Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

22 Negara Berisiko Kelaparan Akut, Sudan dan Palestina Paling Kritis 

warga Gaza mengantri makanan. (x.com/@UNRWA)

Jakarta, IDN Times - Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) serta Program Pangan Dunia (WFP) PBB memperingatkan ancaman kelaparan akut di 22 negara selama November 2024 hingga Mei 2025.

Laporan terbaru bertajuk "Hunger Hotspots" yang dirilis Kamis (31/10/2024) mengungkap krisis pangan yang diperparah oleh meluasnya konflik, terutama di Timur Tengah.

Sudan, Sudan Selatan, Mali, Palestina, dan Haiti berada dalam kondisi paling mengkhawatirkan dengan risiko bencana kemanusiaan dan kelaparan.

"Masyarakat di lima negara tersebut mengalami kekurangan pangan ekstrem dan menghadapi kelaparan berkepanjangan yang belum pernah terjadi sebelumnya," ungkap Direktur Jenderal FAO, Qu Dongyu, dilansir The Guardian.

Tanpa intervensi cepat dan peningkatan bantuan pangan, ratusan ribu orang diprediksi akan menghadapi kelaparan dalam beberapa bulan mendatang. FAO dan WFP menyusun daftar titik rawan berdasarkan analisis konflik, guncangan ekonomi, dan bahaya alam, serta dampaknya terhadap aktivitas pertanian.

1. Krisis di Sudan dan Palestina akibat konflik

Salah satu situasi paling mengkhawatirkan terjadi di Sudan yang telah dilanda konflik selama 18 bulan antara tentara pemerintah dan pasukan paramiliter RSF. Status kelaparan juga telah dinyatakan di kamp pengungsi Zamzam di Darfur Utara. Konflik ini telah mengganggu sistem pangan, menyebabkan pengungsian massal, dan memblokir akses bantuan kemanusiaan.

Menurut laporan tersebut, konflik di Sudan berisiko meluas dan mengakibatkan pengungsian massal ke negara-negara tetangga, terutama Chad, Sudan Selatan, Mesir, Libya, Ethiopia, dan Republik Afrika Tengah. Hal ini akan semakin memperburuk krisis kemanusiaan regional.

Di Palestina, khususnya Jalur Gaza, konflik yang sedang berlangsung mendorong kebutuhan bantuan ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dilansir laman FAO, hampir seluruh penduduk mengungsi dan ada risiko meluasnya dampak ke kawasan sekitar. Situasi ini diperburuk dengan adanya pembatasan akses pekerja bantuan kemanusiaan yang membuat distribusi bantuan semakin sulit.

"Penyebaran konflik di Timur Tengah yang diperparah tekanan ekonomi dan iklim telah mendorong jutaan orang ke ambang krisis," kata Direktur Kedaruratan FAO, Rein Paulsen, dilansir dari Washington Post

Sementara itu, Chad, Lebanon, Myanmar, Mozambik, Nigeria, Suriah, dan Yaman masuk dalam kategori sangat mengkhawatirkan.

2. Cuaca ekstrem akibat La Nina berisiko perparah krisis pangan

Fenomena La Nina yang diprediksi terjadi November 2024 hingga Maret 2025 berisiko memperburuk krisis pangan. Cuaca ekstrem ini akan meningkatkan risiko banjir di beberapa negara seperti Nigeria, Malawi, Mozambik, Sudan Selatan, Zambia, dan Zimbabwe.

Di sisi lain, Ethiopia, Kenya, dan Somalia terancam mengalami kekeringan akibat La Nina.

"Cuaca ekstrem akibat La Nina dapat berdampak parah pada ketahanan pangan. Banyak negara yang mengalami krisis kemanusiaan berisiko terdampak lebih parah oleh La Nina," jelas Aurélien Mellin, petugas darurat dan rehabilitasi FAO.

Kenya, Lesotho, Namibia, dan Niger masuk dalam daftar titik rawan kelaparan. Mereka bergabung dengan Burkina Faso, Ethiopia, Malawi, Somalia, Zambia, dan Zimbabwe. Negara-negara ini diperkirakan bakal mengalami peningkatan kerawanan pangan akut.

Sementara itu, Lesotho dan Namibia pertama kali muncul dalam daftar akibat dampak negatif cuaca ekstrem dan penurunan produksi pertanian.

3. Perdamaian jadi kunci atasi krisis pangan global

Para pemimpin organisasi dunia memperingatkan pentingnya perdamaian dalam mengatasi krisis pangan global.

"Akses terhadap makanan bergizi bukan sekadar kebutuhan dasar, tetapi hak asasi manusia fundamental. Tanpa perdamaian dan stabilitas, petani tidak dapat menanam pangan, memanen, atau mempertahankan mata pencaharian mereka," ujar Qu Dongyu.

Direktur Mercy Corps Ethiopia, Kevin Mugenya, mengungkap bahwa ini adalah krisis kelaparan terburuk dalam satu generasi. Menurutnya, kelaparan semakin dalam akibat kombinasi kompleks dari konflik, tantangan ekonomi, dan perubahan iklim.

Hal ini terjadi terutama di negara-negara seperti Sudan, Nigeria, dan Mali. Konflik dan ketidakstabilan berkelanjutan di kawasan telah mengganggu rantai pasokan pangan dan musim tanam bagi petani.

Konflik di Gaza juga dinilai berdampak pada stabilitas kawasan dan pasokan pangan global. Situasi ini telah mempengaruhi lalu lintas di Laut Merah dan Terusan Suez, yang mengakibatkan kenaikan harga pangan.

FAO dan WFP mengusulkan dilaksanakannya aksi dini dan bantuan yang tepat sasaran untuk mencegah memburuknya krisis. Kedua lembaga PBB ini mendesak pemimpin dunia memprioritaskan resolusi konflik, dukungan ekonomi, dan adaptasi perubahan iklim.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Leo Manik
EditorLeo Manik
Follow Us