Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Perkawinan Anak Disebut Sebagai Kekerasan, Ini Berbagai Risikonya

Ilustrasi balita (ANTARA FOTO/Auliya Rahman)
Intinya sih...
  • Perkawinan anak di bawah usia 19 tahun dianggap tindak kekerasan, dengan risiko kesehatan dan kesejahteraan yang mengancam masa depan. Kehamilan remaja memiliki risiko morbiditas tinggi, seperti preeklamsia, kematian dalam persalinan, depresi pasca-melahirkan, dan gangguan jiwa. Kehamilan dan persalinan di usia anak juga berisiko biologis, psikologis, dan sosial seperti stunting, kesulitan proses melahirkan, putus sekolah hingga pengucilan masyarakat.

Jakarta, IDN Times - Perwakilan Yayasan Kesehatan Perempuan, Nanda Dwinta Sari, menjelaskan perkawinan anak adalah suatu tindak kekerasan, mengingat banyak risiko yang menimpa anak jika menikah dan hamil di usia muda.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, tentang perubahan atas Undang-Undang Perkawinan juga menegaskan, perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai usia 19 tahun. 

Perlu diketahui, dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Meski sudah ada payung hukumnya dispensasi menikah yang meningkat dari 23.100 pada 2019 menjadi 50.673 pada 2022. 

“Maka perkawinan anak ini bentuk kekerasan yang komplet, fisik, seksual mental dan sosial, karena anak tidak dapat menikmati kesehatan dan kesejahteraannya, sehingga dapat mengancam masa depannya,” kata dia dalam webinar Bahaya Perkawinan Anak dan Perkawinan Anak menurut UU TPKS, Rabu (17/7/2024).

1. Risiko morbiditas dibandingkan kehamilan pada usia 20-35 tahun

Perwakilan Yayasan Kesehatan Perempuan Nanda Dwinta Sari dalam Webinar: Bahaya Perkawinan Anak dan Perkawinan Anak menurut UU TPKS, Rabu (17/7/2024).

Nanda menjelaskan, anak yang kawin dan hamil punya risiko morbiditas dibandingkan kehamilan pada reproduksi sehat, yakni usia 20-35 tahun.

Dari data yang dirangkum lembaganya, Nanda menyebut, kehamilan remaja tiga kali lebih berisiko, dua sampai lima kali berpotensi preeklamsia dalam kehamilan, tiga hingga tujuh kali kematian dalam kehamilan dan persalinan.

Kemudian, dua hingga enam kali kerusakan jalan lahir pasca-persalinan, dan satu hingga dua dari empat kehamilan remaja mengalami depresi pasca-melahirkan.

2. Risiko biologis anak stunting hingga kematian ibu dan bayi

Ilustrasi pemeriksaan anak di posyandu (ANTARA FOTO/Jessica Wuysang)

Kehamilan dan persalinan di usia anak juga punya risiko biologis, seperti keguguran, kematian ibu dan bayi, infeksi menular seksual, kesulitan proses melahirkan atau pendarahan bayi lahir dengan berat badan rendah atau BLBR, bayi prematur, hingga bayi kurang gizi, dan pertumbuhan terganggu hingga menjadi stunting.

“Kalau si anak yang hamil tidak punya pengetahuan saat hamil tidak memastikan, atau tidak melengkapi kebutuhan asupan gizinya, maka dia punya potensi risiko, itu sayangnya tidak semua anak yang hamil itu punya pengetahuan kesehatan reproduksi tadi,” kata Nanda.

3. Risiko psikologis hingga depresi dan psikososial

Kegiatan di Posyandu. (bangkatengahkab.go.id)

Ada juga risiko psikologis yang bisa membuat anak mengalami gangguan jiwa, berpotensi menelantarkan bayi karena belum siap menjadi orang tua, atau mengambil jalur aborsi yang tidak aman.

Dari sisi psikososial, kehamilan dan persalinan anak juga berpotensi membuat mereka putus sekolah, membuat malu keluarga, hingga dikucilkan masyarakat dan risiko sulit mendapat kesempatan kerja.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Lia Hutasoit
EditorLia Hutasoit
Follow Us