Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Rencana Hapus Sertifikat Lahan yang Kena Abrasi Potensi Konflik Hukum

Sejumlah nelayan membongkar pagar laut yang terpasang di kawasan pesisir Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, Sabtu (18/1/2025). (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
Intinya sih...
  • Menteri ATR akan tinjau ulang status sertifikat lahan yang terkena abrasi laut
  • Jika abrasi permanen, Kementerian ATR/BPN akan membatalkan status kepemilikan tanah tersebut
  • Pakar Hukum Agraria UGM menilai pemberian hak atas tanah di wilayah perairan masih diperbolehkan

Jakarta, IDN Times - Pakar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM), Nur Hasan Ismail menilai rencana Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menghanguskan sertifikat lahan yang terkena abrasi laut, berpotensi melahirkan konflik hukum. 

Kebijakan itu juga berpotensi mengancam sejumlah tambak milik warga di pesisir yang rentan terkena abrasi. Misalnya, ada tambak yang lahannya cukup luas, tiba-tiba harus musnah terkena abrasi laut. Lahan serta haknya juga terhapus dalam sekejap, karena abrasi. 

Kemudian muncul PP No 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Beleid ini menghidupkan kembali hak prioritas kepada pemilik lahan yang terkena abrasi. 

"Kalau pemiliknya mau menggunakan, ya enggak apa-apa. Artinya, sertifikatnya tetap hidup. Tapi sudah tertutup air, ya enggak apa-apa. Lha wong boleh kok. Nah, kalau dibatalkan tanpa ada pemberian hak prioritas itu ya pasti konflik," kata dia dalam keterangannya, dikutip Minggu (2/2/2025). 

1. Dihapusnya sertifikat lahan berisiko tinggi

Pagar laut di Bekasi. (IDN Times/Imam Faishal)

Ia pun menyampaikan, jika terjadi kesalahan dalam memutuskan status lahan, maka risikonya cukup berat. 

"Iya kalau tidak diberikan hak prioritas kepada pemilik, ya pasti akan konflik. Bisa muncul gugatan ke pengadilan tata usaha negara. Saya kira, tinggal faktanya seperti apa. Aturan hukumnya seperti apa, ikuti saja itu," ujar Hasan. 

2. Menteri ATR akan tinjau ulang status sertifikat

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala BPN, Nusron Wahid di Istana Kepresidenan. (Dokumentasi Kementerian ATR)

Sebelumnya, Menteri ATR/Kepala BPN, Nusron Wahid, menyebut sertifikat tanah yang terkena abrasi laut, akan ditinjau ulang status sertifikatnya. 

"Bergantung abrasinya itu bersifat permanen atau temporer," kata Nusron di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (30/1/2025).

Jika tanah atau daratan yang terkena abrasi sifatnya permanen, dijelaskan Nusron, maka Kementerian ATR/BPN akan membatalkan status kepemilikan tersebut. Demikian pula sebaliknya. 

"Kalau bersifat karena banjir sementara, ya itu kan temporer. Tapi kalau itu abrasinya permanen, ya itu kami batalkan (SHM)," ujarnya.

Nusron menjelaskan, alasan pembatalan SHM, mengingat fakta material tanah atau lahan daratan, sudah hilang terkena abrasi air laut. 

"Kayak banjir jalan, sawah tenggelam kemudian hilang airnya, ya itu masih bisa," jelas Nusron.

3. Regulasi yang belum jelas jadi sorotan

TNI Angkatan Laut (AL) bersama masyarakat ketika membongkar pagar laut di perairan Tangerang. (Dokumentasi TNI AL)

Sementara, Pakar Hukum Agraria dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Rikardo Simarmata, menilai ada kekeliruan bila menganggap pemberian hak atas tanah di wilayah perairan tidak diperbolehkan. 

Regulasi pertanahan mengizinkan pemberian hak atas tanah di perairan sepanjang ada penggunaan di bawah air. Misalnya untuk pembangunan pelabuhan, hotel, atau fasilitas lainnya. Mengingat saat ini belum ada regulasi yang secara jelas melarang atau mengizinkan hal tersebut.

"Namun, regulasi di sektor kelautan belum secara jelas melarang atau mengizinkan. Dan kemunculan pagar laut ini masih misterius untuk apa," kata Rikardo.

Dia menyatakan, kasus pagar laut yang terungkap belakangan ini, perlu ditelaah lebih jauh. Khususnya dari sisi legalitas, terutama terkait izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Jika pagar dipasang tanpa KKPRL, maka ilegal. Demikian pula sebaliknya.

"Yang menjadi perhatian adalah bagaimana izin tersebut diperoleh, apakah melalui prosedur yang benar dan apakah dampaknya terhadap akses nelayan telah diperhitungkan," jelasnya.

Dia menyayangkan jika masalah pagar laut ditarik ke ranah politik. Masalahnya bakal semakin keruh, sementara rakyat kecil sebagai pemilik lahan harus kehilangan haknya. Selain bisa bisa memicu konflik agraria. 

"Jangan sampai kasus ini justru ditarik ke ranah politik. Mari kita sikapi dengan mematuhi regulasi yang ada, baik dari segi pertanahan, tata ruang, maupun perlindungan nelayan," tuturnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Satria Permana
Yosafat Diva Bayu Wisesa
Satria Permana
EditorSatria Permana
Follow Us