SETARA: Prajurit Bisa Jadi Backing Bisnis Bila UU TNI Direvisi

- Lembaga SETARA Institute menilai usulan revisi UU TNI akan memutarbalik reformasi militer ke era Orde Baru. Usulan menghapus larangan bagi prajurit TNI berbisnis dinilai memberi legitimasi aktivitas komersial dan berpotensi menjauhkan TNI dari profesionalitas. Pasal 47 ayat (2) yang hendak direvisi juga disorot, karena tidak lagi membatasi instansi sipil yang dapat dimasuki prajurit aktif TNI.
Jakarta, IDN Times - Lembaga SETARA Institute menilai usulan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI), terkait pasal-pasal yang kontroversial dinilai menjadi putar balik reformasi militer kembali ke era Orde Baru. Ada dua pasal yang menjadi sorotan publik dan diusulkan untuk direvisi.
Pertama, Pasal 39 mengenai larangan bagi prajurit TNI berbisnis yang diusulkan agar dihapus. Kedua, Pasal 47 yang membuka ruang lebih luas bagi prajurit aktif TNI duduk di instansi sipil.
"Usulan perubahan pada dua pasal tersebut berpotensi memutarbalikan arah reformasi militer, dan cita-cita amanat reformasi yang selama ini terus dirawat," ujar peneliti HAM dan Sektor Keagamaan, Ikhsan Yosarie, dikutip dalam keterangan tertulis, Selasa (16/7/2024).
Ikhsan menggarisbawahi usulan menghapus larangan bagi prajurit TNI berbisnis tidak pernah disampaikan sebelumnya. Namun, tiba-tiba usulan itu disampaikan Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI, Laksamana Muda Kresno Buntoro dalam acara dengar pendapat publik mengenai revisi UU TNI yang digelar pada 11 Juli 2024.
"Bila larangan itu dihapus, maka memberi legitimasi aktivitas komersial bagi prajurit TNI, dan potensi pemanfaatan aspek keprajuritan untuk hal-hal di luar pertahanan negara," kata dia.
1. Prajurit TNI berpotensi jadi pelindung entitas bisnis dan tak fokus ke isu pertahanan

Lebih lanjut, Ikhsan menjelaskan, keterlibatan prajurit TNI dalam usaha warung kelontong milik keluarga, tidak sama dengan larangan bisnis yang tercakup dalam Pasal 39 UU TNI. Sebab, dalam usaha kelontong itu tidak berdampak terhadap penggunaan atribut atau aspek keprajuritan lainnya seperti kewenangan komando.
"Hal itu berbeda konteks dengan yang ada di norma Pasal 39. Mencabut norma larangan berbisnis justru dapat berdampak terhadap keterlibatan dalam aktivitas bisnis yang lebih besar, dan menjauhkan TNI dari profesionalitas," ujar dia.
Bahkan, kata Ikhsan, usulan itu bila diakomodasi dalam pembahasan di parlemen, bisa menimbulkan praktik buruk kegiatan bisnis, seperti menjadi pelindung entitas bisnis.
"Justru yang dibutuhkan dalam perubahan Pasal 39 adalah memberikan ketentuan lebih rinci, mengenai definisi dan batasan bisnis yang dimaksud. Misalnya, diberikan keterangan penjelasan pasal tersebut bukan dengan menghapus larangan terlibat dalam kegiatan bisnis bagi TNI," katanya.
2. Pemberian ruang lebih luas bagi prajurit aktif TNI di instansi sipil bisa membahayakan

Pasal lain yang juga disoroti lantaran hendak direvisi adalah Pasal 47 ayat (2), yang tidak lagi membatasi secara spesifik instansi sipil yang dapat dimasuki prajurit aktif TNI. Perubahan yang diusulkan, kata Ikhsan, yaitu jumlah prajurit yang diusulkan disesuaikan dengan kebijakan presiden.
Selain itu, lanjut Ikhsan, juga tidak dijamin bahwa instansi sipil yang boleh diduduki prajurit aktif TNI hanya berlaku bagi kementerian atau lembaga yang berkaitan dengan pertahanan negara.
Ikhsan juga menyoroti isi naskah akademik yang semakin menegaskan kemunduran dwifungsi TNI. Dalam naskah akademik disebutkan penempatan prajurit TNI di instansi sipil tidak hanya sebatas yang tercantum dalam Pasal 47 ayat (2) UU TNI.
"Di dalam naskah akademik diharapkan para prajurit TNI dapat diperbantukan pada instansi sipil yang membutuhkan keahliannya. Sebab terdapat perkembangan kebutuhan SDM pada bidang-bidang tertentu," katanya.
Meskipun prajurit TNI tetap dilarang terlibat politik praktis, kata Ikhsan, tetapi perluasan jabatan sipil bagi prajurit TNI dapat membuka ruang terjadinya politik akomodasi bagi militer.
"Dampak jangka panjangnya bisa menimbulkan utang budi politik, karena semua ruang instansi sipil dibuka berdasarkan kebijakan presiden," tutur dia.
Presiden sendiri adalah sosok yang merupakan hasil politik kontestasi di pemilihan umum.
3. SETARA Institute dorong pembahasan RUU TNI sebaiknya ditunda

Lantaran terdapat sejumlah catatan, SETARA Institute mendorong parlemen agar menunda pembahasan RUU TNI.
"Sebaiknya TNI dan parlemen memperluas partisipasi bermakna dari publik, para pakar, akademisi, dan masyarakat sipil," kata Ikhsan.
Menurut Ikhsan, kepercayaan publik dan citra institusi TNI dipandang sangat tinggi. Sehingga, harus terus dirawat dengan melakukan penguatan agenda-agenda reformasi TNI. Sehingga TNI menjadi tentara yang kuat dan profesional di bidang pertahanan negara.