SETARA Institute: Jokowi Pura-pura Tanggung Jawab soal Pelanggaran HAM

Jakarta, IDN Times - Keputusan Presiden (Keppres) Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu menuai polemik. SETARA Institute merasa pembentukkan Tim ini oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo bukanlah cara mengambil tanggung jawab konstutisional dan kewajiban negara dalam menuntaskan pelanggaran HAM.
"Keppres ini bukanlah cara Jokowi mengambil tanggung jawab konstitusional dan kewajiban negara menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu, tetapi berpura-pura bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu," kata Ketua SETARA Institute, Hendardi dalam keterangannya, dilansir Jumat (23/9/2022).
1. Keppres ini dianggap pembakuan impunitas atas berbagai pelanggarah HAM

Jokowi mengatakan bahwa Keppres tersebut telah ditandatangani pada 16 Agustus 2022 dan umumkan saat Pidato Kenegaraan. Tetapi faktanya, menurut dia, Keppres tersebut sudah disahkan oleh Jokowi pada 26 Agustus 2022.
Kehadiran Keppres ini ditolak keras karena dianggap sebagai pembakuan impunitas atas berbagai pelanggarah HAM, mengubur kebenaran peristiwa dan putihkan sejumlah nama pelaku yang diduga sebagai aktor pelanggaran HAM berat.
"Keppres ini adalah pemutihan kolektif berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu sekaligus instrumen pembungkaman yang ditujukan untuk menghambat aspirasi korban dan publik dengan janji-janji rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa atau rekomendasi lain untuk kepentingan korban dan keluarganya," kata Hendardi.
2. Singgung syarat penyelesaian nonyudisial

Dispilin hukum hak asasi manusia atau praktik internasional terkait keadilan transisi atas pelanggaran HAM masa lalu, dianggap tak nampak dalam Keppres ini.
Karena syarat utama penyelesaian non yudisial haruslah didahului dengan upaya pengungkapan kebenaran, verifikasi visibilitas penyelesaian secara hukum, dan dengan kerja yang tidak terburu-buru. Dengan adanya Keppres tersebut, maka kasus-kasus pelanggaran HAM berat terbuka agar diselesaikan di luar jalur pengadilan.
"Hal ini dipastikan tidak akan mungkin terjadi dan tidak mungkin bisa dilakukan oleh Tim bentukan Jokowi ini," ujar Hendardi.
3. Selesaikan peristiwa pelanggaran HAM setelah tahun 2.000 lewat jalur yudisial

Penyelesaian peristiwa secara yudisial ini berdasarkan data dan rekomendasi Komnas HAM hingga tahun 2020 menunjukkan ketidakpatuhan Jokowi pada mandat UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memerintahkan bahwa peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelah UU tersebut diundangkan harus diselesaikan melalui pengadilan HAM permanen.
"Tidak ada ruang bagi bagi Komnas HAM maupun Jokowi untuk membelokkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM setelah tahun 2000, kecuali diselesaikan melalui pendekatan yudisial," kata Hendardi.
"Apalagi dengan sejumlah anggota Tim yang sangat erat hubungannya dengan peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia," lanjut Hendardi.
4. Basa basi penuntasan pelanggaran HAM pada tubuh pemerintahan Jokowi

Hendardi mengatakan, basa-basi penuntasan pelanggaran HAM sudah tergambar jelas pada tubuh pemerintahan Jokowi. Pelanggaran HAM di Paniai yang pada 21 September 2022 dimulai persidangannya di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan telah menjadi alarm serius bahwa politik penegakan HAM di Indonesia mengalami kebuntuan.
"Bagaimana mungkin, peristiwa pelanggaran HAM berat yang syarat utamanya adalah sistematis, meluas dan massif, tetapi hanya mampu menjerat 1 orang purnawirawan, yang juga hanya sebagai seorang penghubung di Kodim 1705/Paniai," katanya.