45 Ribu Pekerja Pelabuhan AS Mogok, Rugi Rp76 T Per Hari

- 45 ribu pekerja pelabuhan di AS mogok, hambat arus impor dan ekspor
- Serikat pekerja ILA tuntut kenaikan 77%, USMX tingkatkan tawaran hingga 50%
- Pemogokan diperkirakan rugikan ekonomi AS hingga 5 miliar dolar per hari
Jakarta, IDN Times - Sekitar 45 ribu pekerja pelabuhan di pantai timur dan teluk Amerika Serikat (AS) memulai aksi mogok pada Selasa (1/10/2024). Pemogokan ini melibatkan 36 pelabuhan dari Maine hingga Texas, menghambat arus impor dan ekspor AS.
Dilansir dari Associated Press, ini merupakan pemogokan pertama pekerja pelabuhan di pantai timur AS sejak 1977.Aksi mogok dimulai tepat pukul 00.01 waktu setempat setelah kontrak antara serikat pekerja International Longshoremen's Association (ILA) dan United States Maritime Alliance (USMX) berakhir pada tengah malam.
Meskipun dilaporkan ada kemajuan dalam pembicaraan pada Senin (30/9), kedua belah pihak gagal mencapai kesepakatan. Pekerja mulai melakukan aksi protes di beberapa lokasi, termasuk Pelabuhan Philadelphia dan Pelabuhan Houston. Di Philadelphia, para pekerja berjalan melingkar di perlintasan rel di luar pelabuhan.
"Tidak ada kerja tanpa kontrak yang adil," teriak para pekerja.
1. Tuntutan kenaikan upah dan penolakan atas otomatisasi di pelabuhan
Serikat pekerja ILA menuntut kenaikan upah sebesar 77 persen selama kontrak 6 tahun. Pemimpin ILA, Harold Daggett, menyatakan bahwa kenaikan ini diperlukan untuk mengimbangi inflasi dan tahun-tahun kenaikan gaji yang kecil. Saat ini, anggota ILA menerima gaji pokok sekitar 81 ribu dolar AS (Rp1,2 miliar) per tahun, meski beberapa dapat menghasilkan lebih dari 200 ribu dolar AS (Rp3 miliar) dengan lembur.
Dilansir dari CNN, USMX telah meningkatkan tawarannya menjadi kenaikan upah lebih dari 50 persen selama enam tahun. Namun, tawaran ini ditolak oleh serikat pekerja. USMX juga menyatakan telah melipatgandakan kontribusi pemberi kerja untuk rencana pensiun dan memperkuat opsi perawatan kesehatan.
Selain masalah upah, terdapat perselisihan mengenai penggunaan otomatisasi di pelabuhan. Serikat pekerja khawatir otomatisasi akan mengurangi lapangan kerja anggotanya.
2. Dampak ekonomi dari aksi mogok
Pemogokan ini diperkirakan akan berdampak signifikan terhadap ekonomi AS. Dilansir dari The Guardian, diperkirakan pemogokan akan merugikan ekonomi hingga 5 miliar dolar AS(Rp76 triliun) per hari. Sementara, JP Morgan memperkirakan kerugian ekonomi antara Rp57 triliun hingga Rp68 triliun per hari.
Jika berlangsung lama, pemogokan dapat menyebabkan kelangkaan barang dan memicu inflasi. Meskipun dampak langsung pada konsumen tidak akan terasa segera karena pengecer telah menimbun stok untuk musim liburan.
Pemogokan dapat mengganggu pasokan barang-barang penting seperti pisang, minuman impor, dan bahan baku industri. Menurut Federasi Biro Pertanian Amerika, pelabuhan yang terkena dampak pemogokan menangani 3,8 juta ton metrik pisang setiap tahun, atau 75 persen dari pasokan nasional.
Pemogokan juga dapat menyebabkan kemacetan di pelabuhan-pelabuhan pantai barat AS, yang pekerjanya diwakili oleh serikat pekerja yang berbeda.\
Perusahaan kereta api menyatakan dapat meningkatkan kapasitas untuk mengangkut lebih banyak kargo dari pantai barat, namun analis memperkirakan bahwa mereka tidak akan dapat mengimbangi penutupan pelabuhan di pantai timur.
3. Presiden Biden tolak intervensi pemogokan
Presiden Joe Biden menyatakan tidak akan mengintervensi pemogokan. Ia menolak menggunakan Undang-Undang Taft-Hartley yang dapat memaksa pekerja kembali bekerja.
"Tidak, karena ini adalah perundingan bersama, dan saya tidak percaya pada Taft-Hartley" kata Biden kepada wartawan pada hari Minggu.
Lebih dari 200 kelompok bisnis mengirim surat kepada Gedung Putih pekan lalu meminta administrasi Biden untuk turun tangan mencegah pemogokan. Mereka menyatakan bahwa negara bergantung pada pergerakan barang impor dan ekspor melalui pelabuhan-pelabuhan ini.
Kamar Dagang AS juga mengirim surat susulan pada hari Senin mendesak Presiden Biden untuk menggunakan kekuasaannya.
Industri pelayaran diketahui telah meraup keuntungan besar selama pandemi. Menurut analis John McCown, keuntungan industri mencapai lebih dari 400 miliar dolar AS (Rp6000 triliun) dari 2020 hingga 2023. Angka ini diyakini lebih besar dari total keuntungan industri sejak penerapan kontainer dimulai pada tahun 1957.