Bolivia: Pemerintahan Sementara Terbukti Langgar HAM

La Paz, IDN Times - Komisi HAM Inter-Amerika (IACHR) memutuskan bahwa pemerintahan sementara Bolivia di bawah kepemimpinan Jeanine Áñez melakukan pelanggaran HAM. Keputusan ini setelah adanya investigasi yang dilakukan IACHR dan membuktikan bahwa aparat kepolisian beserta militer melakukan kekerasan terhadap warga.
Sebelumnya pemerintahan Luis Arce selama ini menyebut bahwa pemerintahan sementara melakukan kekerasan dan pembunuhan massal terhadap warga. Hal ini berkaitan dengan kasus kudeta Evo Morales setelah secara kontroversial terpilih kembali menjadi presiden di tahun 2019.
1. Militer dan kepolisian terbukti terlibat kasus pembunuhan massal dan kekerasan

Pada Selasa (17/8/2021) Komisi HAM Inter Amerika (IACHR) menemukan bahwa terdapat pelanggaran HAM yang dilakukan pada saat insiden kudeta di Bolivia tahun 2019. Bahkan sejumlah militer dan kepolisian terbukti melakukan aksi kekerasan dan genosida terhadap masyarakat sipil Bolivia.
Dilansir dari DW, hasil investigasi yang didapat dari Kelompok Pakar Interdisplin Independen (GIEI) dari IACHR ini nantinya akan dilaporkan ke La Paz kepada Presiden Luis Arce. Salah satu anggota GIEI, Patricia Tappata mengatakan, "Setidaknya ada 37 orang tewas di seluruh penjuru negeri dan ratusan di antaranya mengalami luka serius, baik secara fisik maupun psikologis."
Sementara itu, investigasi yang dilakukan IACHR meliputi dari awal pemerintahan sayap kiri Evo Morales hingga mundurnya ia sebagai presiden dan kemudian digantikan oleh senator sayap kanan Jeanine Áñez.
2. Adanya insiden pembunuhan massal di Sacaba dan Senkata
Dikutip dari Vice, IACHR juga melaporkan bahwa terdapat dua serangan kepada pemrotes di Sacaba yang terletak di dekat Cochabamba dan area Senkata yang berlokasi di El Alto dekat ibu kota La Paz. Bahkan Tappata mengaku, "Kita tidak meragukan lagi bahwa insiden di Sacaba dan Senkata merupakan bentuk pembunuhan massal."
Di samping itu, militer dan polisi di Sacaba mencoba untuk membunuh pemrotes meskipun mereka tengah melarikan diri dan kematian tersebut dapat disebut sebagai eksekusi kilat. Sedangkan investigasi ini dilakukan oleh lima orang pakar di seluruh Amerika Latin di bawah kesepakatan antara IACHR dan pemerintah sementara yang dipimpin Jeanine Áñez.
Menurut keterangan dari seorang saksi mata di Sacaba bernama Gregoria Siles Villaroel berkata, "Mereka menembak anak saya bernama Omar Calle hingga tewas. Mereka menembaknya dari belakang dan langsung mengenai jantungnya."
"Kami tidak ingin kasus ini berakhir tanpa adanya pihak yang bertanggung jawab dan dihukum. Apa yang kami inginkan? Keadilan!" ujar Siles Villaroel.
3. Presiden Luis Arce meminta maaf atas kasus pelanggaran HAM
Presiden Luis Arce yang menghadiri presentasi dari IACHR kemudian mengungkapkan permintaan maafnya atas nama negara. Arce berkata bahwa pemerintah akan meluncurkan komite pembenahan dan mengusulkan kepada parlemen Bolivia agar ikut melakukan voting agar Áñez dapat diadili atas keterlibatannya dalam pelanggaran HAM.
Nantinya apabila dua per tiga parlemen menyetujui pengadilan hukum bagi mantan Presiden Jeanine Áñez, maka pengadilan akan diselenggarakan di Mahkamah Agung. Pasalnya Áñez hingga saat ini sudah ditahan sejak awal tahun ini lantaran diduga ada di balik kudeta Evo Morales di tahun 2019.
Sementara pihak investigator mengatakan bahwa Bolivia harus membenahi sistem yudisial dan memberikan jaminan lembaga itu independen yang nantinya menjadi kunci dari keadilan. Sedangkan permasalahan Bolivia selama ini terletak pada pengadilannya yang condong pada siapapun pihak yang memegang pemerintahan.
Di samping itu, IACHR juga memberikan rekomendasi bagi pemerintah untuk mengadakan pertemuan nasional terkait masalah rasisme dan diskriminasi, pemrioritasan pada kekerasan seksual dan mengurangi penggunaan penahanan preventif, dilaporkan dari Vice.