Buruh Korut Buat Kekacauan di China Tuntut Pembayaran Upah

Jakarta, IDN Times - Sebanyak 3 ribu pekerja Korea Utara (Korut) melakukan protes dan kerusuhan yang jarang terjadi di China bulan lalu, karena mengetahui upah mereka yang tidak dibayar serta lockdown akibat pandemik COVID-19 yang berkepanjangan.
Laporan ini berdasarkan dari Cho Han-bum, peneliti senior di lembaga pemikir yang didanai pemerintah Korea Selatan (Korsel), Korea Institute for National Unification (KINU), yang juga mengutip sumber di China, serta seorang mantan diplomat Korut yang membelot ke Korsel pada 1990an dan sekarang menjadi penasihat Menteri Unifikasi Korsel, dilansir Reuters pada Kamis (8/2/2024).
Kerusuhan yang dilaporkan, meski belum dikonfirmasi, telah memicu kekhawatiran terhadap kesejahteraan puluhan ribu warga Korut yang bekerja di luar negeri, mengingat Pyongyang yang ingin menahan mereka di China guna mengumpulkan dana untuk pemerintah.
Biasanya para pekerja menghabiskan waktu 3 tahun di luar negeri. Namun, penutupan perbatasan yang ketat akibat virus corona di Korut, membuat beberapa pekerja kini terjebak di luar negeri hingga 7 tahun.
Menurut Laporan Perdagangan Manusia Departemen Luar Negeri (Deplu) Amerika Serikat (AS) pada 2023, Pyongyang menerapkan kontrol ketat terhadap pekerjanya di luar negeri. Ini termasuk menyita 90 persen gaji mereka untuk pendanaan pemerintah. Deplu AS memperkirakan ada 20 ribu-100 ribu warga Korut yang bekerja di China, terutama di restoran dan pabrik.
Bagi sebagian pekerja, upah mereka ditahan sampai kembali ke Korut, sehingga meningkatkan kerentanan mereka terhadap pemaksaan dan eksploitasi oleh pihak berwenang.
1. Korut utus pejabat ke provinsi Jilin untuk kendalikan situasi
Di sisi lain, Cho mengatakan bahwa pekerja Korut di lebih dari 10 pabrik tekstil di Helong, sebuah kota di provinsi Jilin dekat perbatasan, melakukan protes dengan kekerasan atas gaji yang belum dibayar. Gaji tersebut berjumlah sekitar 10 juta dolar AS (sekitar Rp156,4 miliar) selama 4-7 tahun dan pemerintah Korut membayar gaji beberapa bulan kepada para pekerja yang tidak puas untuk mengakhiri perselisihan.
"Ketidakpuasan di antara para pekerja telah muncul. Sekarang perbatasan dibuka kembali, para pekerja tersebut ingin pulang. Namun, hal tersebut tidak mudah saat ini, mengingat rezim Korut ingin menahan mereka di China guna mengumpulkan dana bagi pemerintah," ungkapnya.
Sementara itu, Ko mengatakan bahwa para pejabat dari konsulat Korut di China telah dikirim ke provinsi Jilin untuk membayar sebagian gaji para pekerja yang hilang meski jutaan dolar masih belum dibayarkan. Pihaknya berusaha untuk menjaga agar situasi tetap terkendali, setelah para pekerja yang marah menyandera beberapa manajer.
Mereka juga mengatakan, para pekerja Korut yang tidak puas, yang dikirim oleh sebuah perusahaan perdagangan yang dioperasikan oleh militer negara tersebut, tidak dapat pulang dari China selama beberapa tahun karena penguncian perbatasan akibat COVID. Cho dan Ko menolak menyebutkan sumber mereka karena alasan keamanan. Ko mengatakan sumbernya termasuk birokrat Korut yang berbasis di China.
Badan Intelijen Nasional (NIS) Korsel mengatakan bahwa diskusi antara Beijing dan Pyongyang tampaknya sedang berlangsung dan badan tersebut memantau setiap pergerakan yang relevan, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
"Berbagai insiden dan kecelakaan telah terjadi karena kondisi hidup yang buruk para pekerja Korut yang dikirim ke luar negeri, jadi kami sedang memerika pergerakan terkait," kata NIS.
2. Resolusi DK PBB telah menyerukan negara-negara memulangkan para pekerja Korut

Resolusi Dewan Keamanan PBB pada 2017, yang didukung Beijing, menuntut negara-negara memulangkan seluruh pekerja Korut pada Desember 2019. Badan tersebut mengatakan bahwa tenaga kerja Korut dieksploitasi guna mendapatkan mata uang asing untuk program rudal nuklir dan balistik yang dilarang di Korut.
Saat itu, Beijing mengatakan bahwa pihaknya telah memulangkan lebih dari setengah pekerja Korut yang berada di negaranya, namun tidak menyebutkan jumlahnya secara spesifik. Meski terdapat rasa frustrasi di kalangan pekerja, Korut enggan memulangkan pekerjanya kembali.
Tahun lalu, Kementerian Unfikasi Korsel mengatakan dalam sebuah laporan bahwa China dan Rusia menampung pekerja Korut, meskipun ada sanksi. Moskow mengatakan pembatasan akibat COVID-19 membuat proses repatriasi menjadi sulit.
Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri China mengatakan bahwa pihaknya tidak mengetahui masalah ini. Sementara itu, Keduataan Besar Korut di Beijing dan kantor konsulernya di kota perbatasan China, Dandong, tidak menanggapi panggilan dari pers untuk meminta komentar terkait masalah tersebut.
3. Korut harus segera mengatasi masalah pekerjanya di China, agar tidak menimbulkan ketegangan dengan Beijing

Seorang pakar ekonomi politik Korea Utara di Sejong Institute di Seoul mengatakan, sulit untuk mengetahui apakah laporan tersebut dapat dipercaya. Sebab, tidak ada informasi yang dapat diverifikasi secara independen. Meski begitu, Ward mengatakan bahwa protes yang terjadi di China bukanlah tantangan langsung terhadap rezim Korut.
"Sepertinya ini perselisihan perburuhan. Orang-orang ini tidak berusaha menggulingkan pemerintah. Hal tersebut justru menjadi bukti lebih lanjut bahwa pemerintah Korut benar-benar berjuang untuk mendapatkan uang, hingga di titik di mana mereka sekarang benar-benar mencuri dari para pekerjanya," ujar Ward, dikutip dari BBC.
Ward menambahkan, Pyongyang perlu mengatasi masalah ini, salah satunya karena hal ini dapat menciptakan ketegangan dengan Beijing. Negeri Tirai Bambu tidak ingin terjadi protes di wilayahnya dan dapat memutuskan untuk berhenti memfasilitasi pengaturan ini.