Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Guru Besar Unhan Cabut Gugatan UU Lama TNI, Sidang Tak Dilanjutkan

Sidang di MK (Tangkapan layar YouTube Mahkamah Konstitusi)
Intinya sih...
  • Kolonel Halkis mencabut gugatan UU TNI lama tahun 2004 di Mahkamah Konstitusi.
  • Sidang dipimpin oleh tiga hakim konstitusi dan berlangsung kurang dari 10 menit.
  • Gugatan tersebut mencakup empat poin tuntutan, termasuk larangan bagi prajurit TNI aktif untuk berbisnis.

Jakarta, IDN Times - Sidang gugatan Undang-Undang TNI lama tahun 2004 di Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya tidak berlanjut karena gugatan tersebut dicabut. Hal itu terungkap di sidang perdana MK yang beragendakan pemeriksaan pendahuluan pada Jumat (25/4/2025).

Sidang dipimpin oleh tiga hakim konstitusi yaitu Suhartoyo, Arief Hidayat dan Ridwan Mansyur. Sedangkan, penggugat Kolonel Sus Prof Dr. Drs Mhd Halkis MH dan dua kuasa hukumnya mengikuti persidangan secara daring. 

Sidang dimulai dengan proses konfirmasi surat pencabutan yang disampaikan oleh Halkis pada 16 Maret 2025 lalu.

"Sebelum sidang dimulai, kami dari majelis hakim mendapatkan surat untuk permohonan pencabutan perkara nomor 33/PUU-XXIII/2025 ini, oleh karena itu kami mohon konfirmasi, kepastian. Apakah betul ada pencabutan ini dari Prof Halkis atau kuasa hukum," ujar Suhartoyo selaku ketua hakim di persidangan pada siang tadi. 

Halkis pun membenarkan sudah mengajukan surat permohonan pencabutan gugatan. "Betul, Pak Hakim. Kami telah meminta bantuan kepada kuasa hukum kami untuk mencabut permohonan, karena sudah terjadi lost object," kata Halkis merespons pertanyaan Suhartoyo. 

Kuasa hukum Halkis, Izmi Waldani mengamini pernyataan kliennya itu. "Betul, majelis hakim apa yang disampaikan oleh pemohon, kami telah mengajukan (pencabutan gugatan) pada 16 Maret," ujar Izmi di sidang yang sama. 

1. Sidang pemeriksaan perkara tidak dilanjutkan

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Lebih lanjut, Suhartoyo mengatakan lantaran sudah ada permohonan pencabutan gugatan, maka persidangan untuk memeriksa perkara, dihentikan. "Bila demikian, kami tidak perlu melanjutkan pemeriksaan perkara ini. Kami akan laporkan ke rapat permusyawaratan hakim pada RPH," katanya. 

Sidang dengan durasi kurang dari 10 menit itu pun ditutup. 

2. Demokrasi akan mengalami kemunduran seandainya gugatan UU TNI dikabulkan

1.087 prajurit yang tergabung dalam Satgas Kontingen Garuda Unifil TA 2024 ketika disambut di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur. (Dokumentasi Puspen TNI)

Ketua Centra Initiative, Al Araf mengatakan ada empat poin tuntutan di dalam gugatan materiil kolonel TNI itu. Pertama, prajurit TNI aktif boleh dipilih dalam pemilu. Kedua, prajurit TNI aktif memiliki hak politik untuk memilih. 

"Ketiga, militer boleh berbisnis. Keempat, prajurit aktif boleh duduk di jabatan sipil," ujar Al Araf ketika menjawab pertanyaan IDN Times di dalam diskusi virtual pada Kamis kemarin.

Larangan bagi prajurit TNI aktif yang tertuang di dalam UU 2004 juga masih berlaku di dalam UU baru yang disahkan pada 20 Maret 2025. Dalam pandangan Al Araf, bila gugatan itu dikabulkan oleh hakim MK maka demokrasi akan mengalami kemunduran. 

"Draf judicial review yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi sudah berjalan. Bila MK mengabulkan gugatan ini, Indonesia jelas akan mengalami kemunduran karena militer bisa berbisnis dan terjun ke politik," tutur dia. 

3. Kolonel Halkis ingin TNI aktif dibolehkan berbisnis

Ilustrasi prajurit Kopassus TNI Angkatan Darat (AD) ketika berlatih untuk HUT TNI. (ANTARA FOTO/Fauzan)

Sementara dari dokumen gugatan yang dibaca, Kolonel Halkis sempat menggugat isi pasal 39 ayat (3) UU TNI yang melarang prajurit untuk berbisnis. Menurutnya, pasal 39 ayat 3 UU TNI itu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Dia mengatakan, di Amerika Serikat dan Jerman, prajurit justru boleh memiliki usaha dengan mekanisme pengawasan yang jelas. Atas dasar itu, dia mempertanyakan alasan Indonesia melarang tentara berbisnis, sementara jaminan kesejahteraan bagi prajurit tidak memadai.

"Prajurit juga mengalami ketimpangan ekonomi akibat larangan ini, terutama pascapensiun. Jika larangan tetap berlaku, negara wajib memberikan jaminan ekonomi yang layak bagi prajurit selama bertugas dan setelah purnatugas," ujar Halkis di dalam gugatan tersebut.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Dwifantya Aquina
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us