Euforia New Normal, Buru-buru Buka Bisnis

Jakarta, IDN Times – Pandemik COVID-19 di Indonesia masih terus berlangsung dengan angka kasus yang fluktuatif tiap harinya. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan kurang lebih tiga bulan di sejumlah wilayah tapi belum terlihat adanya perkembangan baik yang signifikan.
Namun, di saat yang sama, hidup harus terus berjalan karena berbagai pembatasan telah membuat ekonomi terpuruk. Untuk itu, pemerintah mulai bersiap memasuki transisi menuju new normal.
Di saat Jakarta memperpanjang PSBB dengan istilah PSBB transisi, Jawa Barat, mulai memasuki masa transisi new normal dengan istilah lain. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memilih istilah Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB).
Topik ini dibedah dalam webinar yang digelar IDN Times dalam rangkaian perayaan hari jadinya yang ke-6. Selama enam hari berturut-turut, IDN Times menggelar webinar terkait berbagai aspek dalam new normal. Mengawali estafetnya, webinar IDN Times membahas kemungkinan 'The Great Reset' atau pengaturan ulang secara besar-besaran di dunia usaha dan cara Jawa Barat menjawab tantangan normal baru.
“Tidak hanya sekadar new normal--yang mungkin di Indonesia belum sepenuhnya siap kita lakukan. Tetapi sesudah pandemik itu, paradigma apa yang harus diubah di semua bidang,” kata Pemred IDN Times Uni Lubis yang memandu webinar by IDN Times bertajuk ‘The Great Reset: Life After Pandemic COVID-19’, Senin (8/6).
Webinar tersebut menghadirkan CEO IDN Media Winston Utomo, Gubernur Jabar Ridwan Kamil, Ketua Apindo Shinta Kamdani, dan Sosiolog Nanyang Technological University Singapore Prof Sulfikar Amir.
1. Beradaptasi dengan cepat atau keras kepala dan menjadi sejarah
Banyak pertanyaan yang datang kepada pria kelahiran Surabaya itu tentang kapan akan berakhirnya virus corona. Menjawab pertanyaan tersebut, Winston Utomo memaparkan kegelisahan yang terjadi di dunia usaha, termasuk industri media yang ia geluti.
“Saya tidak melihat dalam waktu dekat dapat totally 100 persen tidak ada khawatir sama sekali. Pendapat kita, virus corona bakal selesai sampai vaksin itu ditemukan. Which is, mungkin quarter pertama tahun depan, artinya satu tahun kita hidup berdampingan atau harus berjuang melawan virus corona,” kata Winston.
Menurut Winston, pandemik ini memiliki tiga dampak yang dirasakan langsung pada dunia usaha. Pertama dampak kesehatan, psikologis, dan dampak ekonomi. Dari tiga faktor itu tidak dimungkiri jika dampak ekonomi yang sangat dirasakan dalam dunia usaha.
“Dari banyak faktor, banyak orang kehilangan pekerjaan, banyak industri mengalami slowing down, bahkan hingga industri yang harus guling tikar,” ujarnya.
Meski demikian, Winston memiliki pandangan yang berbeda dalam mengantisipasi dampak tersebut. Menurutnya, yang harus diperhatikan bukan soal orang yang kehilangan pekerjaan sekarang, tetapi juga untuk generasi penerusnya.
“Misal sekarang ada orang tua yang kehilangan pekerjaan, sekarang lagi musim daftar sekolah ia terpaksa harus berhenti atau putus sekolah. Jadi, itu mungkin kita bisa bersama-sama harus berpikir bagaimana cara mengatasi ini,” ujarnya.
Terkait dengan efek virus corona terhadap kehidupan sehari-hari, kata Winston menyebut hal itu juga pasti akan mengubah pola hidup, atau yang disebut sebagai new normal.
“Kita sudah tiga bulan di rumah otomatis cepat atau lambat kita mengalami perubahan, dimulai kita sering mengonsumsi konten online, artikel online, atau memesan makanan secara online. Kalau ditanya apakah ini akan kembali ke normal seperti sebelum adanya virus corona menurut saya tidak mungkin. Ini yang disebut new normal, the great reset,” jelasnya.
“Over all, dengan adanya virus corona kita bisa menciptakan semua aspek. Artinya siapa yang mampu beradaptasi dengan cepat akan menjadi yang terdepan. Siapa yang keras kepala akan menjadi sejarah,” tegas Winston.
2. Berinovasi di tengah pandemik jadi tantangan bagi Jabar
Menjawab sejumlah permasalahan dalam menghadapi pandemik, Gubernur Ridwan Kamil mengatakan Jabar telah menjadi daerah COVID-19 yang terkendali. Sebab, angka reproduksi COVID-19 selama satu bulan di bawah satu persen atau tepatnya 0,72. Angka tersebut menempatkan Jabar di posisi keempat provinsi dengan kasus terendah.
“Maka masuklah kita ke new normal. Cuma saya survei di masyarakat awam new normal ini terlalu elite, maka Jawa Barat ambil istilah berbeda, AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru),” kata Kang Emil, sapaan akrabnya.
Menyambut AKB ini, sama seperti Jakarta yang mulai melonggarkan PSBB, Jabar juga akan memulainya dengan terlebih dulu membuka rumah ibadah disusul dengan membuka perkantoran dengan alasan memiliki risiko yang kecil untuk penularan COVID-19.
“Ketiga kita buka mal, retail, pertokoan. Keempat, pariwisata, dan terakhir pendidikan,” ujar Kang Emil.
Lalu bagaimana usaha Kang Emil dalam menangani COVID-19 di wilayahnya?
Dalam menangani COVID-19 ini, Kang Emil menggunakan tiga cara dengan bercermin kepada Korea Selatan yang memiliki jumlah penduduk hampir sama dengan Jawa Barat.
“Satu pencegahan, pelacakan dan testing, dan perawatan. Persamaan saya dan Presiden Korsel adalah sama-sama mengurusi 50 juta manusia, bedanya duit saya cuma satu persen dari duitnya Presiden Korsel. Jadi Gubernur Jabar lebih repot karna harus menyelamatkan 50 juta orang,” kata kang Emil.
Saat ini, kata Kang Emil, Jabar masih menargetkan 300.000 rapid test agar segera menemukan peta sebaran di Jabar. “Saya mengikuti standar Korsel di mana mereka punya 50 juta orang dites, 300.000 ketemu peta, kita juga sama, baru kekejar 180.000,” ujarnya.
Selama menangani COVID-19, Kang Emil selalu berusaha proaktif seperti belanja alat kesehatan sendiri ke Korea Selatan agar tidak menunggu waktu yang berakibat penyebaran COVID-19 yang makin meluas. Jabar, kata Kang Emil, juga berhasil berdiri di kaki sendiri (berdikari) dengan menciptakan alat kesehatan sendiri.
Mantan Wali Kota Bandung ini terus melakukan inovasi di berbagai bidang agar dapat membuat stabil Jawa Barat sembari transisi ke masa AKB. Jabar kata kang Emil telah terbukti mampu menciptakan alat kesehatan hingga APD sendiri.
“Ventilator buat sendiri, PCR buat sendiri, rapid test buat sendiri. Lebih dari 17 negara ikut membantu Jabar hasil lobi-lobi saya dan tim,” ujar Kang Emil.
Menyoal AKB di wilayahnya, Kang Emil menilai, pascapandemik COVID-19 ini, orang-orang akan lebih hati-hati untuk makan. Sedangkan bidang industri, Indonesia nantinya bisa terjun ke dunia alat kesehatan.
“Di sisi industri ada pergeseran, khususnya di Indonesia fokus pada industri kesehatan. Ventilator kita impor 1 juta tapi kita bikin 20 juta, bikinan PT Pindad itu bisa walau pun gak mewah,” ujarnya.
Masuk ke sisi ekonomi yang paling kuat menurutnya adalah e-commerce, di mana orang-orang akan pindah dari etalase warung ke digital. “Orang lari ke Toped (Tokopedia), Bukalapak, itu mengingatkan kami usai COVID-19 ini untuk memperkuat di desa,” kata kang Emil.
Dia pun berbagi cerita salah satu prestasi Jabar yang pada minggu lalu program digital desanya menang di Smart City Pacific Awards. Jabar berhasil memanfaatkan teknologi di berbagai bidang perekonomian tradisional.
“Ngasih makan ikan pakai HP, ngasih pupuk pakai drone. Jadi saya punya misi wahai millenials, kembalilah ke desa tapi gunakan 4.0. Dengan begitu kamu tinggal di desa rezeki kota dan bisnisnya mendunia,” ujar Kang Emil.
3. Jabar target pertumbuhan ekonomi lima persen usai pandemik

Kini, bukan lagi saatnya bagi Jabar hanya fokus pada dimensi kesehatan. Kang Emil mengatakan, ekonomi Jabar harus mendapat perhatian lebih.
“Awal-awal kami mengira COVID-19 ini hanya darurat kesehatan tapi setelah tiga bulan, COVID-19 ini adalah 50 persen darurat kesehatan, 50 persen darurat ekonomi. Sebagai kepala daerah yang tadinya saya di garis depan melawan COVID-19, tiba-tiba harus balik kanan membereskan dapur ekonomi yang berantakan,” ujar kang Emil.
Sebelum COVID-19, orang yang disubsidi di Jabar ada 25 persen dari total 50 juta warganya. Setelah COVID-19, karena PHK, yang minta disubsidi naik 63 persen atau 38 juta orang.
“Bayangkan saya modal satu persen dari duitnya Presiden Korea Selatan, harus menghidupi 38 juta orang dari 50 juta yang minta subsidi, jadi sangat-sangat berat,” ujarnya.
Kang Emil lantas menyinggung soal kebijakan yang diambilnya. Menurutnya, keputusan untuk menerapkan AKB tidak mudah, seolah semua ada teorinya dan mudah dilakukan.
“Coba Anda-Anda ada di posisi kami, yang kami harus memperhatikan banyak dimensi kesehatan, psikologi, ekonomi, gak ada contohnya jadi semua taking a risk,” ujar kang Emil.
Seorang pemimpin kata dia, harus ambil risiko. Namun demikian, bedanya dengan Jabar, mitigasi risiko itu dengan input keilmuan.
“Kenapa saya PSBB duluan, karena ilmuwan mengatakan mayoritas kumpulnya virus di situ. Maka saya perintahkan Pak Bima Arya, dan Walkot Bekasi kalau PSBB harus ikut Jakarta, karena 1 klaster saya bedakan dengan Tasik dan Garut karena tidak ada korelasinya,” ujar Kang Emil.
Ada yang unik dengan Jabar dalam menerapkan AKB atau new normal. Sebab, menurut Kang Emil ini tidak seperti menerapkan AKB di kota-kota besar seperti Bandung, Depok, dan Bogor.
“Jabar yang memiliki 5.000 desa maka memperlakukan new normal di desa, PSBB-nya desa kami tidak bisa disamakan dengan PSBB-nya kota dan sebagainya,” ujarnya.
Selain angka reproduksi COVID-19 yang di bawah satu persen selama satu bulan, masalah ekonomi juga menjadi pertimbangan Ridwan Kamil membuka pusat perekonomian Jabar.
“Akhir Desember, kita di bawah 0 dan untuk kembali ke normal garis hijau itu mungkin tidak akan terjadi lagi karena kehancurannya terlalu parah. Nah dengan saya mengambil risiko melakukan AKB atau new normal, kita di garis merah supaya akhir Desember tetap ada aktivitas ekonomi sehingga kita tidak minus,” ujar kang Emil.
“Nanti 2021 ada spending, orang traveling, kita mungkin ke 9 persen di dua, tiga tahun lagi kembali normal ke garis hijau 5 persen. Inilah strategi Jabar bahwa saya ambil risiko sambil ngurus COVID-19, ngurus ekonomi juga,” sambungnya.
Atas dasar itu, Ridwan Kamil dalam minggu ini kembali membuka industri di zona biru. Seperti Bekasi, Karawang, dan Bandung namun tetap dengan memberlakukan social distancing.
“Alhamdulilah, indeks reproduksinya di bawah satu, ekonominya jangan di bawah 0 persen. Mudah-mudahan rumus yang akrobat ini akan membuahkan hasil, apakah akan sukses, wallahualam. Saya tidak bisa prediksi. Tapi ukuran ilmu, kayaknya kita Jabar ini in control begitu,” ujar Ridwan Kamil.
4. Pandemik COVID-19 jadi peluang besar bagi e-commerce

Mengamini pandangan Kang Emil, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan sejumlah perusahaan e-commerce di Tanah Air memang naik daun akibat pandemik COVID-19 ini. Berbeda dengan industri lainnya, sektor usaha ini banyak dibutuhkan masyarakat karena bisa melakukan berbagai macam transaksi untuk kebutuhan mereka hanya melalui aplikasi.
Hal tersebut tentunya sesuai dengan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah untuk menghindari kerumunan orang di satu tempat, seperti belanja kebutuhan rumah tangga dan lain sebagainya. “E-commerce justru naik daun sekarang dengan adanya Tokopedia, Shopee justru doing very well,” kata Shinta.
Selain e-commerce, lanjut dia, bisnis kesehatan juga tumbuh subur di era pandemik ini. Misalnya produksi alat kesehatan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan pihak Rumah Sakit.
“Dari segi bisnis kesehatan, alat kesehatan jadi bisnis yang sangat cukup visibel. Dan juga disatukan dengan hal-hal kesehatan lainnya. Tapi dari tatanan new normal mungkin pada saat ini kita mesti melihat dari segi ekonomi, kebutuhan atau riset kebijakan sangat penting,” tuturnya.
Shinta menjelaskan, sektor usaha lain seperti perhotelan adalah yang paling terdampak akibat pandemik ini. Para pengusaha hotel harus sabar karena bisnis ini membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk bisa bangkit kembali.
“Contohnya saya yang bisnis hotel, untuk bangkit akan sangat sulit sekali atau mungkin butuh lebih satu tahun. Siapa yang mau turis asing mau datang, turis domestik aja mikir-mikir,” ujarnya.
Shinta lantas memaparkan, ada tiga cara yang harus dilakukan pengusaha untuk bisa bangkit dari keterpurukan di era new normal atau normal baru. Pertama, mereka harus mengubah pola bisnis yang sebelumnya dilakukan, mengingat kebiasaan masyarakat banyak berubah saat pandemik COVID-19 ini terjadi pada bulan maret lalu.
“Kita gak bisa liat business as usual, kondisi pademik ini agilitas dalam bekerja sangat dibutuhkan. Jadi dengan tingkat uncertainty yang tinggi sangat penting bagi pengusaha dan pekerja untuk cepat menghadapi perubahan, inovatif ini kuncinya,” kata Shinta.
Dengan agilitas yang tinggi, lanjut dia, perusahaan didorong untuk lebih fleksibel dan cepat untuk mengambil keputusan strategis. Misalnya penerapan jam kerja bagi karyawan di era normal baru ini.
“Contoh yang kecil seperti fleksibel working hours yang selama ini mengatakan sulit banget diterapkan untuk pekerja-pekerja kita. Tapi kita gak punya pilihan, kita juga akan mulai work from home yang mungkin selama ini akan sulit untuk bisa kita adopsi. Saat ini saya rasa penting,” ujarnya.
Kedua, pengusaha harus bisa mengubah pelayanan dengan basis teknologi di era normal baru ini. Sebab, perilaku konsumen banyak bergeser ke arah tersebut selama pandemik ini terjadi.
“Jadi saat ini masyarakat lebih aware terhadap kesehatan, lebih adaptif dengan digital. Jadi ini operasi bisnisnya harus didorong ke arah situ,” jelasnya.
Ketiga, komunikasi dengan pemerintah menjadi sangat penting dalam hal ini. Pemerintah harus melakukan riset terkait pertumbuhan ekonomi dan persaingan agar seluruh pelaku usaha bisa menjadi lebih kompetitif lagi.
“Terakhir komunikasi, bagaimana pun juga kita perlu berkomunikasi dengan clear dan efektif. Ini saya rasa dengan jalur yang ada pada saat ini kita harus punya, harus bisa membangun kepercayaan dengan semua pemangku kebijakan,” tuturnya.
Namun demikian, selain restrukturisasi kredit yang diberikan pemerintah, kata Shinta, saat ini pengusaha juga membutuhkan bantuan dari segi operasional untuk kembali membuka usahanya.
Shinta menuturkan, permintaan pasar dalam dan luar negeri mengalami penurunan secara signifikan. Baik itu dari sektor usaha bawah, menengah, hingga atas. Untuk nilai ekspor, kapasitasnya penurunannya bisa mencapai 70 persen. Bahkan, Industri besar seperti otomotif yang mampu melakukan ekspor hingga 1.100 unit, saat ini hanya mampu mencapai 600 unit saja per bulan.
“Ini harus jadi perhatian bahwa stimulus dan intensif yang kita butuhkan dari pemerintah itu bukan hanya merekstrukturisasi kredit. Kita perlu bantuan dari segi stimulus operating. Baik itu dari isu energi, ketenagakerjaan, semua cost tapi juga recovery of ekonominya,” kata Shinta
Selain itu, untuk meningkatkan ekonomi di dalam negeri, pemerintah juga harus memastikan daya beli masyarakat dapat bergeliat untuk mendukung sektor usaha agar dapat kembali bergerak dan pendapat negara kembali meningkat.
"Dan kalau pun di luar negeri, kita juga harus pastikan produk-produk Indonesia menjadi yang awal bisa diambil oleh konsumen,” ujarnya.
Oleh sebab itu, pemerintah harus bisa melangkah lebih jauh terkait persiapan restrukturisasi ekonomi menuju era new normal atau normal baru ini. Persaingan yang ketat antar negara menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk kedepannya.
"Ini yang saya rasa harus menjadi perhatian, bahwa kesiapan tidak hanya dari kita masing-masing, tapi juga dari banyak dukungan pemerintah,” katanya menegaskan.
Lebih lanjut Shinta menjelaskan, masyarakat terpaksa harus hidup berdampingan dengan virus corona di era new normal atau normal baru ini. Oleh sebab itu, mitigasi risiko menjadi sangat penting bagi pelaku usaha agar tidak menimbulkan gelombang baru penyebaran virus bagi para tenaga kerja yang telah kembali beraktivitas seperti biasanya.
Menurut Shinta, konsekuensi itu perlu diambil pemerintah agar tidak terjadi dampak krisis ekonomi berkepanjangan yang dapat menimbulkan tingginya gelombang angka pengangguran.
"Kembali lagi untuk memitigasi, kita harus punya yang namanya protokol kesehatan. Paling tidak dengan harapan kita bisa lebih disiplin dan masing-masing industri bisa punya tanggung jawab melaksanakan hal tersebut, kita bisa meminimalkan,” kata Shinta.
Shinta menegaskan, saat ini Indonesia harus bangkit dan menang melawan pandemik ini, baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi. Oleh sebab itu masyarakat harus bisa beradaptasi di masa transisi normal baru dengan kembali beraktivitas serta mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah.
“Kalau kita seperti Singapura gak masalah dia (usahanya) tutup terus karena semua dikasih. Sama seperti Amerika dikasih stimulus uang cash semua, even semua industri dikasih langsung cash money, (sektor usaha) besar, kecil menengah semua dikasih,” ujarnya.
Oleh karena itu, sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi saat ini, dengan tetap mengedepankan aspek keselamatan bagi setiap pekerja yang telah memulai kembali kegiatannya di lapangan.
“Kita mulai buka itu gak langsung 100 persen, perlahan dan bertahap dan kita akan evaluasi terus dengan kata lain apa yang jalan dan apa yang tidak jalan. Ini ada proses yang harus kita lalui,” tuturnya.
5. Apakah Indonesia memaksakan diri untuk masuk new normal?

Di sisi lain, Sosiolog Nanyang Technological University Singapore Profesor Sulfikar Amir menilai, Indonesia saat ini memaksakan diri masuk tahap new normal atau normal baru dalam menghadapi pandemik virus corona atau COVID-19. Padahal, kondisi pandemik masih gawat dan mengkhawatirkan.
Sulfikar mengatakan berdasarkan ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menuju new nornal harus memiliki berbagau syarat, mulai high testing rate, tight biosurveillance, solid contact tracing, sufficient hospital capacity, hingga high risk perception. Sedangkan, untuk masuk ke kondisi normal salah satu syarat yang harus dipenuhi, yakni memiliki persepsi risiko yang cukup baik.
"Ada beberapa yang terjadi tidak terlalu memenuhi syarat untuk masyarakat siap memasuki new normal aja," ujar dia.
Sulfikar menjelaskan tujuan new normal adalah untuk menekan supaya transmisi tidak melewati kapasitas rumah sakit, dan di situlah fungsi intervensi sosial. Bicara transmisi yang rendah, dia menyebut dua aspek yang harus dilakukan agar new normal bisa menjadi kenyataan.
Pertama, social distancing yang sudah dianjurkan pemerintah, dan di sisi lain juga ada kesadaran perilaku individu. "Jadi dua faktor ini saling berpengaruh pada transmisi," kata dia.
Berdasarkan hasil survei laporcovid19 yang berkolaborasi dengan Nanyang Technological University Singapore, sejak 29 Mei hingga 2 Juni 2020 dengan 3.160 responden, warga DKI Jakarta menunjukkan belum siap memasuki new normal.
Zulfikar menyebutkan ada enam variabel dalam survei tersebut, yakni persepsi risiko, pengetahuan, informasi, perlindungan diri, modal sosial, dan ekonomi.
"Setelah menganalisis data responden didapatkan angka 3,46. Artinya belum siap memasuki new normal. Angka 3,46 berada di antara wilayah ada rendah dan ada tinggi, masih jauh di kondisi yang ideal yang angkanya di antara 4 dan 5. Jadi kalau mempertanyakan, apakah warga DKI siap, jawabannya adalah kurang," ungkap dia.
Sulfikar mengatakan jika dipaksa new normal seperti membuka kembali kegiatan ekonomi, sekolah, dan perkantoran pada saat persepsi risiko masih rendah, ditakutkan akan muncul transmisi langsung.
"Jadi kesimpulannya kita tidak hanya membutuhkan data yang sifatnya epidemiologi saja, tetapi juga yang sifatnya sosial, untuk mengetahui bagaimana masyarakat mempersepsi realitas di sekelilingnya. Sehingga mereka bisa dengan situasi yang ada secara normal," ujar dia.
Lebih lanjut, Sulfikar menjelaskan, sistem politik Indonesia yang desentralisasi membuat pemerintah daerah bisa mengambil kebijakan new normal sendiri, sebab kebijakan normal baru sebaiknya di tangan pemda.
"Kebijakan new normal jangan secara nasional, tetapi disesuaikan dengan daerah masing-masing. New normal ini wacana level daerah karena kondisinya kan beragam, misalkan Jabar, Jakarta, dan Jatim," ujar dia.
Meski demikian, Sulfikar menilai Indonesia mempunyai dua keuntungan dibanding negara lain saat pandemik COVID-19 menyerang. "Indonesia mempunyai dua keuntungan yakni sistem politik yang desentralisasi dan negara kepulauan," ujar Sulfikar.
Lebih lanjut, Sulfikar menjelaskan sistem politik Indonesia yang desentralisasi membuat pemerintah daerah bisa mengambil kebijakan new normal sendiri.
"Kebijakan new normal jangan secara nasional tetapi disesuaikan dengan daerah masing-masing, new normal ini wacana level daerah karena kondisinya kan beragam misalkan Jabar, Jakarta, dan Jatim," ujarnya.
Sulfikar mengatakan new normal, biar ditentukan oleh Pemda setempat, sedangkan pemerintah pusat memberikan support yang cukup. "Biarlah Pemda yang memitigasi, namun pemerintah pusat harus memfasilitasi infrastruktur kesehatan, alat tes, dan beberapa perlengkapan lain," imbuhnya.
Sulfikar juga menyarankan jika pemerintah ingin membangkitkan ekonomi, sebaiknya yang kali pertama dibuka bukan hal yang bersifat konsumtif tetapi produktif misalkan pabrik, daripada mal.
"Jadi bukan mal dulu yang diprioritaskan dibuka lagi. Apalagi mal itu tingkat presentasi penyebaran virus lebih tinggi yakni sekitar 30 persen, sebab tertutup dan ber-AC," terangnya.
Kendati demikian, Sulfikar menilai saat ini belum waktunya Indonesia new normal sebab tingkat penularan virus COVIF-19 masih tinggi.
"Saya sangat setuju ekonomi digairahkan tidak bisa dibiarkan turun kolaps, cuman kita bicara pandemik ini masih berada di tingkat sangat mengkhawatirkan dan Indonesia belum dikatakan new normal," tegasnya.
Selain sistem politik, Sulfikar menambahkan kondisi negara kepulauan yang artinya banyak daerah di Indonesia yang dipisahkan laut bisa dimanfaatkan untuk mengisolasi daerah yang relatif aman.
"Indonesia berbeda dengan negara Eropa, Amerika Serikat, yang kasus peningkatan cepat, Indonesia secara nasional naik tetapi lambat karena bentuknya negara kepulauan," katanya.