Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

UU Pemilu Digugat ke MK, Ingin Caleg Wajib Putra Daerah Dapil

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Intinya sih...
  • Mahasiswa Fakultas Hukum Stikubank gugat UU Pemilu ke MK
  • 59,53% caleg Pemilu 2024 berdomisili di luar wilayah dapilnya
  • Hakim MK minta pemohon perbaiki permohonan dalam 14 hari

Jakarta, IDN Times - Aliansi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Stikubank Semarang melayangkan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para pemohon mengaku merasa resah dengan keberadaan besarnya persentase calon anggota legislatif (DPR/DPRD) yang berdomisili bukan di wilayah daerah pemilihannya (dapil).

Hal ini terlihat dari Daftar Calon Tetap Periode 2019-2024 yang ada pada laman KPU per 28 September 2018, terdapat 3.387 atau 59,53 persen calon legislatif Pemilu Legislatif yang berdomisili bukan di wilayah dapilnya. Untuk itu, para Pemohon mengajukan uji Pasal 240 ayat (1) huruf UU Pemilu ke MK. 

Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 7/PUU-XXIII/2025 ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani pada Rabu (5/3/2025).

1. Pemohon permasalahkan caleg tidak punya kedekatan dengan masyarakat di dapil

Ilustrasi anggota legislatif dipilih lewat Pemilihan Legislatif (Pileg) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Ahmad Syarif Hidayatullah sebagai perwakilan para Pemohon menyebutkan sebanyak 1.294 calon anggota legislatif (DPR/DPRD) pada Pemilu 2024 tidak memiliki kedekatan dengan masyarakat di daerah pemilihannya. 

Mayoritas dari mereka berasal dari DKI Jakarta dan sekitarnya. Hal ini terungkap dari hasil analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas pada profil caleg di laman infopemilu.kpu.go.id yang diakses 16 November 2023 bahwa dari total 9.917 orang dalam daftar calon tetap (DCT) yang disahkan KPU terdapat 5.701 caleg (57,5 persen) tinggal di luar dapilnya.

Sementara 3.605 caleg atau 36,4 persen dari total DCT tinggal di luar dapil dan tidak lahir di kabupaten/kota di dapilnya, sedangkan caleg yang tidak berdomisili dan tidak lahir di dapil serta tidak pernah sekolah di wilayah dapil, di tingkat SMA atau perguruan tinggi, sebanyak 1.294 caleg atau 13 persen dari total jumlah caleg. Mereka inilah yang disebut caleg yang tidak punya keterkaitan sama sekali dengan dapil.

“Sebagai pembanding, dalam konteks pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), terdapat ketentuan calon anggota DPD harus merupakan penduduk yang berdomisili di wilayah daerah pemiihan yang bersangkutan. Ketentuan ini menunjukkan keterwakilan daerah dalam lembaga perwakilan negara diatur dengan mengutamakan keterkaitan calon dengan daerah yang diwakili,” sebut Syarif yang menghadiri persidangan secara daring.

2. Bertentangan dengan UUD RI 1945

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jakarta Pusat (dok. MK)

Atas permohonan ini, para Pemohon meminta agar MK menyatakan Pasal 240 ayat (1) huruf c Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pemohon meminta agar ketentuan itu diubah menjadi: “Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah warga negara Indonesia asli dan harus memenuhi persyaratan: c. Bertempat tinggal di daerah pemilihan tempat mencalonkan diri sekurang-kurangnya 5 tahun sebelum penetapan calon dan dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP)”.

3. Argumentasi hukum

Hakim Konstitusi Arsul Sani didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur memimpin persidangan pengujian Undang-Undang Kejaksaan (dok. Humas MK)

Hakim Konstitusi Arsul dalam nasihat Sidang Panel meminta agar para Pemohon mengkaji lebih baik terkait argumentasi hukum dari penelitian dan bukan hanya sekadar survei dari jumlah anggota dewan yang tidak berdomisili sesuai dengan daerah pemilihannya.

Sedangkan Hakim Konstitusi Ridwan dalam nasihatnya mencermati catatan tentang syarat domisili calon anggota dewan yang dimintakan para Pemohon. 

“Yang diuji hanya satu pasal, sementara batu ujinya tidak disebutkan dengan jelas, jadi perlu dikoreksi lagi. Pasal yang harus dikontestasikan dengan UUD 1945 itu yang mana? Lalu para Pemohon juga harus menjelaskan kedudukan hukum yang dielaborasi sehingga berada pada tempat yang tepat,” terang Hakim Konstitusi Ridwan.

Adapun Wakil Ketua MK Saldi memberikan perhatian terkait legal standing yang harus menjelaskan kerugian para Pemohon. 

“Sebab kerugian hak konstitusional itu harus clear. Bunyi pasal yang diujikan tidak kelihatan, dasar pengujiannya ke UUD (NRI 1945) itu pasal berapa? Dan diuji terhadap pasal berapa dalam UUD 1945. Sementara Pasal 28C ayat (1) dan 28H ayat (2) itu legal standing dari Pemohon dalam mengajukan permohonan, sedangkan pasal yang diujikan ini bertentangan dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujiannya yang mana? Jika ini tidak ada, maka tidak ada alasannya dan tidak bisa dinilai konstitusional atau tidak,” jelas Wakil Ketua MK Saidi.

Jelang akhir persidangan, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan kepada para Pemohon bahwa pihaknya diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Selanjutnya naskah yang telah disempurnakan tersebut dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa 18 Maret 2025 ke Kepaniteraan MK. Kemudian Mahkamah akan menjadwalkan sidang berikutnya dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan Pemohon.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
Yosafat Diva Bayu Wisesa
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us