentukan, manajemen PT DMP di Wondama, kantor cabang Manokwari, maupun Jakarta, tidak mengindahkan tuntutan masyarakat.
Pada 30 Maret warga melakukan penutupan jalan PT DMP, namun hanya bertahan sehari karena setelahnya datang kelompok tidak dikenal bersenjata menembak mati tiga orang karyawan PT DMP.
"Akibat peristiwa tersebut pada 1 hingga 2 April 2001, pasukan Brimob didatangkan dari Kabupaten Sorong, Biak, Manokwari dan Bintuni," ujar Koordinator korban pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM Papua di Biak, Tineke Rumkabu, lewat keterangan tertulisnya, Selasa (14/6/2022).
1. Korban masih mendapatkan teror dan intimidasi

Usaha mencari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang diduga melakukan penembakan terus dilakukan pasukan Brimob di daerah Wombu. Aparat menyisir hampir pelosok daerah Wondama, Kecamatan Wasior dan sekitarnya. Belum tuntas penanganan kasus Wombu muncul kasus Wondiboi.
Kelompok tidak dikenal dengan senjata lengkap pada 13 Juni 2001 menyerang dan menewaskan lima personel Brimob Polda Papua yang saat itu bertugas di Pos pam CV. VPP, serta satu orang karyawan Kopermas Imanuel.
"Kasus Wasior belum dilimpahkan ke pengadilan HAM, korban saat ini masih mendapat, teror, intimidasi dan penyiksaan, yang dilakukan oleh aparat TNI-Polri di Wasior Papua Barat. Pada 7 Juni 2022, oknum polisi dari polsek Wasior Kabupaten Teluk Wondama terhadap korban Boas Urio dan Ruben Urio (Suku Toro), yang adalah masyarakat pemilik tanah adat di wilayah Wosimi Kampung Undurara Distrik Naikere Kabupaten Teluk Wondama," ujar Rumkabu.
2. Warga Wasior masih trauma dengan aparat

Kasus ini bermula saat kedua korban memberi kode cat di lokasi yang di dalamnya ada kearifan lokal (mosoi dan kulit lawan) dengan maksud Perusahaan PT Kurnia Tama Sejahtera, yang beroperasi di areal PT Darma Mukti Persada (DMP), agar tidak melakukan kegiatan. Karena, ada tanaman-tanaman yang akan dikelola untuk peningkatan ekonomi masyarakat di wilayah tersebut.
Kedua korban diajak oleh manejer PT Kurnia Tama Sejahtera dari lokasi tersebut ke kota Wasior tepatnya di Mess perusahaan lalu dengan diam-diam pihak perusahaan menelepon polisi Seluk Auparai untuk datang ke Mess perusahaan KTS belakang Bandara Wasior.
Korban diduga mendapatkan siksa dan diancam agar tidak boleh terpengaruh oleh ajakan orang yang tidak bertanggungjawab, mereka harus mendukung pembangunan dan patuh terhadap pemerintah.
"Kondisi hari ini aparat Brimob dan tentara ditempatkan Distrik dan kampung-kampung membuat menambah trauma yang lebih serius. Proses hukum kasus Wasior sengaja tarik ulur dan terkesan sangat lambat," kata dia.
"Sementara nasib para korban dan keluarga mengalami trauma yang berkepanjangan, sakit hati mendalam, membuat tidak percaya terhadap kebijakan pemerintah Indonesia di atas tanah Papua," lanjutnya.
3. Korban menuntut keadilan

Atas peristiwa ini, korban dan keluarga yang tergabung dalam organisasi korban Pelanggaran HAM di Tanah Papua, yaitu Bersatu untuk Kebenaran (BUK) Papua melalui peringatan 21 tahun ini, meminta informasi atas status hukum kasus Wasior 13 Juni 2001. Mengingat kondisi para korban akibat peristiwa tersebut masih menyisakan duka.
Trauma serta hilangnya rasa keadilan. Korban dan keluarga menyaksikan kinerja Kejaksaan Agung RI atas kasus tersebut hingga kini, berkas kasus Wasior dan Wamena hanya bolak-balik antara Komnas HAM dan Kejagung.
Korban juga mempertanyakan proses hukum kasus Enarotali Pania, 8 Desember 2014, pengadilan HAM di Makassar? Sedangkan UU Otsus Papua N0.21 tahun 2000 sudah berjalan 22 tahun, mekanisme pengadilan HAM bisa dibuat di Papua.
"Kekhawatiran dan protes para saksi korban dan keluarga korban sangat beralasan, karena pelakunya cuma satu orang, sedangkan sesuai dengan BAP Komnas HAM Saksi sipil sebanyak 11 orang, pelaku Kepolisian sebanyak 18 orang, purnawirawan Polri dua orang, saksi anggota TNI dua orang, purnawirawan TNI sebanyak empat orang, saksi dari ASN sebanyak enam orang," ujar Rumkabu.
Sementara yang telah memenuhi panggilan untuk memberikan keterangan dalam BAP Komnas HAM antara lain tujuh saksi sipil, dua pelaku dari kepolisian, dua purnawirawan Polri, dua anggota TNI, satu purnawirawan TNI, enam saksi dari ASN.
“Tetapi tidak ada yang bersedia untuk memberikan keterangan,” ujar Rumkabu.
4. Tuntutan korban Wasior

Tidak adanya kepastian hukum bagi korban dan keluarga, mereka juga mempertanyakan sejauh mana keseriusan pemerintah Indonesia dalam hal ini Kejaksaan Agung yang memiliki tanggung jawab dan wewenang dapat menjelaskan terkait penyebab kasus Wasior dan Wamena masih tarik ulur dan tidak dibawa ke Pengadilan Hak Asasi Manusia di Makassar.
"Untuk itu, kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo segera memberikan memo kepada Kejaksaan Agung di Jakarta agar segera melimpahkan berkas kasus Wasior dan Wamena ke pengadilan HAM," ujar Rumkabu.
Korban juga meminta untuk setop teror dan intimidasi dalam bentuk apapun terhadap para saksi korban baik yang ada di Wasior maupun Enarotali Paniai.
"Kami menolak tegas, pengadilan HAM kasus Paniai bukan di Makassar. Harus digelar di Papua, dan tersangka wajib dihadirkan sesuai BAP Komnas HAM RI Jakarta. Jika tidak memenuhi sikap kami, maka korban dan keluarga didampingi oleh Tim Kuasa hukum tetap mempersoalkan dan mencari peluang di forum-forum Internasional," ujar Rumkabu.