AS Putus Kerja sama Strategis dengan Georgia Usai Demo Akbar

Jakarta, IDN Times - Amerika Serikat, pada Minggu (1/12/2024), memutus kerja sama strategis dengan Georgia setelah putusan pemerintah menangguhkan aksesi Uni Eropa (UE). Washington juga mengecam kekerasan yang dilakukan petugas kepolisian kepada demonstran di Tbilisi.
Sejak Kamis (28/11/2024), ribuan warga Georgia kembali mengadakan demonstrasi akbar setelah Perdana Menteri (PM) Georgia Irakli Kobakhidze menangguhkan aksesi UE hingga 2028. Aksi ini dipicu penetapan sanksi UE kepada sejumlah pejabat pemerintahan di Georgia.
1. Sebut Partai Georgian Dream tidak menepati janjinya kepada rakyat Georgia
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS, Matthew Miller, mengklaim tindakan pemerintahan Partai Georgian Dream tidak sesuai dengan kehendak rakyatnya yang ingin negaranya bergabung UE.
"Putusan Partai Georgian Dream untuk menangguhkan aksesi UE tidak sesuai janjinya kepada rakyat Georgia yang menginginkan konstitusi di negranya untuk memperjuangkan sepenuhnya dalam integrasi UE dan NATO. Georgian Dream telah menolak kesempatan mendekat ke Eropa dan membuat Georgia lebih rawan kembali ke orbit Rusia," terang Miller, dilansir Politico.
Ia menambahkan, Georgia telah melakukan rentetan aksi anti-demokratik yang berlawanan dengan kesepakatan dalam kerja sama strategis AS-Georgia. Alhasil, Washington harus menangguhkan mekanisme kerja sama strategis kedua negara.
"Kami memperingatkan kepada pemerintah Georgia kembali ke jalur Euro-Atlantik dan menginvestigasi secara transparan semua dugaan kecurangan dalam pemilu parlemen dan tidak lagi melakukan kekerasan terhadap demonstran," tambahnya.
2. Presiden Georgia klaim anggota parlemen tidak sah

Presiden Georgia Salome Zourabishvili berjanji akan tetap menjabat hingga masa jabatannya berakhir bulan depan. Ia pun menyerukan bahwa parlemen Georgia saat ini tidak resmi dan mendesak diadakan pemilu parlemen ulang.
"Anggota parlemen saat ini tidak memiliki hak untuk memilih calon presiden pada akhir Desember dan saya tetap berada di kantor saya hingga jabatan saya berakhir. Tidak ada anggota parlemen yang sah, maka dari itu parlemen tidak dapat memilih presiden baru," tuturnya, dikutip RFE/RL.
Ia menyebut pelantikan presiden tidak dapat dilakukan dan mandat tetap dilanjutkan oleh presiden sebelumnya hingga terpilihnya anggota parlemen yang sah. Ia menyebut ini adalah bentuk perlawanan terhadap dominasi Partai Georgian Dream.
3. Beberapa Duta Besar Georgia mundur sebagai bentuk protes
Pada Jumat (29/11/2024), lebih dari 100 diplomat Georgia mendeklarasikan penolakan bersama terhadap putusan Partai Georgian Dream yang menangguhkan aksesi UE. Mereka menyebut tindakan itu berlawanan dengan konstitusi Georgia.
Menyusul aksi itu, Duta Besar Georgia di Bulgaria, Belanda, Italia, dan Lithuania sudah mengundurkan diri sebagai bentuk protes atas kekerasan yang dilakukan oleh petugas kepolisian terhadap demonstran di Tbilisi.
"Saya mengecam segala bentuk kekerasan dan meninggalkan posisi saya sebagai Duta Besar Georgia di Kerajaan Belanda. Saya sudah menghabiskan karier diplomatik selama 30 tahun dan mencoba memfasilitasi proses integrasi Georgia ke dalam UE. Hari ini, harapan itu sirna," tutur Duta Besar Georgia di Belanda, Davit Solomonia, dikutip TVP World.