Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Absennya Perempuan dalam Pemilihan Presiden Korsel

Ilustrasi bendera Korea Selatan. (pexels.com/Mirko Kuzmanovic)
Intinya sih...
  • Korsel akan menggelar pemilihan presiden pada 3 Juni 2025
  • Pertama kalinya dalam 18 tahun, semua kandidat pemilihan presiden adalah laki-laki
  • Perempuan hanya mewakili 14 persen dari total kandidat dalam pemilihan parlemen 2025

Jakarta, IDN Times - Korea Selatan (Korsel) akan menggelar pemilihan presiden pada 3 Juni 2025. Namun, untuk pertama kalinya dalam 18 tahun, ketujuh kandidat yang mencalonkan diri semuanya adalah laki-laki. 

"Tidak adanya calon perempuan menandai pertama kalinya pemungutan suara hanya diikuti oleh laki-laki sejak pemilu tahun 2007," menurut situs resmi Museum Sejarah Pemilu Siber Komisi Pemilihan Umum Nasional, dikutip dari Korea Herald pada Selasa (20/5/2025).

Dalam pemilihan presiden 2025, menampilkan dua pesaing utama, yakni Kim Moon-soo dari Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang berkuasa dan Lee Jae-myung dari partai oposisi utama, Partai Demokrat (DPK). 

1. Minimnya representasi perempuan dalam politik Korsel

Dilansir Korea Times, perempuan mencakup lebih dari separuh pemilih yang memenuhi syarat. Namun, perempuan hanya mewakili 14 persen dari total kandidat dalam pemilihan parlemen 2025. Angka ini jauh di bawah ambang batas 30 persen yang direkomendasikan berdasarkan Undang-Undang Pemilu.

Kurangnya representasi ini mencerminkan masalah sosial yang lebih luas di Korsel, termasuk politisasi kesetaraan gender dan reaksi keras terhadap kebijakan feminis. Hal ini membuat semakin banyak perempuan yang menyuarakan kekecewaan mereka secara online

"Rasanya demokrasi sedang mengalami kemunduran. Saya ragu kita akan melihat kebijakan yang berarti bagi perempuan," kata seorang perempuan di blog Naver miliknya.

Di cabang legislatif, perempuan menduduki 61 dari 300 kursi di Majelis Nasional, yang mewakili hanya 20,3 persen dari total kursi. Angka ini jauh di bawah rata-rata negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sebesar 34,1 persen. Dengan demikian, Korsel berada di urutan ke-35 di antara 38 negara anggota OECD.

2. Partisipasi perempuan mencapai puncaknya pada pemilihan presiden 2012

Ilustrasi suasana kota Seoul di Korea Selatan pada malam hari. (pexels.com/Ethan Brooke)

Representasi perempuan mencapai puncaknya adalah pada pemilu 2012. Saat itu, mantan Presiden Park Geun Hye, yang memimpin Partai Saenuri, terpilih sebagai pemimpin perempuan pertama negara tersebut. Pemilihan itu diikuti oleh empat perempuan di antara tujuh kandidat yang terdaftar.

Namun, partisipasi perempuan dalam pemilihan presiden telah berkurang sejak mantan Presiden Park dicopot dari jabatannya melalui pemakzulan pada Maret 2017. Ini terjadi di tengah kasus korupsi yang menjadi sorotan.

Dalam pemilihan dadakan pada 2017, hanya ada satu kandidat perempuan, yakni Sim Sang-jung. Saat itu, ada 15 pesaing yang memperebutkan jabatan puncak. Lalu, dua perempuan mencalonkan diri di antara 14 kandidat pada 2022.

3. Perdebatan tentang penghapusan Kementerian Gender Korsel

Isu gender menjadi sangat sensitif dalam politik, terutama setelah pemilihan presiden 2022. Menurut para analis, kurangnya minat partai politik dalam menangani hak-hak perempuan mungkin disebabkan oleh politisasi istilah feminisme di Korsel dalam beberapa tahun terakhir.

Selama kampanye presiden pada 2022, menghapus Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga merupakan salah satu janji utama mantan Presiden Yoon Suk Yeol. Kampanyenya tersebut mendapat dukungan dari banyak pemuda yang merasa dirugikan oleh kebijakan yang berpusat pada perempuan.

Ia mengambil langkah-langkah yang jelas untuk menutup kementerian tersebut, termasuk membiarkan posisi menteri kesetaraan gender kosong sejak Februari 2024. Akan tetapi, momentum tersebut terhambat karena pengumuman darurat militer oleh Yoon pada 3 Desember 2024, serta pemakzulan dan pemecatannya sebagai presiden.

Para kritikus berbeda pendapat mengenai penghapusan kementerian tersebut. Beberapa diantaranya mengatakan kementerian itu gagal memainkan peran kunci dalam memediasi dan menyelesaikan konflik gender yang semakin parah di Korsel. Serta, gagalnya dalam memberdayakan perempuan di negara berpenduduk 51,7 juta jiwa itu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sonya Michaella
EditorSonya Michaella
Follow Us