SETARA Institute Ungkap Alasan Perjanjian Maritim RI China Bisa Keliru

Jakarta, IDN Times - SETARA Institute buka suara soal kunjungan perdana presiden Prabowo Subianto ke China. Kunjungan ini dinilai menandai dimulainya hubungan mitra strategis dengan Tiongkok yang lebih jelas dan eksplisit.
Dalam pertemuannya dengan Presiden China, Xi Jinping, Prabowo melakukan penandatanganan nota kesepahaman meliputi pengembangan bersama di sektor perikanan, minyak, dan gas di wilayah maritim, juga kesepakatan mengenai keselamatan maritim serta pendalaman kerja sama di bidang ekonomi biru, sumber daya air serta mineral, serta mineral hijau.
Bara Maritim dan SETARA Institute menilai, langkah ini sebagai kebijakan yang keliru dan berisiko serius bagi Indonesia.
1. Penolakan Klaim Sepihak China

Merisa Dwi Juanita, Founder Bara Maritim & Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute bicara soal penolakan klaim sepihak China. Indonesia disebut Merisa tidak pernah mengakui klaim sepihak China atas peta 10 garis putus-putus (ten dash line) di Laut Cina Selatan yang diterbitkan pada 28 Agustus 2023 oleh Kementerian Sumber Daya Alam China.
"Klaim ini mencakup wilayah luas di Laut Cina Selatan, termasuk pulau, terumbu karang, dan zona maritim negara lain, serta mencaplok wilayah perairan Indonesia yang sah di sekitar Pulau Natuna," tulis Merisa dalam keterangan tertulis.
2. Kepatuhan terhadap UNCLOS 1982

SETARA Institute juga membahas soal Indonesia dan China merupakan negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Merisa mengatakan, klaim ruang laut Indonesia saat ini sepenuhnya didasarkan pada ketentuan UNCLOS 1982. Wilayah China disebut jauh melampaui 200 nm ZEE dan 350 nm landas kontinen sehingga dianggap Merisa tidak ada tumpang tindih klaim wilayah.
"Oleh karena itu, memulai kerja sama di wilayah yang menjadi klaim tumpang tindih tidak memiliki dasar yang kuat, terutama mengingat protes terhadap klaim Tiongkok yang konsisten dilakukan sejak tahun 1995 oleh Menlu Ali Alatas hingga Menlu Retno Marsudi pada periode 2019-2024," tulis Merisa.
Pernyataan bersama terkait klaim tumpang tindih pada wilayah maritim kedua negara dianggap SETARA Institute sebagai inkonsistensi yang serius.
3. Putusan Arbitrase Internasional 2016

SETARA Institute juga mengatakan, klaim China melalui ten dash line (sebelumnya nine dash line) telah terbantahkan Arbitrase Internasional pada 2016. Ini membuat hal tersebut tidak memiliki basis hukum yang sah.
"Penandatanganan nota kesepahaman oleh Presiden Prabowo dianggap sebagai tindakan yang mengakui klaim Tiongkok, padahal secara hukum internasional klaim tersebut tidak valid," tulis Merisa.
4. Pelanggaran oleh nelayan dan Coast Guard China

SETARA Institute juga menyoroti soal nelayan China dan para penjaga pantainya yang dianggap telah berulang kali melakukan penangkapan ikan ilegal (IUU Fishing).
Selain itu, mereka juga dianggap melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara secara agresif.
"Tindakan ini menyebabkan krisis berkepanjangan yang merugikan Indonesia, baik secara ekonomi maupun keselamatan para nelayan yang terlibat langsung," tulis Merisa.
5. Rekomendasi Bara Maritim dan SETARA Institute

Menanggapi seluruh permasalahan tersebut, Bara Maritim dan SETARA Institute memberikan sejumlah rekomendasi. Termasuk mendesak agar Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri ataupun Presiden Prabowo sendiri, segera mengeluarkan pernyataan resmi yang menegaskan kembali posisi Indonesia sesuai dengan UNCLOS 1982 dan putusan Arbitrase Internasional 2016.
"Selain itu, diperlukan penguatan potensi kelautan di wilayah yurisdiksi Indonesia serta peningkatan keamanan insani (human security) bagi para nelayan dengan penegakan hukum yang lebih tegas di wilayah zona krisis, termasuk peningkatan peralatan yang canggih di kapal-kapal Bakamla untuk menciptakan keamanan maritim di wilayah perairan Indonesia," tulis Merisa.